Pekan selanjutnya, KH. Ismail al-Ascholy menjelaskan ayat tentang perintah Allah SWT kepada para Malaikat agar sujud kepada Nabi Adam. Beliau menulis ;
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Artinya : Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada para malaikat, “Sujudlah kalian semua kepada Adam !” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis, Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir. (QS. Al-Baqarah: 34)
Dari ayat ini, Ra. Ismail menyampaikan alasan mengapa para Malaikat diperintahkan untuk bersujud kepada Nabi Adam, dalam penjelasannya ada yang mengatakan karena Ilmunya Nabi Adam dan ada yang mengatakan karena ada Nur Rasulullah SAW di dalam diri Nabi Adam, dan beliau juga menyebutkan korelasi antara dua pendapat tersebut, sebagaimana yang telah ditulis oleh beliau ;
قال شيخنا : قيل : لنور محمد صلى الله عليه وسلم الذي كان فيه. وقيل : لعلمه الذي علمه الله سبحانه في قوله: ﴿وَعَلَّمَ ءَادَمَ الْأَسْمَاء …﴾ (البقرة الآية (٣١)، والجمع بين القولين: أن العلم نور، وكل الأنوار مبدأها من محمد صلى الله عليه وسلم كما دل الحديث: «إن أول شيء خلقه الله نور نبيك فلا تنافي ولا تناقض
Artinya : Guru kami KH. Maimun Zubair berkata, (Alasan para malaikat diperintah untuk sujuh kepada Nabi Adam) ada yang mengatakan karena Nur Nabi Muhammad SAW yang berada dalam diri Nabi Adam. Dan ada yang Mengatakan karena ilmu Nabi Adam yang telah diajarkan Allah SWT kepadanya sebagaimana ayat yang artinya, “Dan kami telah mengajari nama-nama kepada Adam,” untuk menggabungkan dua pendapat tersebut maka berarti sesungguhnya ilmu itu cahaya, dan semua cahaya berawal dari Nabi Muhammad SAW, sebagaimana hadis yang artinya, “Sesungguhnya yang pertama kali Allah SWT ciptakan adalah Nur Nabimu,” maka kedua pendapat di atas tidak saling menafikan dan tidak saling bertentangan.
ولذلك؛ قال الديبعي في المولد: قيل هو آدم، قال آدم أنيله أعلى المراتب (والضمير يرجع إلى نور رسول الله ﷺ
Artinya : Oleh karena itu, Ad-Diba’i berkata dalam maulidnya yang artinya, “Ada yang mengatakan dia itu adalah Adam”, maka dijawab oleh Allah SWT, “malah sebab nur ini aku memberikan derajat yang tinggi kepada Adam,” (Dhomir dalam lafadz huwa di atas kembali ke Nur Rasulullah SAW)
Ra. Ismail kemudian menyampaikan pernyataan gurunya, yaitu KH. Maimun Zubair terkait pembahasan ini, hal itu sebagaimana telah kami catat berikut ;
“Jadi dalam ayat ini Syaikhina KH. Maimun Zubair menjelaskan Nur Nabi, yang mana Nur ini masyhur dalam hadis-hadis, walaupun kata sebagian ulama hadis tentang Nur Nabi tidak seshoheh itu, tapi kita tidak boleh mengingkari hadis tentang Nur Nubuwwah, sebab ini yang disepakati oleh ulama Ahlussunnah Waljama’ah, jadi, jika ada yang tidak mau dengan hadis tentang Nur Nabi berati agak Wahabi dan sekuler,” ungkapnya
“Kalau di hadis yang lain, yang pertama kali diciptakan oleh Allah ada yang mengatakan qalam, ada yang mengatakan lauhu yaitu papannya dan ada yang mengatakan air, jadi air dulu kemudian jadi embun kemudian jadi macam-macam perkara seperti langit, bumi, surga, neraka dll.”
Adapun dalil al-Qur’an yang disampaikan oleh Ra. Ismail tentang air yang pertama kali diciptakan Allah SWT adalah potongan dari surah al-Anbiya’ ayat 30 yang berbunyi :وَجَعَلۡنَا مِنَ ٱلۡمَاۤءِ كُلَّ شَیۡءٍ حَیٍّۚ
Artinya : Dan kami jadikan setiap sesuatu yang hidup dari Air.
