Kelanjutan dari pengajian sebelumnya, KH. Ismail al-Ascholy menjelaskan redaksi berikut :
قال شيخنا وهكذا كان سيدنا أبو بكر رضي الله عنه حيث كان أفضل الناس بعد النبي وليس سيدنا عليا مع أنه من أهل بيت رسول الله على ما عليه الجمهور بأن أفضل الناس بعد رسول الله على ترتيب الخلافة الراشدة، وهكذا قدر الله قدره تمريناً للنفوس الزكية
Artinya : Guru kami, KH. Maimun Zubair, berkata, “Begitulah Sayyidina Abu Bakar yang menjadi paling utamanya manusia setelah Rasulullah SAW, bukan Sayyidina Ali, meskipun Sayyidina Ali adalah keluarga Rasulullah SAW. Menurut Jumhur Ulama, manusia yang paling utama setelah Rasulullah SAW adalah sebagaimana urutan Khulafa’ur Rasyidin, begitulah Allah SWT mentakdirkan sesuatu sebagai ujian terhadap nafsu yang suci.”
Macam-Macam Sistem Pemerintahan
Ra. Ismail menyampaikan bahwa, zaman Rasulullah SAW merupakan zaman nubuwwwah (kenabian). Setelah Rasulullah SAW wafat dan digantikan oleh para sahabatnya, masa itu disebut zaman Khilafah Rasyidah (Khulafa’ur Rasyidin), yang berlangsung sampai zaman Sayyidina Hasan bin Ali. Setelah itu, ketika Sayyidina Hasan digantikan oleh Sayyidina Muawiyah, bentuk pemerintahan berubah menjadi al-Mulku (kerajaan), walaupun secara dhohir masih dianggap khilafah.
Menurut ulama sufi, setelah zaman Rasulullah SAW, kepemimpinan dhohir dan batin menyatu pada para Khulafa’ur Rasyidin : Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Usman, Sayyidina Ali dan Sayyidina Hasan.
Setelah itu, zaman kerajaan (mamlakah) itu dimulai, yaitu jika raja wafat maka yang menggantikan adalah keluarganya, sehingga ketika Sayyidina Muawiyah wafat maka yang menggantikan adalah putranya, sedangkan saat masa khilafah, jika wafat maka yang menggantikan bukan putranya akan tetapi melalui musyawwarah para Ahlul Halli wal Aqdi
Sayyidina Hasan Termasuk Khulafa’ur Rasyidin
Adapun alasan yang mengikut sertakan Sayyidina Hasan dalam golongan Khulafaur Rasyidin karena saat Rasulullah SAW hidup beliau bersabda,
عَنْ سَفِينَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: الْخِلَافَةُ ثَلَاثُونَ عَامًا، ثُمَّ يَكُونُ بَعْدَ ذَلِكَ الْمُلْكُ
(أحمد بن حنبل، مسند أحمد مخرجا، ٢٤٨/٣٦)
Artinya : “Dari Safinah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Khilafah itu berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian setelah itu akan menjadi kerajaan.” (Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad, 36/248)
Sedangkan masa yang ada setelah Rasulullah SAW sampai zaman Sayyidina Ali ternyata hanya 29 tahun 6 bulan, yang berati masih kurang 6 bulan lagi untuk genap 30 tahun, sehingga hal itu tidak selaras dengan sabda nabi, maka berarti Sayyidina Hasan termasuk Khulafa’ur Rasyidin karena dia yang memimpin khilafah selama 6 bulan, sehingga tepatlah masa khilafah itu 30 tahun.
Hubungannya Dengan Pesantren
Ra Ismail juga menyampaikan bahwa sistem kerajaan (mamlakah ) ini juga berlaku di Pesantren, jadi, yang menggantikan adalah keluarganya yang dirasa pantas untuk memangkunya. kalau pendiri pertama niatnya benar maka insyaallah seterusnya yang menggantikan pasti akan dibimbing oleh Allah SWT, jika tidak baik maka selama mengasuh akan terus diperbaiki oleh Allah SWT. Dan Begitulah pesantren, selain ada sisi khilafah, juga ada sisi mamlakah.
Kembali ke awal, bahwa setelah zamannya Sayyidina Hasan, kepemimpinan dhohir dan batin berpisah, khilafah dhohir dipimpin Sayyidina Muawiyah, sedangkan khilafah batin dipimpin oleh ahlul bait atau sahabat Rasulullah SAW yang lain. Makanya ada yang menjadi raja dan ada yang menjadi ulama, tidak ada ulama sekaligus raja setelah masa Sayyidina Hasan.
