Pekan selanjutnya, KH. Muhammad Ismail al-Ascholy melanjutkan keterangan surah Al-Baqarah ayat 245 yang berbunyi
﴿مَّن ذَا ٱلَّذِی یُقۡرِضُ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنࣰا فَیُضَـٰعِفَهُۥ لَهُۥۤ أَضۡعَافࣰا كَثِیرَةࣰۚ وَٱللَّهُ یَقۡبِضُ وَیَبۡصُۜطُ وَإِلَیۡهِ تُرۡجَعُونَ﴾ [البقرة ٢٤٥]
Artinya : Barangsiapa meminjami Allah SWT dengan pinjaman yang baik maka Allah SWT akan melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah SWT adalah dzat yang menahan dan melapangkan (rezeki), dan kepada-Nyalah kalian semua dikembalikan. (QS. Al-Baqarah: 245)
Keterangan diatas bisa dibaca selengkapnya di link ini (Keterangan) dan untuk kelanjutannya, KH. Ismail menulis redaksi berikut ;
وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْصط يدل على عدم احتياج الله لإنفاق المؤمنين مع أنه يحثهم عليه، إذ قال قبله : من ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا
Artinya : lafadz yang memiliki makna “Allah SWT adalah dzat yang maha menahan dan melapangkan” menunjukkan bahwa Allah SWT tidak butuh terhadap infaqnya orang mukmin, meskipun Allah SWT memerintahkannya untuk berinfaq, karena sebelumnya, Allah SWT berfirman yang artinya, “Barangsiapa meminjami Allah SWT dengan pinjaman yang baik.”
Menurut Ra. Ismail, dalam kajian ayat ini, ketika Allah SWT memerintahkan orang mukmin agar berinfaq, Allah SWT mengistilahkannya dengan “hutang”. Maka dari itu barangsiapa yang menghutangi Allah SWT maka itu maksudnya adalah infaq di jalan Allah SWT.
Ra. Ismail juga menyampaikan agar tidak merusak pahala infaq atau shodaqoh dengan mengungkit-ungkitnya atau menyakitinya, sebagaimana potongan surah al-Baqarah ayat 264 berikut ;
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا تُبۡطِلُوا۟ صَدَقَـٰتِكُم بِٱلۡمَنِّ وَٱلۡأَذَىٰ
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian batalkan shodaqoh kalian dengan mengungkit-ungkitnya dan menyakiti.
Namun disisi lain, menurut Ra. Ismail jika hanya mengharap balasan dari shodaqoh atau infaq yang diberikannya maka tidak terlalu masalah, karena jika menunggu orang ikhlas semua dalam bershodaqoh akan sedikit sekali orang yang bisa melakukannya.
“Seandainya tidak ada perintah untuk bersodaqoh (walaupun punya niat jelek) maka otomatis orang-orang tidak akan bershodaqoh, untuk apa memberi sesuatu tapi tidak ada balasannya, kita kan tidak biasa cinta bertepuk sebelah tangan, maka begitu juga Shodaqoh bertepuk sebelah tangan juga tidak biasa,” tutur Ra. Ismail.
Beliau kemudian memberikan analogi yang logis terkait hal itu, yaitu sebagaimana orang-orang yang fasik atau yang memiliki perangai buruk terhadap orang lain tapi masih suka bershodaqoh.
“Semisal orang jahat atau nakal, meskipun nakal tapi jika royal maka pasti banyak temannya, karena barokahnya royal dia mendapatkan penghormatan dari temannya sehingga seandainya orang royal tersebut tidak mendapatkan penghormatan maka akan berhenti untuk royal karena sudah tidak ada balasan,”
“Artinya, semua hal tersebut misalnya dilarang oleh Allah secara masif, maksudnya tidak ada kesempatan bagi orang bershodaqoh untuk mengharap balasan dari orang lain maka Allah tidak akan mengatakan ayat من ذا الذي…الخ” ungkapanya.
