Pekan berikutnya, KH. Muhammad Ismail Al-Ascholy atau yang biasa dikenal Ra. Ismail menjelaskan surah Al-Baqarah ayat 247 ;
وَقَالَ لَهُمۡ نَبِیُّهُمۡ إِنَّ ٱللَّهَ قَدۡ بَعَثَ لَكُمۡ طَالُوتَ مَلِكࣰاۚ قَالُوۤا۟ أَنَّىٰ یَكُونُ لَهُ ٱلۡمُلۡكُ عَلَیۡنَا وَنَحۡنُ أَحَقُّ بِٱلۡمُلۡكِ مِنۡهُ وَلَمۡ یُؤۡتَ سَعَةࣰ مِّنَ ٱلۡمَالِۚ قَالَ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰهُ عَلَیۡكُمۡ وَزَادَهُۥ بَسۡطَةࣰ فِی ٱلۡعِلۡمِ وَٱلۡجِسۡمِۖ وَٱللَّهُ یُؤۡتِی مُلۡكَهُۥ مَن یَشَاۤءُۚ وَٱللَّهُ وَ ٰسِعٌ عَلِیمࣱ [البقرة ٢٤٧]
Artinya : Dan Nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Allah SWT telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana Thalut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?” Nabi menjawab, “Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan menambahkan kelebihan ilmu dan fisik.” Allah memberikan kerajaannya kepada siapa yang dia kehendaki, dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.
Ra. Ismail menyampaikan bahwa Ayat ini menceritakan kebiasaan Allah SWT dalam memilih pemimpin. Menurutnya, dalam memilih pemimpin adakalanya lewat hukum adat (kebiasaan) dan adakalanya melalui hukum khoriqul adat (luar kebiasaan)
Adapun yang melalui hukum adat seperti ada keberhakan, semisal putranya raja maka berhak menjadi raja, putra kiai pantas menjadi kiai, dan putra orang alim pantas menjadi orang alim, ini hukum nasabiyah, dan ini merupakan suatu hal yang dianggap dalam masalah kepemimpinan.
Sedangkan yang diluar kebiasaan adalah mengangkat pemimpin dari keturunan orang-orang yang tidak pantas menjadi pemimpin, semisal keturunan rakyat biasa dan selainnya.
Allah SWT memilih Thalut sebagai pemimpin yang bermusuhan dengan Jalut, yang mana Jalut adalah seorang penguasa diktator. Sedangkan Tholut sendiri dipilih oleh Allah SWT melalui jalan yang kedua, karena ia adalah orang biasa dan tidak penting di kalangan Bani Israil, beda dengan Bani Israil yang lain seperti keturunan Yahuda, Lawi dll.
Jadi, Nabi Ya’qub punya 11 putra, diantara putranya ada yang menjadi nabi yaitu Nabi Yusuf, ada yang menjadi raja, dan ada juga yang menjadi orang biasa.
Sama juga dengan Nabi Ibrahim, beliau juga punya 4 atau 5 orang anak, dan tidak semua menjadi nabi. Adapun kebiasaannya Nabi Ibrahim As ketika punya putra maka putranya tidak ditinggal sia-sia, karena Allah SWT berfirman ;
وَلۡیَخۡشَ ٱلَّذِینَ لَوۡ تَرَكُوا۟ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّیَّةࣰ ضِعَـٰفًا خَافُوا۟ عَلَیۡهِمۡ فَلۡیَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلۡیَقُولُوا۟ قَوۡلࣰا سَدِیدًا [النساء ٩]
Artinya : Dan hendaklah takut orang-orang yang apabila meninggalkan anak-anak yang lemah dibelakang mereka, mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Maka hendaknya mereka bertakwa kepada Allah dan hendaknya mengucapkan perkataan yang benar.
Karenanya, Nabi Ibrahim sebelum wafat memberikan Masjidil Haram kepada Nabi Ismail di Makkah, memberikan Masjidil Aqsa kepada Nabi Ishaq di Palestina, dan juga ada anak ketiganya, yaitu Sayyidina Madyan yang menjadi kakek moyang dari Bangsa Madyan, ia diberi peninggalan yang bermanfaat bagi Madyan dan anak keturunannya, sebab dikasih tongkat dan pakaian Nabi Ibrahim.
