هنا إندونيسيا
هنا إندونيسيا ، حيث رَبَّى خَليل ، وأَنْهَضَ هَاشم ، وفَسَّر مَيْمُون ، وحدَّثَ ابن عبد القادر بلفقيه ، وألَّف إحْسان ، وشَرَح النَّوَاوِي ، وحَشَّى مَحْفُوْظ التّرمُسي ، وأسْنَدَ الفاداني ، وَدَوَّنَ ابن جِنْدَان ، وأفْتَى عُثْمان ، وأَطْرَبَ السَّقَّاف ، وأنشأ علي مَنْصور صلواتِ البَدْر ، وسامر أبو الفضل مؤرِّخاً ، وَضَبَطَ مَصْدُوقِي مُدَقِّقا ، وأسَّس أحمد دَحْلَان ، وأنْجَب سَالِم وَحَفِيظ ، وبَشَّر مُنذِر ، وعمَّر البنجري ، وأرْشَدَ السمْبَاسِيُّ والدَّارسماوي ، وصَفَّى يُوسف ، متفيئين بِظلال الأولِياء التِّسْعَة الهُداة ، ومعهم من كل جيل أئمة دعاة
بل هُنا إندونيسيا ، حيث خرَّج سيداقيري ، وقدَّر كديري ، ورَفَع لاغيتان ، وأصدر دَارَات ، ووسَمَ لاسم ، وزكَّى قُدْس ، وصَنَعَ فلمبان ، ونَصبَ فَالو ، وأشجع آشي ، ونَشرَ مدورا
هذه إندونيسيا التي جادت بقاعها للسائل والمحروم ، وأشارت إلى تاريخها أوائل سورة الروم ، فيا لها من إشارة ، ويا لها من حضارة ، ومن سكنى مباركة ومن عمارة ، وعسى أن تبقى للدين عزة ومنارة
كتبه : محمد إسماعيل العسخلي
Artinya :
Disini Indonesia
Disini Indonesia, tempat dimana Syaikhona Kholil mentarbiyah, Kiai Hasyim membangkitkan, Kiai Maimun ber-tafsir, Habib Abdullah b. Abdulqadir Balfaqih ber-hadits, Kiai Ihsan berkarya, Syaikh Nawawi yang ber-syarah, Syekh Mahfudz Termas yang ber-hasyiah, Syekh Yasin Al-Fadani yang memberi sanad, Sayyid Salim b. Jindan mengoleksi, Sayyid Utsman Betawi berfatwa, Habib As-Seggaf berdendang, Kiai Ali Mansur merangkai Sholawat Badar, Mbah Fadlol ber-musamarah sembari bersejarah, Syekh Masdhuqi mentahqiq masalah ilmiyah, Kiai Ahmad Dahlan merintis, Habib Salim dan Habib Hafidz berketurunan, Habib Mundzir ber-bisyarah, Al-Banjari meramaikan, Syekh Sambas dan Kiai Mas Ndresmo ber-mursyid, Syekh Yusuf Makasar ber-sufi, dalam naungan bayang-bayang wali sembilan yang tercerahkan, bersama para imam pendakwah di setiap generasi.
Bahkan disinilah, Indonesia, tempat dimana Sidogiri mewisuda, Kediri mengevaluasi, Langitan menjunjung, Darat menerbitkan, Lasem menandai, Kudus mensucikan, Palembang memproduksi, Palu menancapkan, Aceh membuat ketangkasan, dan Madura menyebar.
Inilah Indonesia yang buminya derma untuk yang mengemis dan yang terhalang, yang sejarahnya tersirat dalam awal Surat Rum. Indahnya isyaratnya itu, eloknya peradabannya, alangkah berkah persinggahan dan pesanggrahannya, semoga abadi tetap jaya menjadi menara untuk agama.
Dari tulisan singkat ini, tersirat ratusan nama, ribuan sejarah dan bahkan jutaan potongan momen yang telah menjadi masalalu bangsa kita Indonesia. Itulah sebenarnya yang mendewasakan bangsa kita, karena tanpa hal-hal tersebut, bangsa kita tak lebih dari raga tanpa ruh. Sejarah inilah makna sejati dari “hayat yang dikandung badan”. Kita dan generasi penerus kita harus besar dengan menggenggam itu dalam dekapan dada.
