Pekan berikutnya, KH. Muhammad Ismail Ahmad Yahya Al-Ascholy menjelaskan ayat berikut;
:وعن قوله تعالى
سورة الرعد
أَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَّابِيًا ۚ وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِّثْلُهُ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ ۚ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ الرعد: 17
Artinya : “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah sesuai dengar kadarnya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan terhadap perkara yang haq dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” [Raad: 17]
KEBAIKAN VS KEJELEKAN, MANAKAH YANG AKAN MENANG?
Ayat di atas menurut Ra. Ismail menjelaskan tentang suatu kebaikan dan kejelekan, yang mana, kebaikan itu akan abadi sedangkan kejelekan itu tidak akan abadi. Bahkan, mulai dari zaman Nabi Adam, walaupun adanya kejelekan lebih potensial, pasti akan kalah dengan kebaikan.
Adapun jika ada keburukan yang seolah-olah menang, maka itu menurut Ra. Ismail seperti buih pada ayat di atas, yang mana, buih akan selalu nampak di permukaan, akan tetapi akan hilang dibawa ombak seiring berjalannya waktu.
SARAN KH. ISMAIL DALAM MEMILIH GURU
Makanya kata Imam Syafi’i, agar jangan mudah tertipu dengan sesuatu yang ada di permukaan, sebab yang ada di permukaan laut biasanya adalah buih dan bangkai ikan, sedangkan yang ada di dalam laut berupa mutiara dan benda-benda berharga lainnya.
Oleh karenanya, Ra. Ismail berpesan agar jika mencari guru jangan hanya mencari yang terkenal, tapi cari yang istiqomah, karena kebaikan itu dilihat dari istiqomahnya, bukan kemasyhurannya atau ke viralan-nya, dan ciri utama haq itu tidak mudah hilang, makanya kata Allah,
كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ ۚ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ
[ الرعد: 17]
KITAB MUWATTO’NYA IMAM MALIK
Suatu ketika, Imam Malik ditanya oleh teman-temannya tentang alasan mengapa ia masih menulis kitab Muwatto’nya, sedangkan kitab Muwatto’ seperti karangannya Imam Malik sudah banyak ditulis oleh ulama-ulama pada saat itu, akhirnya beliau menjawab (كل ماكان لله دام أو بقي) “Setiap sesuatu yang ada karena Allah SWT pasti akan abadi.”
Ternyata benar, kitab Muwatto’nya Imam Malik lah yang masih terjaga sampai sekarang, ketika orang berbicara Muwatto’, maka pasti itu kitabnya Imam Malik, walaupun mungkin Muwatto’ yang lain lebih indah daripada punya Imam Malik.
KEBERKAHAN KITAB JURMIAH
Begitu juga kitab Jurmiah, yang konon diceritakan bahwa, pengarangnya melempar kitab tersebut ke air untuk menguji keihklasannya, dengan tanda jika ikhlas maka tidak akan basah, dan sebaliknya, jika tidak ikhslas maka akan basah. Walhasil, ternyata kitabnya tidak basah, kitab tersebut penuh berkah dan hampir setiap orang yang mempelajari ilmu gramatikal arab pasti pernah melewati kitab tersebut.
Jadi, sesuatu yang bermanfaat pasti akan tetap ada seperti misalnya ngaji kitab, itu dari dulu tetep ada sampai sekarang, karena bermanfaat, kalau ada yang meninggalkan, maka itu adalah orangnya yang ditinggalkan, bukan pengajiannya.
KENAPA HARUS ADA CONTOH?
Hal itu dalam Al-Qur’an dicontohkan dengan buih. Menurut Ra. Ismail, apa saja kalau memakai contoh lebih mengena, seperti kata Imam Ghozali dalam Ihya’nya, “Dorbul masali auqou fil qolbi”, membuat perumpamaan itu lebih mengena ke hati
Seperti misalnya mengajar ilmu penambahan kepada anak kecil, ketika guru mengatakan 1+1 =2 dengan disertai isyarat menggunakan jari-jarinya, pasti akan lebih mudah difahami oleh murid daripada hanya menyampaikan tanpa contoh
Sama halnya dengan ilmu nahwu, yang mana, pelajarannya mudah dicerna, karena banyak contohnya, biasanya menggunakan lafadz (نحو) yang berarti contoh.
ILMU TIDAK AKAN MENGALIR KEPADA ORANG YANG SOMBONG
Buih itu akan dibawa oleh air yang mengalir, air mengalir tentunya ke tempat yang rendah, bukan ke tempat yang tinggi. Makanya, dikatakan dalam kitab Ta’lim Muta’allim,“Al-ilmu harbun lil fata muta’ali kassaili harbun lll maqamil ali” ilmu itu akan menghindari orang yang sombong, seperti air yang enggan mengalir ke tempat yang tinggi.
Maka hendaknya merendah, seperti cekungan yang menjadi tempat mengalirnya air. Sebesar apa cekungan itu, maka sebesar itu pula orang tersebut menerima Al-Qur’an. Artinya, sebesar apa orang itu tawadhu, maka sebesar itu pula dia akan mendapatkan ilmu, dan sebesar apa dia tawadhu, maka sebesar itu pula dia akan menerima manfaat ilmu.