Sayyidina Madyan ini juga punya keturunan, diantaranya adalah Nabi Syuaib, dialah yang kemudian memegang tongkatnya Nabi Ibrahim, kemudian karena ia tidak punya keturunan laki-laki akhirnya diberikan kepadanya menantunya, yaitu Nabi Musa As, dan akhirnya sampai kepada Syaicona Moh Cholil yang kemudian menjelma menjadi Nahdlatul Ulama, dengan dijadikan isyarah oleh Syaichona Moh. Cholil kepada KH. Hasyim Asy’ari melalui KH. As’ad Syamsul Arifin disertai ayat ;
وَمَا تِلۡكَ بِیَمِینِكَ یَـٰمُوسَىٰ ١٧ قَالَ هِیَ عَصَایَ أَتَوَكَّؤُا۟ عَلَیۡهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِی وَلِیَ فِیهَا مَـَٔارِبُ أُخۡرَىٰ ١٨ قَالَ أَلۡقِهَا یَـٰمُوسَىٰ ١٩ فَأَلۡقَىٰهَا فَإِذَا هِیَ حَیَّةࣱ تَسۡعَىٰ ٢٠ [طه ١٧-٢٠]
Artinya : Apa itu yang di tangan kananmu wahai Musa? Nabi Musa menjawab “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (dedaunan) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”. Lalu Allah berkata “Lemparkanlah tongkatmu wahai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.
Dan ada juga putra Nabi Ibrahim yang keempat, tidak diberi apa-apa, cuman memperbanyak keturunan. Seperti Tholut, bukan keturunan Nabi Yusuf, bukan keturunan raja, tapi tetap bersambung nasabnya kepada Nabi Ibrahim As.
Artinya, keturunan menjadi aspek penting dalam kepemimpinan, apabila tidak memiliki garis nasab yang pantas maka memakai harta sebagaimana ayat
وَلَمۡ یُؤۡتَ سَعَةࣰ مِّنَ ٱلۡمَالِۚ
Artinya : Dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak
Apabila tidak memiliki garis keturunan bangsawan dan tidak memiliki harta yang banyak, maka memakai cara Khoriquul Adah (diluar kebiasaan), sebagaimana ayat ;
قَالَ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰهُ عَلَیۡكُمۡ وَزَادَهُۥ بَسۡطَةࣰ فِی ٱلۡعِلۡمِ وَٱلۡجِسۡمِۖ وَٱللَّهُ یُؤۡتِی مُلۡكَهُۥ مَن یَشَاۤءُۚ وَٱللَّهُ وَ ٰسِعٌ عَلِیمࣱ﴾ [البقرة ٢٤٧]
Artinya : Nabi menjawab, “Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan menambahkan kelebihan ilmu dan fisik.” Allah memberikan kerajaannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha luas serta Maha Mengetahui.
Jadi, pada akhirnya Allah SWT sendiri yang memilih karena pada hakikatnya memang dialah yang berhak mengangkat atau menurunkan raja, sebagainana ayat ;
قُلِ ٱللَّهُمَّ مَـٰلِكَ ٱلۡمُلۡكِ تُؤۡتِی ٱلۡمُلۡكَ مَن تَشَاۤءُ وَتَنزِعُ ٱلۡمُلۡكَ مِمَّن تَشَاۤءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَاۤءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاۤءُۖ بِیَدِكَ ٱلۡخَیۡرُۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَیۡءࣲ قَدِیرࣱ [آل عمران ٢٦]
Artinya : Katakanlah, “Wahai Allah yang mempunyai kerajaan, engkau berikan kerajaan kepada orang yang engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang engkau kehendaki dan engkau hinakan orang yang engkau kehendaki. Di tangan engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Apabila dari segi nasab dan harta tidak bisa, maka perlu pilihan dari Allah SWT, ketika Allah memilih maka ia akan memilihat dari sejauh mana wawasannya, sebagaimana memilih pemimpin maka carilah yang punya wawasan luas dan juga yang memiliki badan yang sehat bukan yang paling lama.
من هذا عَلِمْنا أن العلم علمان؛ علم الاكتساب وعلم الطبيعي
Artinya : Dari ayat ini, kita tau bahwa ilmu itu ada dua, yaitu ilmu iktisab (yang bisa diraih dengan dicari), dan ada ilmu tabi’i (yang memang bawaan dari kecil)
Adapun istinbat tersebut berangkat dari ayat Al-Quran yang berupa
وَزَادَهُۥ بَسۡطَةࣰ فِی ٱلۡعِلۡمِ وَٱلۡجِسۡمِۖ
Artinya : Dan menambahkan kelebihan ilmu dan fisik.
Jadi, Allah SWT cuman menambahkan ilmunya pada Thalut, bukan memberi ilmu, artinya, Thalut sudah punya ilmu yang sifatnya memang asli watak orang pintar.
Jika ada orang yang tabiatnya pintar maka juga ada orang yang tabiatnya bodoh, namun bila terus diasah maka Allah SWT akan memudahkannya dalam belajar, dan diantara murid Imam Syafi’i yang memiliki tabiat seperti ini adalah Imam Rabi’.
