Jika bicara ulama yang mempunyai keahlian lengkap dan multi disiplin, diakui bukan hanya oleh kalangan orang Islam tapi juga oleh orang non Islam adalah al-Imam Hujjatu Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghozali ath-Thusiy. Banyak sanjungan ulama yang ditujukan kepada beliau dari rekan semasa, murid hingga guru beliau sendiri al-Imam al-Haramain al-Juwainiy tidak segan-segan mengatakan:
الغزالي بحر مغدق
“Al-Ghozali adalah samudera yang melimpah”.
Bahkan Maulana al-Ustadz al-Akbar al-Syaikh Muhammad Musthafa al-Maraghiy, Syaikh al-Jami’ al-Azhar dalam sebuah pengantarnya menuliskan dengan indahnya sosok al-Imam al-Ghozali:
“Ketika nama-nama ulama disebut, pikiran akan tertuju pada cabang-cabang ilmu dan ragam pengetahuan yang mereka kuasai. Jika Ibnu Sina atau Al-Farabi disebut, akan terlintas dibenak dua filsuf besar Islam. Dan jika Ibnul Arabi disebut, yang terlintas adalah seorang sufi dengan pandangan-pandangannya dalam tasawuf yang memiliki pengaruh besar. Jika Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad disebut, yang terlintas adalah para tokoh yang memiliki kedudukan besar dalam hafalan, kejujuran, amanah, ketelitian, dan pengetahuan tentang para perawi hadist.
Namun, ketika nama Al-Ghozali disebut, berbagai aspek muncul dan tidak hanya satu orang yang terlintas dalam benak, melainkan terlintas tokoh-tokoh yang beragam, masing-masing dengan kemampuan dan nilainya sendiri. Yang terlintas adalah al-Ghozali, seorang pakar ushul fiqh yang cerdas dan mahir. Al-Ghozali, sang faqih yang bebas dan al-Ghozali, seorang pakar ilmu kalam Imam Ahli Sunnah dan menjadi pembelanya, al-Ghozali sang pemikir sosial, yang ahli dalam memahami keadaan dunia, rahasia hati nurani, dan isi hati manusia.
Al-Ghozali sang filsuf, atau orang yang menentang filsafat, yang mengungkap hiasan dan kepalsuan yang ada didalamnya.
Al-Ghozali sang pendidik, dan al-Ghozali sang sufi yang zuhud. Jika kamu mau, katakanlah bahwa sosok yang terlintas dalam benak adalah seorang tokoh yang merupakan ensiklopedia pada zamannya, seorang tokoh yang haus untuk mengetahui segala sesuatu dan segala cabang pengetahuan. Tidak ada bukti yang lebih nyata tentang hal ini selain apa yang al-Ghozali katakan tentang dirinya sendiri dalam kitab Al-Munqidi min adh-Dhalalah wa al-Mushilu ila Dzu al-Izzati wa al-Jalal:
ولم أزل في عنفوان شبابي – منذ راهقت البلوغ، قبل بلوغ العشرين، إلى الآن، وقد أناف السن على الخمسين – أقتحم لجة هذا البحر العميق، وأخوض غمرته خوض الجسور، لا خوض الجبان الحذور أتوغل في كل مظلمة، وأتهجم على كل مشكلة ، وأتقحم كل ورطة ، وأتفحص عن عقيدة كل فرقة ، وأستكشف أسرار مذهب كل طائفة، الأميز بين محق ومبطل، ومتسنن ومبتدع
لا أغادر باطنياً إلا وأحب أن أطلع على بطانته. ولا ظاهرياً إلا وأريد أن أعلم حاصل ظهارته. ولا فلسفياً إلا وأقصد الوقوف على كنه فلسفته. ولا متكلماً إلا وأجتهد في الاطلاع على غاية كلامه ومجادلته. ولا صوفياً إلا وأحرص على العثور على سر صفوته. ولا متعبداً إلا وأترصد ما يرجع إليه حاصل عبادته. ولا زنديقاً معطلاً إلا وأتحسس وراءه، للتنبه لأسباب جرأته، في تعطيله وزندقته
“Sejak masa mudaku, sejak aku mulai memasuki usia baligh, dan sekarang usiaku telah lebih dari lima puluh tahun, aku terus menceburkan diri kedalam lautan ilmu yang dalam ini, menyelaminya dengan keberanian, bukan dengan ketakutan atau keraguan. Aku menggali setiap persoalan yang rumit, menyelami setiap masalah yang sulit, menelusuri setiap keyakinan dari berbagai kelompok, dan mengungkap rahasia setiap mazhab untuk membedakan antara yang benar dan yang batil, yang mengikuti sunnah maupun yang mubtadi’.
Aku tidak pernah bertemu dengan seorang batiniyah tanpa berusaha menelusuri kedalaman batinnya.
Atau seorang dhahiri tanpa berusaha mengetahui hasil dari penampilan luarnya.
Tidak seorang filsuf pun yang aku temui kecuali aku ingin memahami esensi dari filsafatnya.
Dan tidak seorang ahli teologi (mutakallim) pun yang aku jumpai kecuali aku berusaha sekuat tenaga untuk memahami tujuan dari ucapan dan usahanya.