Keterangan:
“Syaikhona Kholil mentarbiyah”
Beliau dikenal sebagai seorang alim, wali, nahwiyy, faqih, musnid, muhaddis, serta seorang penulis dalam berbagai disiplin ilmu. Namun, kata “tarbiyah” dipilih di sini sebagai perwakilan karena beliau dikenal dan diingat oleh masyarakat bukan hanya melalui kealiman atau kewaliannya saja—yang mana banyak ulama lain juga memiliki keutamaan serupa—melainkan melalui metode tarbiyah yang beliau terapkan dalam mendidik murid-muridnya. Metode ini terbukti berhasil mencetak generasi yang unggul dan gemilang.
“Kiai Hasyim membangkitkan”
Kata “membangkitkan” di sini mencakup berbagai aspek penting, baik itu seruan revolusi jihad, peningkatan ilmu pengetahuan, maupun pengembangan pendidikan. Namun, yang paling utama adalah bahwa di tangan beliau terjadi kebangkitan ulama yang kemudian terwujud dalam pendirian Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini, yang didirikan oleh Kiai Hasyim, telah memainkan peran besar dan terus eksis hingga sekarang, memberikan kontribusi yang tidak dapat dipungkiri terhadap kebaikan dan kemajuan bangsa.
“Kiai Maimoen ber-tafsir”
Meskipun Kiai Maimoen adalah seorang ulama multidimensional yang menguasai berbagai bidang seperti politik, kenegaraan, tarekat, tafsir, ushul, fiqh, dan bahkan sejarah—kata “ber-tafsir” dipilih untuk menggambarkan sosok beliau. Keberagaman keahliannya mencerminkan fungsi Alquran yang menjelaskan segala aspek kehidupan. Tafsir yang beliau sampaikan tidak hanya diterima dan dihargai oleh kalangan cendekiawan serta menjadi referensi bagi para pelajar, tetapi juga dapat dipahami oleh kalangan awam. Hal ini menunjukkan kedalaman ilmu beliau yang mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Terlebih, beliau pantas bila disebut sebagai simbol persatuan, sebagaimana Alquran.
“Habib Abdullah b. Abdulqadir Bilfaqih ber-hadits”
Habib Abdullah bin Abdulqadir Bilfaqih merupakan putra dari pendiri Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyah Malang. Baik beliau maupun ayahnya, keduanya dikenal luas sebagai pakar dalam ilmu hadits. Habib Abdullah mendapat gelar Al-Hafidz karena kekuatan hafalannya yang sangat besar dalam hadits, baik dari segi matan maupun sanad perawinya. Gelar ini mencerminkan kedalaman dan keluasan ilmu hadits yang dimilikinya.
Selain keahliannya dalam ilmu hadits, Habib Abdullah juga dikenal sebagai tokoh yang menunjukkan cinta mendalam terhadap tanah air. Hal ini tercermin dalam ungkapan beliau yang masyhur, “Jadilah muslim yang pancasilais, dan jadilah pancasilais yang muslim,” yang sering beliau sampaikan dalam berbagai kesempatan. Beliau juga pernah menulis sebuah artikel yang dimuat dalam surat kabar berjudul “Mengapa umat Islam menerima Pancasila,” yang menunjukkan komitmen beliau terhadap harmoni antara Islam dan Pancasila.
Meskipun beliau tidak meninggalkan karya tulis dalam bidang hadits, keahlian dan otoritas beliau dalam ilmu hadits dapat dengan mudah diakui melalui rekaman-rekaman kajian beliau. Habib Abdullah lebih memilih untuk menyalurkan ilmunya melalui pengajaran langsung kepada murid-muridnya, yang kemudian menjadi penerus tradisi keilmuan hadits. Oleh karena itu, karya terbesar beliau dalam ilmu hadits terwujud dalam sosok murid-muridnya yang melanjutkan warisan keilmuan tersebut.
“Kiai Ihsan berkarya”
Kiai Ihsan Jampes adalah seorang ulama besar (allamah) yang merupakan hasil didikan murni dari lingkungan lokal, namun keilmuan beliau serasa internasional. Hal ini terbukti dari karya beliau yang tersebar masif. Di antara karya-karya beliau, yang paling menonjol adalah syarah monumental atas kitab Minhajul Abidin karya Imam Al-Ghazali, yakni Sirajult Thalibin.