Konon, saking bodohnya Imam Rabi’, setiap selesai diajari langsung hilang, oleh karenanya, Imam Syafi’i mengulang pelajarannya hingga 40 kali untuk memahamkan Imam Rabi’. Sampai-sampai Imam Syafi’i berkata “Seandainya ilmu itu bisa saya suapin maka dari dulu saya akan menyuapi Rabi’.”
Dan juga Allah SWT pernah berpesan kepada Rasulullah SAW agar bersabar menghadapi orang-orang demikian.
وَٱصۡبِرۡ نَفۡسَكَ مَعَ ٱلَّذِینَ یَدۡعُونَ رَبَّهُم بِٱلۡغَدَوٰةِ وَٱلۡعَشِیِّ یُرِیدُونَ وَجۡهَهُۥۖ
Artinya : Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridhoannya
Adapun yang dimaksud ayat di atas adalah Ashabus Sufah, termasuk didalamnya sahabat Abu Hurairah. Perlu diketahui bahwa Abu Hurairah menjadi orang pintar bukan Karena beliau cerdas, tapi karena didoakan oleh Rasulullah SAW, diludahi dan diberi surban, akhirnya semenjak itu dia tidak pernah lupa terhadap apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
Maka dari itu, menurut Ra. Ismail, santri ketika tidak bisa futuh maka hendaknya berdoa dan meminta barokah kepada orang-orang yang dekat dengan Allah SWT.
Beda halnya dengan Ibnu Abbas, sepupu Rasulullah berasal dari bangsa Quraisy yang memang merupakan keluarga orang pintar, sehingga, di umur lima atau enam tahun jika tidur di rumah Rasulullah SAW, ia tidak tidur malam, akan tetapi melihat bagaimana Rasulullah SAW beribadah, mulai dari wudhu sampai sholat Sunnah, bahkan ia diajak sholat Sunnah berjamaah oleh Rasulullah SAW.
Dari kejadian ini mengandung beberapa hukum fiqih diantaranya adalah diperbolehkannya sholat Sunnah berjamaah dan juga ketika sholat berdua dengan imam maka yang lebih utama adalah makmum berada di samping kanan imam, karena, ketika Ibnu Abbas sholat bersama Rasulullah SAW dan ia berada di sisi kirinya, Rasulullah SAW menarik kepalanya agar bergeser ke sebelah kanan Rasulullah SAW.
Selain itu, Ibnu Abbas juga didoakan oleh Rasulullah SAW dengan doa “Allahumma faqqihhu fiddin waalimhu takwil” makanya oleh ulama dijuluki turjumanul Qur’an (juru bicara Al-Qur’an)
Jadi, jika ingin cepat dalam menuntut ilmu, maka butuh tiga hal, yaitu, ilmu thobi’i, ilmu iktisab dan doa guru.
قلت: فعلى قدر قوة العلم الطبيعي يستحصل علم الاكتساب. وعلى قدر إتقان علم الاكتساب يهذب ويصفّى العلم الطبيعي، وهذا العلم الطبيعي هو الذي أعطاه الله لطالوت. اهـ
Artinya : Saya berkata (KH. Ismail) “Tergantung kadar kekuatan ilmu tabiatlah (bawaan lahir) ilmu iktisab (menuntut ilmu) dapat diperoleh, dan tergantung kadar kuatnya ilmu iktisablah, ilmu tabiat dapat di sucikan. Ilmu tabiat inilah yang diberikan Allah SWT kepada Thalut.
قال: قوم جالوت في المشرق في بابل الثانية والنهر الذي عبره طالوت وقومه هو نهر الأردن، وهذا النهر هو الفاصل بين بلاد المشرق وهي بلاد جالوت وبلاد المغرب، … إنَّ اللهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ … أي لأنه ليس من سبط المملكة ولا النبوة
Artinya : Guru kami KH. Maimun Zubair berkata, Kaum Jalut itu ada di bagian timur yakni Babilonia dua, adapun sungai yang dilewati oleh Jalut dan kaumnya adalah sungai Yordania, sungai inilah yang menjadi pemisah antara negara bagian timur (negara Jalut) dan negara bagian barat…“Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana Talut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya… Artinya, Karena tholut bukan keturunan bangsawan dan bukan keturunan Nabi.