Tapi Ra. Ismail berkesimpulan bahwa yang pertama kali diciptakan oleh Allah SWT tetaplah Nur Nabi, menurutnya, hal itu dikarenakan Rasulullah SAW merupakan pemeran utama dalam kehidupan dunia ini.
“Cuman untuk menghitung apa yang benar-benar pertama kali yang diciptakan oleh Allah SWT tentu adalah Nurnya Nabi Muhammad, karena Nabi, secara kenabian diciptakan sebelum Allah menciptakan Nabi Adam, jadi, sebelum Nabi Adam ada Nur Nabi Muhammad.”
“Adanya langit dan bumi ini cuman untuk memperindah cerita Nabi Muhammad, makanya dalam Diba’ dikatakan al-kaunu isyaroh wa antal maksud, alam semesta cuman judul sedangkan intinya adalah ingin menceritakan Nabi Muhammad,”
“karena ingin menciptakan Rasulullah dalam wujud manusia, dan manusia butuh makanan maka Allah menciptakan hewan-hewan laut, burung dan semacamnya untuk dimakan, karena manusia butuh tempat tinggal maka diciptakan bumi, karena manusia butuh atap maka diciptakan langit karena manusia butuh minum maka diciptakan air, apalagi manusianya seorang Rasulullah,”
Beliau mengatakan bahwa nalar yang digunakan pada ayat ini juga bisa menjadi dalil tapi dalil isti’nas bukan hujjah.
Adapun Nurnya Nabi Muhammad tersebut turun temurun dari Nabi Adam sampai ke Nabi Nuh, ke Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan akhirnya sampai ke Sayyid Abdullah dan Sayyidah Aminah. Oleh karenanya, ulama mengatakan bahwa semua nasab Rasulullah SAW sampai Nabi Adam terjaga dari perbuatan syirik, kufur, zina dan semacamnya, karena didalamnya terdapat Nur Rasulullah SAW.
“Menurut Ahlussunnah waljama’ah, ayah-ayah Rasulullah harus suci semua, harus islam, tidak boleh syirik, dan tidak boleh berzina karena membawa Nur Nabi Muhammad, gara-gara Nur Nabi, orang yang menjadi tempat penitipan Nur memiliki efek positif yang berlebihan, selain ilmunya mantap, wajahnya juga menjadi tampan,”
Beliau juga bercerita dengan singkat tentang ketampanan Sayyid Abdullah (Ayah Rasulullah SAW). Suatu hari, Sayyid Abdullah pernah berjalan di suatu tempat mau kerumah Sayyidah Aminah, yang mana status Sayyidah Aminah pada saat itu sudah menjadi tunangannya
Kemudian ternyata ditengah jalan bertemu perempuan dari qobilah Arab yang cantik menawarkan diri ke Sayyid Abdullah agar dinikahi, tapi Sayyid Abdullah menolak karena sudah ada Sayyidah Aminah, kemudian setelah menikah dengan Sayyidah Aminah beliau bermaksud kembali ke perempuan qabilah arab tadi, namun perempuan tersebut tidak mau lagi, sebab Sayyid Abdullah terlihat biasa saja, hal itu karena Nur nabi sudah pindah ke Sayyidah Aminah.
Ditengah-tengah pembahasan hangat tentang Nur Rasulullah SAW, Ra. Ismail juga menjelaskan tentang kakek buyut Rasulullah yaitu Nabi Ibrahim dan ayahnya, yang mana ayah Nabi Ibrahim adalah pembisnis sekaligus pembuat patung, sehingga para ulama terjadi khilaf ketika menjelaskan demikian, pasalnya, garis nasab Nabi ke atas tidak boleh ada yang syirik. Maka dari itu, Ra Ismail menjelaskan dengan detail terkait ha tersebut ;
“Ketika dibaca-baca, ternyata bisnis ayah Nabi Ibrahim adalah membuat patung, akhirnya ulama yang mengatakan bahwa Nabi harus dari orang-orang yang suci mengatakan bahwa Azar (Ayah Nabi Ibrahim) itu bukan Ayah Nabi Ibrahim, akan tetapi itu adalah pamannya, padahal dalam al-Qur’an sudah jelas dikatakan وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَ ٰهِیمُ لِأَبِیهِ ءَازَرَ
Yang artinya, “Dan ketika Nabi Ibrahim berkata kepada ayahnya, yaitu Azar.”