Umar Bin Abdul Aziz, Kholifah Dzhohir Dan Batin
Baru dimasa Sayyidina Umar bin Abdul Aziz, beliau menjadi khilafah dhohir dan khilafah batin, yang mana beliau adalah keturunan Sayyidina Umar dari jalur ibu, dan termasuk Bani Umayyah dari jalur ayah. Namun, karena beliau tidak ingin memisah takdir Allah SWT, beliau tetap meminta kepada para ulama agar tetap menyebarkan ilmu-ilmunya, dan di zaman beliaulah awal mula ada pencatatan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, dia tidak menulisnya sendiri, akan tetapi memerintahkan orang lain.
Menurut Ahlus Sunnnah Wal Jamaah, orang paling mulia setelah Rasulullah SAW itu sebagaimana mengikuti urutan Khulafa’ur Rasyidin. Sedangkan menurut Ulama Syi’ah, orang yang paling mulia setelah Rasulullah SAW adalah Sayyidina Ali Bin Abi Thalib, karena ia adalah keluarga Rasulullah SAW, yaitu sepupu dan sekaligus menjadi menantu Nabi.
Selain itu, juga karena Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa kedudukan Sayyidina Ali disisi Rasulullah SAW sama halnya dengan kedudukan Nabi Harun kepada Nabi Musa, jadi, Nabi Musa-nya adalah Rasulullah SAW, sedangkan Nabi Harun-nya adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib, hanya saja setelah Rasulullah SAW, tidak ada nabi lagi. Makanya kaum Syi’ah mengatakan bahwasanya orang paling mulia setelah Rasulullah SAW adalah Sayyidina Ali Bin Abi Thalib.
Abu Bakar As-Shiddiq, Manusia Paling Utama Setelah Nabi
Adapun alasan mendasar kaum Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah yang mengatakan bahwa Sayyidina Abu Bakar adalah orang yang paling mulia setelah Rasulullah SAW adalah sebab Rasulullah SAW pernah bersabda :
مَا فَضَّلَكُمْ أَبُو بَكْرٍ لَا بِقِيَامِهِ وَلَا بِصِيَامِهِ وَلَكِنْ بِشَيْءٍ وَقَرَ فِي صَدْرِهِ
Artinya : “Tidaklah Abu Bakar melebihi kalian sebab banyaknya salat atau puasanya, akan tetapi karena sesuatu yang tertanam dalam hatinya.”
Hatinya Sayyidina Abu Bakar sampai di katakan oleh sahabat yang lain :
لو وُزِنَ جَمِيعُ أَعْمَالِ النَّاسِ بِقَلْبِ أَبِي بَكْرٍ لَمَا وُزِنَ شَيْءٌ
Artinya : “Seandainya semua amal perbuatan manusia ditimbang dengan hati Abu Bakar, niscaya amal tersebut tidak akan memiliki nilai apa-apa.”
Jadi, seseorang itu mulia bukan karena pekerjaan atau prestasinya, akan tetapi karena sesuatu yang ada dalam hatinya, makanya dikatakan dalam Nadzom Al-Imriti ;
إِذِ الْفَتَى حَسْبَ اعْتِقَادِهِ رُفِعْ # وَكُلُّ مَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ لَم يَنْتَفِعْ
Orang mulia itu tergantung dengan i’tiqodnya (kepercayaannya), kalau i’tiqodnya tidak baik maka tidak akan bermanfaat pada orang lain.
Ra. Ismail menceritakan bahwa Sayyidina Abu Bakar ketika melihat Rasulullah SAW kelaparan, beliau mencarikan susu, tapi Sayyidina Abu Bakar tidak ikut makan bersama Rasulullah SAW meskipun ia juga merasa kelaparan, bahkan diceritakan bahwa setiap Rasulullah SAW meminum susu yang diberikannya malah yang merasa kenyang adalah Abu Bakar.
Bahkan ada yang mengatakan Abu Bakar adalah manusia paling utama setelah para rasul dan para Nabi, hanya saja, menurut Imam Suyuthi yang bisa menandingi kemuliaan Sayyidina Abu Bakar dari umat Rasulullah SAW hanyalah Nabi Isa As yang akan turun menjelang hari kiamat.
