Kata “tawakal” kerap terlontar dari seseorang, saat ia putus asa dalam memperoleh suatu yang diinginkan atau saat sudah tidak bisa lagi menolak marabahaya yang menimpanya.
Lalu bagaimanakah hakikat tawakal sesungguhnya menurut padangan ulama?
Syaikh Abu al-Qasim Muhammad bin Ahmad bin Juziy al-Kalabiy dalam kitabnya at-Tashil fi Ulumi at-Tanzil menjelaskan: “Tawakal secara definisi adalah:
الاعتماد على الله في تحصيل المنافع أو حفظها بعد حصولها، وفي دفع المضرات ورفعها بعد وقوعها
“Menyerahkan diri kepada Allah ﷻ dalam mendapatkan suatu yang bermanfaat atau dalam menjaganya setelah mendapatkan dan dalam menolak suatu yang berbahaya serta dalam menyingkirkannya setelah apa yang terjadi.”
Beliau melanjutkan, sesungguhnya manusia dalam bertawakal ada 3 tingkatan:
الأولى: أن يعتمد العبد على ربه كاعتماد الإنسان على وكيله المأمون عنده الذي لا يشك في نصيحته له، وقيامه بمصالحه. والثانية : أن يكون العبد مع ربه كالطفل مع أمه فإنه لا يعرف سواها، ولا يلجأ إلا إليها. والثالثة أن يكون العبد مع ربه كالميت بين يدي الغاسل قد أسلم نفسه إليه بالكلية، فصاحب الدرجة الأولى له حظ من النظر لنفسه بخلاف صاحب الثانية وصاحب الثانية له حظ من المراد والاختيار بخلاف صاحب الثالثة وهذه الدرجات مبنية على التوحيد الخاص الذي تكلمنا عليه في قوله: (وإلهكم إله واحد)، فهي تقوى بقوته، وتضعف بضعفه
“Pertama, seorang hamba terhadap Tuhannya bagaikan kepasrahan diri seseorang kepada wakilnya yang terpercaya, yang bisa memberikan solusi dan dapat diandalkan menyelesaikan segala urusannya. Kedua, seorang hamba bersama Tuhannya bagaikan seorang bocah bersama ibunya, di mana seorang bocah tidak mengetahui apa-apa selain ibunya dan tidak ada tempat pelindung kecuali kepada ibunya. Ketiga, seorang hamba bersama Tuhannya bagaikan jenazah di hadapan orang memandikannya, pasrah sepenuhnya kepadanya. Perbedaannya, orang yang pertama masih punya bagian dari segi ikut andil dirinya dan orang yang kedua punya bagian dari segi keinginan agar tercapai dan ikhtiar (kehendak diri)nya sedangkan orang yang ketiga tidak punya bagian sema sekali (baik diri dan keinginannya). Tingkatan orang yang ketiga ini bersumber dari ketauhidan yang murni yang disebutkan Allah ﷻ kepada kita dalam firman-Nya:
وَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَاحِدٌ
Artinya: “Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa”. (QS. Al-Baqarah: 163).
Ia menjadi kuat sebab kuatnya tawakal kepada-Nya dan menjadi lemah sebab lemahnya tawakal kepada-Nya.
Lalu jika ditanya, apakah dalam tawakal disyaratkan harus meninggalkan sebab atau tidak?
Jawabannya sebagaimana yang disampaikan Syaikh Ibnu Juziy berikut adalah:
أن الأسباب على ثلاثة أقسام : أحدهما: سبب معلوم قطعا قد أجراه الله تعالى : فهذا لا يجوز تركه؛ كالأكل لدفع الجوع، واللباس لدفع البرد. والثاني سبب مظنون كالتجارة وطلب المعاش، وشبه ذلك، فهذا لا يقدم فعله في التوكل لأن التوكل من أعمال القلب، لا من أعمال البدن، ويجوز تركه لمن قوي عليه، والثالث : سبب موهوم بعيد، فهذا يقدم فعله في التوكل، ثم إن فوق التوكل التفويض وهو الاستسلام لأمر الله تعالى بالكلية، فإن المتوكل له مراد واختيار، وهو يطلب مراده باعتماده على ربه، وأما المفوّض فليس له مراد ولا اختيار، بل أسند المراد والاختيار إلى الله تعالى، فهو أكمل أدبا مع الله تعالى
“Sesungguhnya sebab-sebab itu ada 3 bagian: Pertama, sebab yang sudah maklum diketahui secara pasti yang telah diberlakukan Allah ﷻ (kepada hamba-Nya). Bagian pertama ini tidak boleh ditinggalkan sebagaimana makan karena untuk menolak lapar dan berpakaian karena untuk menolak dingin. Kedua, sebab yang asumtif (dugaan kuat) seperti berdagang, berusaha mencari rezeki dan lainnya. Sebab bagian yang kedua ini tidak harus dikerjakan sebelum tawakal karena tawakal merupakan pekerjaan rohani bukan jasmani bahkan boleh ditinggalkan bagi orang yang kuat (cukup bertawakal tanpa berkerja). Ketiga, sebab yang ambigo (praduga). Sebab bagian yang ketiga ini harus dikerjakan sebelum tawakal.
Kemudian tingkatan yang lebih tinggi di atas tawakal adalah Tafwid (pasrah penuh), yaitu memasrahkan segala urusan sepenuh kepada Allah ﷻ. Bedanya, orang yang bertawakal masih punya keinginan dan ikhtiar (kehendak diri) yaitu mengharap apa yang diinginkan terkabul sembari pasrah kepada Allah ﷻ. Sedangkan orang yang Tafwid (pasrah penuh) tidak memiliki keinginan dan ikhtiar (kehendak diri) bahkan keduanya sepenuhnya diserahkan kepada Allah ﷻ dan Tafwid (pasrah penuh) adalah paling sempurnanya etika hamba kepada Allah ﷻ. Waallahu A’lamu.
Penulis: Abdul Adzim
Publisher: Fakhrul
Referensi:
✍️ Syaikh Abu al-Qasim Muhammad bin Ahmad bin Juziy al-Kalabiy| At-Tashil fi Ulumi at-Tanzil| Daru al-Kutub al-Ilmiyah, juz 1 halaman 164-165.
✍️ Syaikh Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abu Bakr al-‘Iyasyiy al-Malikiy| Anwaru as-Saniyah Syarah al-Wadzifatu az-Zaruqiyah| Daru al-Kutub al-Ilmiyah, halaman 75-76.
✍️ Syaikh Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mahdiy ibnu Ajibah al-Husainiy| al-Bahru al-Madid fi Tafsiri al-Qur’an al-Majid| Daru al-Kutub al-Ilmiyah, juz 1 halaman 392-393.