Tidak seorang sufi pun yang aku temui kecuali aku ingin menemukan rahasia kemurniannya, tidak seorang ahli ibadah pun yang aku jumpai kecuali aku berusaha memahami hasil ibadahnya, dan tidak seorang zindik pun yang aku temui tanpa berusaha menyelidiki alasannya berani dalam ta’thil dan kezindikannya.
Meskipun filsafat bukanlah cabang pengetahuan utama yang dikuasai oleh Ghozali, telah dikatakan tentang dirinya oleh para pakar filsafat Barat: ‘Filsafat Arab tidak pernah menghasilkan pemikiran yang inovatif seperti yang dimiliki oleh Ghazali.’ Dan telah dikatakan pula tentang dirinya: ‘Sosok seperti Ghozali adalah teka-teki bagi filsafat, karena pribadi mereka adalah kebenaran spiritual yang membutuhkan penjelasan.'”
“Al-Ghozali dengan benar dianggap sebagai Imam retorika dalam gaya penulisan ilmiah dan sosial. Dia berusaha keras untuk membuat pembaca memahami dan meyakini apa yang ingin dia sampaikan kepada mereka. Oleh karena itu, dia menghindari kerumitan dan istilah-istilah teknis, serta banyak menggunakan perumpamaan untuk mendekatkan makna-makna yang sulit dipahami. Selain itu, dia juga dengan benar dianggap sebagai Imam para ulama yang berusaha mendekatkan filsafat dan pemahaman tasawuf kepada keyakinan agama dan kaidah-kaidahnya.”
Dalam kitab yang sama al-Ghozali mengatakan:
وقد كان التعطش إلى درك حقائق الأمور دأبي وديدني من أول أمري وريعان عمري، غريزة وفطرة من الله وضعتا في جبلتي، لا باختياري وحيلتي، حتى انحلت عني رابطة التقليد وانكسرت على العقائد الموروثة على قرب عهد من الصبا؛ إذ رأيت صبيان النصارى لا يكون لهم نشوء إلا على التنصر، وصبيان اليهود لا نشوء لهم إلا على التهود وصبيان المسلمين لا نشوء لهم إلا على الإسلام. وسمعت الحديث المروي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم حيث قال: (كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويُمجسانه فتحرك باطني إلى (طلب) حقيقة الفطرة الأصلية، وحقيقة العقائد العارضة بتقليد الوالدين والأستاذين، والتمييز بين هذه التقليدات، وأوائلها تلقينات، وفي تمييز الحق منها عن الباطل اختلافات
“Sejak dini hingga puncak kematangan usiaku, aku selalu dahaga—dengan tekun dan gigih— akan hakikat segala sesuatu secara naluri dan fitrah yang diletakan Allah ﷻ kepadaku bukan disebabkan usaha dan upayaku hingga aku mampu mengurai segala simpul taqlid dan memecahkan aqidah-aqidah yang telah diwariskan. Karena aku melihat anak-anak orang Nasrani tumbuh menjadi orang beragama Nasrani, anak-anak orang Yahudi tumbuh menjadi orang beragama Yahudi, begitu juga anak-anak orang Islam tumbuh menjadi orang beragama Islam dan aku telah mendengar sebuah hadits Rasulullah ﷺ menyebutkan:
“Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi orang Yahudi, orang Nasrani ataupun orang Majusi”.
Sebab itu, hatiku tergerak untuk mencari tahu hakikat fitrah manusia sebenarnya, hakikat aqidah-aqidah yang lahir dari taklid (mengikuti) kedua orang tua dan para guru. Bagaimana membedakan kedua taklid ini dan permulaan pembelajarannya serta membedakan mana taklid yang benar dan yang batil.
Terakhir, kendati banyak sanjungan dan pujian yang tujukan kepada al-Ghozali, tidak sedikit orang-orang yang menghina, dan menzindiqkan bahkan mengkafirkan beliau. Namun Cukuplah tulisan Sayyid al-Husaini az-Zabidiy dalam karya Ittifa as-Syadah al-Muttaqin Syarh Kitab Ihya Ulumuddin menjawabnya:
“Orang-orang yang menuduh al-Ghozali tidak benar, berarti mereka belum mengenalnya dan tidak tahu siapa yang mereka bicarakan.” Waallahu A’lamu.
Penulis: Abdul Adzim
Publisher: Fakhrul
Referensi:
✍️ Al-Munqidi min adh-Dhalalah wa al-Mushilu ila Dzu al-Izzati wa al-Jalal| Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghozali| Hakikat Kitabevi Turki, halaman 4.
✍️ A’lamu al-Muslimin al-Imam al-Ghozali Hujjatu al-Islam wa Mujajjidu al-Minnah al-Khamisah| Syaikh Sholeh Ahmad asy-Syamiy| Daru al-Qalam Damsyiq, halaman 29-32.
✍️ A’lamu al-Fiqaha’ wa al-Muhaditsin| Syaikh al-Harits bin Asad al-Muhasabiy| Daru al-Kutub al-Ilmiyah, halaman 30-31.