قلت: قال في البداية والنهاية وقد ذكروا أن النبوة كانت في سبط لاوى، وأن الملك كان في سبط يهوذا؛ فلما كان هذا من سبط بنيامين نفروا منه وطعنوا في إمارته عليهم وقالوا : نَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ. اهـ
Artinya : Saya berkata (KH. Ismail), Imam Ibnu Katsir berkata dalam kitab Al-Bidayah Wa An-Nihayah, dan para ulama juga berpendapat bahwa kenabian (orang-orang yang menjadi nabi) itu adalah keturunan lawi (bin Ya’qub bin Ishak bin Ibrahim), sedangkan kerajaan (orang-orang yang menjadi raja) itu adalah keturunan Yahuda (bin Ya’qub bin Ishak bin Ibrahim), maka ketika Thalut lahir dari keturunan Bunyamin, orang-orang pergi meninggalkan Thalut dan membuat kerusakan dalam pemerintahan thalut pada Bani Israil yang lain, dan mereka berkata “kami lebih berhak menjadi raja daripada mereka.”
Kemudian setelah Tholut, keluar Nabi Daud As yang jelas dari keturunan kerajaan, baru di masa Nabi Daud ini orang-orang menerima. Karena Allah SWT punya kebiasaan mengeluarkan sesuatu yang mati dari perkara yang hidup dan mengeluarkan perkara yang hidup dari perkara yang mati, artinya, dalam keturunan terkadang orang tuanya adalah petani tapi punya anak yang alim, dan juga sebaliknya, yaitu seorang kiai punya anak tapi tidak alim. Seperti ayat
یُخۡرِجُ ٱلۡحَیَّ مِنَ ٱلۡمَیِّتِ وَیُخۡرِجُ ٱلۡمَیِّتَ مِنَ ٱلۡحَیِّ
Artinya : Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.
Selain itu, pengaruh nasab mulia juga pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW ketika ditanya tentang orang yang paling mulia, sebagaimana hadis yang termaktub dalam kitab Shohih Bukhori berikut ;
حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ، أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَكْرَمُ؟ قَالَ: «أَكْرَمُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاهُمْ» قَالُوا: لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ قَالَ: «فَأَكْرَمُ النَّاسِ يُوسُفُ نَبِيُّ اللَّهِ ابْنُ نَبِيِّ اللَّهِ، ابْنِ نَبِيِّ اللَّهِ ابْنِ خَلِيلِ اللَّهِ»، قَالُوا: لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ، قَالَ: «فَعَنْ مَعَادِنِ العَرَبِ تَسْأَلُونِي» قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: «فَخِيَارُكُمْ فِي الجَاهِلِيَّةِ خِيَارُكُمْ فِي الإِسْلاَمِ إِذَا فَقِهُوا» تَابَعَهُ أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ
[البخاري ,صحيح البخاري ,6/76]
Telah menceritakan kepadaku (Muhammad) Telah mengabarkan kepada kami (‘Abdah) dari (‘Ubaidillah) dari (Sa’id bin Abu Sa’id) dari (Abu Hurairah R.A) dia berkata; Rasulullah SAW ditanya, “Siapakah menusia yang paling mulia?” Beliau bersabda: “Orang yang paling bertaqwa dari mereka.” para sahabat berkata; “Bukan itu yang kami tanyakan?” beliau bersabda: “Jika bukan, berarti Yusuf Nabi Allah putra Nabi Allah (Ya’qub) putra Nabi Allah (Ishaq) putra Ibrahim kekasih Allah,” para sahabat berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan, ” beliau bersabda, “Apakah tentang bangsa Arab yang kalian tanyakan?, mereka menjawab, “Ya.” Rasulullah SAW bersabda, “orang yang paling baik dari mereka dimasa jahiliyyah adalah orang yang paling baik dimasa Islam, jika mereka paham Islam.” Demikian juga diriwayatkan oleh (Abu Usamah) dari (Ubaidullah).
Namun, Nabi Yusuf tidak memiliki keturunan yang menjadi Nabi, karena menurut KH. Maimun Zubair, Nabi Yusuf menjadi orang pemerintahan, kata ulama, jika sudah masuk ke pemerintahan maka sulit untuk memiliki anak yang alim
Kendati demikian, Nabi Yusuf memiliki menantu yang menjadi Nabi, yaitu Nabi Ayyub, Nabi Ayyub menikahi Siti Rahmah putri Nabi Yusuf As. Akhirnya, dari itu lahir keturunan yang baik seperti Fata Musa yaitu Yusya’ bin Nun dan seterusnya.
Oleh karenanya, Ra Ismail menyampaikan agar memiliki planing dalam menikah, dan tidak asal menikahi perempuan tanpa memikirkan masa depannya. Sebab Rasulullah SAW bersabda
إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ، خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ
[البخاري، صحيح البخاري، ٨١/٢]
Artinya : Sesungguhnya kamu bila meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan (kaya) itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka serba kekurangan sehingga nantinya mereka meminta-minta kepada manusia.
In kana huna shohihun fahuwa bifadlillah wa in kana huna khoto’un fahuwa bidho’fi Fahmi. Allahua’lam, Semoga bermanfaat.
Author : Fakhrullah
Desain : Abd. Hamid