“Setiap pertemuan ada perpisahan”, prinsip ini bisa kita ungkapkan untuk tahun baru. Seperti sekarang, memasuki tahun 2025 berarti meninggalkan tahun 2024 beserta kenangannya. Dalam hidup itu sendiri pertemuan dan perpisahan adalah bagian dari siklus kehidupan. Selama nafas masih berhembus, setiap tahun akan melihat siklus pergantian tahun. Bertemu dan menyambut tahun baru dan meninggalkan tahun sebelumnya. Pergantian tahun menjadi momen yang tidak bisa dihindari dan pasti terjadi, karena waktu terus berjalan. Saat genap 12 bulan, catatan baru siap dimulai, bulan terstart dari awal lagi. Di dalam Al-Qur’an disebutkan:
إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِی كِتَـٰبِ ٱللَّهِ یَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰتِ وَٱلْأَرْضَ
Artinya: “Jumlah bulan menurut Allah adalah 12 bulan sesuai dalam lauhul mahfudz, saat menciptakan langit dan bumi…” (QS. At-Taubah: 36)
Meskipun ayat ini konteksnya dalam kalender hijriyah, tapi Imam Fakhruddin Ar-Razy mengutip pendapat satu golongan bahwa siklus perputaran matahari juga menjadi siklus yang sempurna dan mengiktibar tahun masehi. Di momen kali tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Orang yang antusias, akan menyambutnya dengan sebuah perayaan, menghisbah (intropeksi) diri dan berharap semoga tahun ini bisa menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya. Menyimpan kenangan baik dan menghapus kenangan buruk.
Ketika ada orang yang merayakannya, maka yang sering menjadi pertanyaan adalah boleh atau tidak? Ketika tahun baru dijadikan media untuk intropeksi diri apakah boleh atau tidak? Dalam kitab fikih pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dan menurut penulis tidak perlu dibahas panjang lebar, karena menjadi pertanyaan yang diajukan setiap tahun. Bahkan seiring berjalannya waktu, tidak ada lagi yang mempertanyankannya kecuali kaum tekstualis. Mengucapkan dan merayakan tahun baru sudah dijawab oleh Syekh Zakariya Al-Anshari di dalamnya kitabnya Asnal Mathalib, dan ulama lainnya seperti Ibun Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfahnya.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
Artinya: “Orang cerdas adalah orang yang mengevaluasi dirinya sendiri dan beramal untuk kehidupan sesudahnya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta selalu berangan-angan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi).
Poin dari hadist ini adalah selalu mengintropeksi dan mengevaluasi diri sendiri. Sabda beliau ini bisa dijadikan landasan bahwa ditahun baru boleh mengintropeksi diri. Flashback lagi kebelakang sekedar melihat kejadian yang sudah terlewati dan menjadikannya pengalaman untuk menghadapi kejadian selanjutnya. Pepatah Arab mengatakan:
إِذَا الْمَرْءُ كَانَتْ لَهُ فكْرَةٌ … فِفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ عبرَة …
Artinya: “Jika seseorang berpikir, maka dia mengambil pelajaran disetiap hal.”
Kesimpulannya hukum merayakan tahun baru dan intropeksi diri menjadi suatu bagian yang tidak lepas dari tahun baru dan menjadi pembahasan hangat yang lama-kelamaan menjadi dingin. Setelah sedikit mengulas pembahasan di atas, yang terpenting adalah aksi atau amal. Menyimpan kenangan berharga dan menghapus kenangan buruk, keduanya dijadikan pelajaran di waktu mendatang. Mengamalkan apa yang diketahui, karena buah dari ilmu adalah amal. Wahhab bin Munabbah berkata, “Pikiran panjang menghasilkan pemahaman, pemahaman menghasilkan ilmu, dan ilmu menghasilkan amal.”
Author : Abdurrohman Wahid
Ilustrator : Fakhrul