Karena itu, Ra. Ismail menjelaskan bahwa, kemuliaan itu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Allah SWT, jadi hendaknya jangan mudah sakit hati dan iri gara-gara ada orang yang lebih mulia walaupun seharusnya kamu yang lebih mulia, sebab Allah SWT berfirman :
أَهُمۡ یَقۡسِمُونَ رَحۡمَتَ رَبِّكَۚ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَیۡنَهُم مَّعِیشَتَهُمۡ فِی ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَاۚ
Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang membagi-bagi penghidupan di antara mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. Az-Zukhruf (43): 32:)
Cara Mengetahui Masa Depan
وَزَادَهُ بَسْطَةَ فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْم هذا شرط قيام المملكة؛ لا مجرد النسب والحسب كما زعموا. وقد اعتبروا أن طالوت من الشباب الذي ليس له جاه ولا عزة، ولا يصلح للملك ﴿ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَن يَشَاءُ ، فإذا أردتم أن تعرفوا مستقبلكم فاعرفوا شبابكم الآن
Artinya : “Dan Allah SWT menambahkannya (Thalut) ilmu dan kuatnya fisik. Ini merupakan syarat mendirikan kerajaan, tidak hanya sekedar nasab dan pangkat sebagaimana persangkaan orang-orang. ulama menganggap bahwa Tholut adalah pemuda yang tidak memiliki pangkat dan kemuliaan dan tidak pantas menjadi raja, Akan tetapi Allah SWT memberi kekuasaannya kepada orang yang dia kehendaki. Jika kalian ingin mengetahui masa depan kalian maka lihatlah pemuda-pemudanya hari ini.”
Kalau pemuda-pemudanya baik, insyaallah akan memiliki masa depan yang cerah, dan juga sebaliknya, jika pemuda-pemuda yang sekarang tidak baik, maka dikhawatirkan akan memiliki masa depan yang gelap. Oleh karenanya hendaknya giat belajar serta melatih diri menjadi orang baik sejak muda, sebab Rasulullah SAW bersabda :
…عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: الإِمَامُ العَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ
[البخاري، صحيح البخاري، ١٣٣/١]
Artinya : “Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya: pemimpin yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Rabb-nya,…”
قال: ترتيب القائمين بأمور بني إسرائيل: موسى ثم هارون ثم يوشع ثم كالب ثم حزقيل ثم إلياس ثم اليسع ثم ذو الكفل ثم شمويل ثم بدأ عصر طالوت و داود
Artinya : “Guru kami KH. Maimun Zubair berkata, Adapun runtutan orang-orang yang mengurus urusan-urusan Bani Israil adalah Nabi Musa, kemudian Nabi Harun, kemudian Nabi Yusya’, (santri Nabi Musa yang ikut Nabi Musa menemui Nabi Khidir) kemudian Kalib (ada yang mengatakan nabi dan ada yang mengatakan bukan nabi), kemudian Nabi Hizqil (banyak yang mengatakan beliau nabi), kemudian Nabi Ilyas, kemudian Nabi ilyasya’, kemudian Nabi Dzulqifli, kemudian Nabi Samuel, dan setelah itu dimulailah masa Thalut dan Nabi Daud.”
Sikap Yang Harus Dimiliki Santri Terhadap Gurunya
قلت: يوشع بن نون هو فتى موسى الذي ذكره القرآن عند قوله تعالى
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَهُ لَا أَبْرَحُ … [الكهف الآية ٦٠ ]، وقوله: ﴿فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَهُ ءَاتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا ﴾ [الكهف الآية ٦٢]
Artinya : Saya (KH. Ismail) berkata, Yusya’ Bin Nun adalah muridnya Nabi Musa As yang telah disebutkan oleh Allah SWT dalam ayat yang artinya, “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan)…” (Surah Al-Kahfi : 60). Dan perkataannnya, “Maka ketika mereka telah melampaui (tempat itu), Musa berkata kepada muridnya, ‘Bawalah kemari makanan kita; sungguh, kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.'” (Q.S Al-Kahfi 62)
Jadi, murid itu harus siap disuruh-suruh oleh gurunya, sebab inti dari nyantri itu adalah khidmahnya bukan ngajinya, Nabi Yusya’ disebut dalam Al-Qur’an bukan karena prestasinya tapi karena khidmahnya. Jelas keterangan KH. Ismail al-Ascholy.
In kana huna shohihun fahuwa bifadlillah wa in kana huna khoto’un fahuwa bidho’fi Fahmi. Allahua’lam, Semoga bermanfaat.
Author : Fakhrullah