Bahkan menurut Ra. Ismail, sekelas Imam Ghozali waktu muda saat menuntut ilmu pun tidak berniat lilla hita’ala, akan tetapi niat karena mengharap uang saku dan makanan dari gurunya. Namun seiring berjalannya waktu pada akhirnya ilmunyalah yang mengantarkan Imam Ghozali untuk berniat lilahi ta’ala dalam menuntut ilmu.
Dan Ra. Ismail menyampaikan bahwa, pada hakikatnya Allah SWT tidak butuh terhadap shodaqohnya seseorang, tapi hal itu karena Allah SWT ingin mengangkat statusnya orang tersebut agar suka memberi kepada orang lain, maka dari itu, Rasulullah SAW bersabda :
السخي قريب من الله قريب من الجنة، قريب من الناس بعيد من النار. والبخيل بعيد من الله بعيد من الجنة بعيد من الناس قريب من النار
Artinya : Orang yang dermawan dekat dengan Allah SWT, dekat dengan surga, dekat dengan manusia dan jauh dari neraka. Sedangkan orang pelit jauh dari Allah SWT, jauh dari surga, jauh dari manusia, dan dekat dengan neraka.
Selanjutnya, Ra. Ismail menjelaskan redaksi kitabnya yang berbunyi berikut ;
سمي هذا الإنفاق قرضاً لأن المال يتصرف تصرفاً تاما بين الناس، كما كان في البنوك وحكم البنك عندنا كحكم ترجمة القرآن؛ لا نحرمه حق الحرمة ولانحث الناس إليه
Artinya : Infaq ini dinamakan hutang karena harta itu bisa ditashorrufkan dengan sempurna diantara manusia, sebagaimana dalam urusan bank. Adapun hukum bank menurut kami adalah seperti hukum terjemahan al-Quran, tidak benar-benar mengharamkan dan kita tidak mengajak untuk menggunakan bank.
فمن يأبى معاملة البنوك لنفسه فذلك خير له؛ فإن البنك كما هو معروف لا بد من وجود أقل شيئ من الربا وأكثر
Artinya : Maka barangsiapa yang enggan untuk bermuamalah dengan menggunakan bank karena dirinya sendiri maka itu lebih baik bagi orang tersebut, karena sebagaimana mashur bahwa bank itu tidak akan terlepas dari adanya riba, baik sedikit ataupun banyak.
“Dawuhnya KH. Maimun Zubair mashur hukumnya bank itu seperti hukum terjemahan al-Quran. Dulu, itu adalah sesuatu yang sempat diharamkan oleh mayoritas ulama pada tahun sebelum 1950-an, jadi pada saat itu awal- awal maraknya terjemahan al-Quran, padahal al-Quran itu tidak boleh diterjemah sebab kata Allah
بِلِسَانٍ عَرَبِیࣲّ مُّبِینࣲ ١
Artinya : Dengan lisan orang arab yang jelas. Jika dirubah ke bahasa lain maka otomatis tidak bisa mewakili keseluruhan makna yang tercantum dalam bahasa arab,” tutur Ra. Ismail.
“Seandainya diterjamah secara leterlek saja maka tidak bisa masuk pada makna al-Qur’an, seandainya itu ada maka ulama mengharamkan, tapi tidak terlalu diharamkan jika kita mengatakan bahwa itu tafsir al-Qur’an dan cuman judulnya saja yang berupa terjemah,”
“Jadi tidak boleh mengatakan itu terjemahan asli karena itu pasti merupakan tafsir, nah begitu juga bank, karena pasti ada riba dan semacamnya. Cuman masalah bank ini sama dengan masalah terjemah al-Qur’an, karena walaupun haram tapi masih tetap terjadi dimana-mana, sehingga oleh para ulama dicarikan judul lain,”
In kana huna shohihun fahuwa bifadlillah, wa in kana huna khoto’un famin dzo’fi fahmi. Allhua’lam, semoga bermanfaat.
Author : Fakhrullah