“Tapi kata ulama, ayah Nabi Ibrahim bukan Azar, maka ulama berkesimpulan bahwa Nabi Ibrahim di tarikh manapun punya ayah yang bernama Taroh, berati Azar bukan ayah Nabi Ibrahim tapi pamannya, makanya dijawab bahwa lafadz “abi” bukan hanya bapak kandung tapi juga paman dengan dalil Al-Qur’an:
قَالُوا۟ نَعۡبُدُ إِلَـٰهَكَ وَإِلَـٰهَ ءَابَاۤىِٕكَ إِبۡرَ ٰهِـۧمَ وَإِسۡمَـٰعِیلَ وَإِسۡحَـٰقَ إِلَـٰهࣰا وَ ٰحِدࣰا وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ
Artinya : Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, seperti Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
“Dari ayat tersebut, secara keseluruhan Nabi Ismail bukan ayah Bani Israil, bukan ayah Nabi ya’qub, sama halnya ketika mengatakan “Pak” di pesantren, itu bukan berati ayah kandung, sehingga Nurnya Nabi selamat dari orang yang berjualan atau nyembah berhala. Apalagi orang dulu, ada yang nama asli ada yang nama laqob, jadi dikatakan bahwa Taroh adalah nama asli sedangkan Azar adalah nama lakob,” ungkapnya.
Kemudian, terkait Azar yang menyembah berhala, Ra. Ismail menjelaskan bahwa menurut ulama yang mengatakan azar tetaplah ayah Nabi Ibrahim maka dijawab bahwa sebelum Azar tinggal di kotanya Raja Namrud, ia masih beriman kepada Allah SWT, tapi setelah Nabi Ibrahim lahir, ia berubah kepercayaan menyembah patung, jadi, hal itu tidak bisa menjadi celah akan kesucian Nur Nabi, karena Nur Nabi telah berpindah ke dalam diri Nabi Ibrahim.
Beliau juga menyampaikan bahwa Nur Rasulullah SAW tidak hanya berdampak pada orang-orang yang dijadikan tempat penitipan Nurnya saja, tapi juga berpengaruh terhadap keturunan-keturunannya serta kepada umatnya.
“Nurnya Nabi tidak hanya bermanfaat pada Nabi ke atas, tapi keturunannya Nabi juga mendapatkan Nurnya, karena kata Nabi “Fatimah bid’atun Minni,” (Artinya, Fatimah adalah bagian dariku), maka Begitu juga semua anak keturunan Sayyidah Fatimah juga bagian dari Nabi,” ungkap Ra. Ismail.
“Selain keturunan Nabi, juga bisa memperoleh Nur Nabi, yaitu melalui era, di zaman Nabi ada era yang namanya era sahabat, orang-orang yang mendapatkan Nurnya Nabi adalah para sahabat, sehingga karena saking kuatnya cahaya Nabi saat itu, sekali ada orang bertemu dengan Nabi dalam keadaan beriman maka pasti orang tersebut dijauhkan dari neraka dan pasti dijamin orang tersebut mati membawa islam dan iman,”
“Dan ketika bercerita tentang apa saja pasti dibenarkan oleh orang setelahnya padahal hanya bertemu sekali dengan Nabi, setelah para sahabat, Nurnya semakin kurang, sehingga para santrinya sahabat Rasulullah tidak bisa hanya sekali melihat untuk dikatakan muslimnya baik dan sebagainya, tapi harus mengaji dulu kepada para sahabat untuk mendapatkan Nurnya Nabi, sedangkan Tabi’i tabi’in jika ingin Nurnya Nabi maka harus ngaji sekaligus lazim atau berkumpul dalam waktu lama,”
“Begitu juga untuk bisa meraih kelas dobet atau ilmunya bisa dipercaya tidak cukup mondok sebulan tapi benar benar lazim dan bersungguh-sungguh ngaji, kalau melalui FB dan Ig tidak bisa dikatakan nyantri.” Jelas KH. Ismail al-Ascholy.
Author : Fakhrullah