Sebaliknya, bila dia sombong, maka dia akan sedikit menerima ilmu di sisi Allah SWT, ‘bukan di sisi manusia’. Buktinya, suatu ketika Nabi bertanya kepada seseorang ketika ada di akhirat, “Kenapa engkau mencari ilmu?” Orang tersebut menjawab, “Karena mencari ridhomu,” lalu Allah berkata, “Kamu bohong, kamu mencari ilmu hanya agar engkau dikatakan orang alim, dan kamu sudah dikatakan alim di dunia.”
Artinya, meskipun oleh orang-orang dikatakan alim, tapi menurut Allah SWT tidak. Itulah maksud daripada penjelasan diatas yang mengatakan bahwa alim yang mu’tabar itu menurut Allah, ‘bukan menurut manusia’.
PUNYA ILMU JANGAN SETENGAH-SETENGAH
Ra. Ismail menyampaikan agar tidak memiliki Ilmu yang setengah-setengah, makanya kata imam Mawardi, “La an takuna bila ilmin, afdholu min an yakuna alaika nisful ilmi.” Artinya, Engkau tidak memiliki ilmu sama sekali itu lebih baik daripada memiliki ilmu tapi setengah-setengah.
Separuh ilmu itu lebih bahaya daripada orang yang tidak punya ilmu sama sekali, karena separuh ilmu berpotensi membuat kesalahan, sedangkan yang tidak punya ilmu ketika ditanya, bila tidak menjawab ya tidak akan mungkin terjadi kesalahan.
KENAPA AL-QUR’AN SEPERTI AIR HUJAN?
Menurut Ra. Ismail, Al-Qur’an itu sama seperti air hujan, air turun dari langit yang sama tapi menumbuhkan tumbuhan yang berbeda-beda, begitu juga Al-Qur’an, isinya sama tapi menumbuhkan orang-orang yang berbeda-beda, ada orang yang dengan Al-Qur’an menjadi orang mulia, dan ada juga orang yang dengan Al-Qur’an menjadi hina.
Oleh karenanya, kalau tidak mampu mandi air hujan, maka jangan mandi air hujan, tapi mandilah menggunakan air sumber yang berasal dari pegunungan. Artinya, jika tidak mampu mencerna makna Al-Qur’an dengan baik maka jangan langsung mengambil hukum atau dalil dari Al-Qur’an, karena khawatir akan mencelakakan, akan tetapi ambillah dan ikutilah pendapat ulama yang mumpuni dalam hal itu. Dalam hal ini, ilmu ulama diibaratkan seperti air pegunungan, yang menyegarkan, dan ulama sendiri seperti gunung yang menjadi paku bumi.
Air hujan disebutkan oleh Allah,
أَوۡ كَصَیِّبࣲ مِّنَ ٱلسَّمَاۤءِ فِیهِ ظُلُمَـٰتࣱ وَرَعۡدࣱ وَبَرۡقࣱ یَجۡعَلُونَ أَصَـٰبِعَهُمۡ فِیۤ ءَاذَانِهِم مِّنَ ٱلصَّوَ ٰعِقِ حَذَرَ ٱلۡمَوۡتِۚ … [البقرة ١٩]
Dari ayat tersebut, Ra. Ismail berpendapat bahwa, air hujan itu seharusnya membawa manfaat meskipun dalam prosesnya banyak drama, seperti petir, mendung dan sebagainya, sedangkan orang munafik, ketika turun hujan seperti itu malah menutup telinga, dia tidak peduli dengan apa yang ada, intinya mereka takut mati.
وقال في رسالته: سميت هذه المدرسة لأول عهدها في هذه الدورة بالمدرسة الغزالية اقتباساً من اسم باني المعهد الديني بسارانغ وتخليدا لاسمه الشريف، وليكون ذلك سببا للبقاء والدوام والنفع العام فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثَالَ فلا تزال هذه المدرسة تؤدي رسالتها حاملة لواء النصر المبين أي فكل ما ينفع الناس ما زال باقيا مثل تلك المدرسة
Artinya : “Guru kami, KH. Maimun Zubair berkata dalam kitab Risalahnya, ‘Madrasah ini diberi nama Madrasah Al-Ghazaliah pada masa awal-awal keberadaannya karena diambil dari nama pendiri Pondok Pesantren Sarang dan untuk mengabadikan nama pendirinya, serta supaya hal itu menjadi sebab tetap berdirinya madrasah ini, dan dapat memberikan manfaat secara umum, Allah SWT berfirman yang artinya, ‘Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.’ Maka tak henti-hentinya madrasah ini membawa risalahnya terhadap bendera pertolongan. Artinya, setiap sesuatu yang bermanfaat kepada manusia, maka dia akan tetap seperti madrasah tersebut.”
PEMENANGNYA ADALAH YANG BENAR
Apa saja yang viral, bukan berati tanda diterima oleh Allah, dan bukan berati perkara yang benar, sedangkan apa saja yang Istiqomah, merupakan tanda orang tersebut disenangi oleh Allah SWT. Intinya, yang namanya Haq pasti bisa mengalahkan yang batil, kata Allah SWT,
وَقُلۡ جَاۤءَ ٱلۡحَقُّ وَزَهَقَ ٱلۡبَـٰطِلُۚ إِنَّ ٱلۡبَـٰطِلَ كَانَ زَهُوقࣰا ٨١ [الإسراء ٨١-٨٢]
Artinya: “Katakanlah, ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.’ Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap.”
Allahua’lam, semoga bermanfaat.
Author : Fakhrullah