Membaca syarah tersebut, akan mudah terlihat betapa luas dan mendalamnya literasi yang dimiliki oleh Kiai Ihsan, terutama mengingat bahwa pada masa itu tidak banyak kitab yang sudah tercetak. Tidak jarang, sumber-sumber yang dinukil dalam karya beliau masih berupa manuskrip, yang menunjukkan ketekunan dan kedalaman penguasaan beliau terhadap berbagai disiplin ilmu, disamping waktu penulisannya yang terbilang sebentar.
“Syekh Nawawi ber-syarah”
Kebanggaan Nusantara, kegagahan milik Jawa, yang mengharumkan nama Banten dan seluruh Jawa Barat, gelaran Sayyidu Ulama’il Hijaz yang selalu disematkan dengan penuh hormat di balik nama besar beliau. Tentang beliau, rasanya kaidah al-ma’ruf la yu’arraf sangatlah tepat—yang sudah dikenal tidak perlu lagi diperkenalkan. Dengan berbagai syarah yang beliau tulis pada puluhan kitab, beliau telah memudahkan para pelajar dalam belajar dan para pengajar dalam mengajar. Selain itu, kepiawaian beliau dalam memberikan syarah atau penjelasan terhadap kitab suci Alquran tidak dapat dipungkiri, dan telah menjadi rujukan penting dalam studi keislaman, yaitu Marah Labid fi Tafsir Ma’ani Alquran al-Majid.
“Syekh Mahfudz Termas ber-hasyiyah”
Syekh Mahfudz at-Tarmasi, seorang ulama besar asal Termas, Pacitan, Jawa Timur, Indonesia, telah meninggalkan warisan intelektual yang tak ternilai dalam dunia fiqh dengan karya beliau yang terkenal, Hasyiyah At-Tarmasi. Karya ini merupakan sebuah khazanah emas dalam literatur fiqh Syafi’iyah, yang mengumpulkan penjelasan-penjelasan fiqh dengan sangat detail, lugas, luas, dan mempesona.
Hasyiyah At-Tarmasi tidak hanya memaparkan pandangan-pandangan fiqh secara mendalam, tetapi juga memperlihatkan keluasan ilmu dan kecermatan metodologi yang dimiliki oleh Syekh Mahfudz. Karya ini menjadi salah satu rujukan utama bagi para ulama dan pelajar dalam mazhab Syafi’i di seluruh dunia. Melalui Hasyiyah-nya, Syekh Mahfudz memberikan kontribusi yang signifikan dalam memperkaya pemahaman fiqh dan menjadi bukti keunggulan tradisi intelektual pesantren Indonesia di panggung global.
Keberhasilan Syekh Mahfudz dalam menyusun Hasyiyah ini menunjukkan kedalaman pemahaman beliau terhadap teks-teks klasik dan kemampuan beliau dalam menyaring, menguraikan, serta menyimpulkan berbagai pandangan ulama terdahulu, Dengan demikian, Hasyiyah At-Tarmasi bukan hanya sekadar buku, tetapi sebuah warisan ilmiah yang terus menjadi sumber acuan dalam kajian fiqh hingga saat ini. Disamping sanad keluarga beliau yang bersambung pada satu-satunya pensyarah kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Ghazali. Beliau, dari ayah beliau, Kiai Abdullah, dari ayah beliau, Kiai Abdul Mannan, dari Sayyid Murtadlo az-Zabidi.
“Syekh Yasin al-Fadani memberi sanad”
Gelar al-Musnid sudah cukup untuk menunjukkan keilmuan yang mendalam dan luas dalam tradisi Islam, tetapi Syekh Yasin bin Isa al-Fadani tidak hanya berhenti di sana. Beliau dikenal dengan gelar Musnidud Dunia, sebuah pengakuan atas kedudukan istimewanya dalam dunia keilmuan Islam, terutama dalam bidang sanad dan periwayatan hadits.
Syekh Yasin al-Fadani, yang berasal dari Padang, Sumatera Barat, adalah sosok yang telah menjadi jembatan penting bagi ketersambungan generasi umat Islam di seluruh dunia dengan warisan keilmuan klasik karya para ulama salaf. Melalui beliau, sanad-sanad keilmuan yang terhubung dengan para ulama terdahulu dapat terus terjaga dan diwariskan dengan otentik kepada generasi berikutnya.
Keberadaan beliau sebagai Musnidud Dunia tidak hanya memperkuat kredibilitas keilmuan Islam dari perspektif sanad, tetapi juga mempertegas posisi Indonesia, khususnya Sumatera Barat, sebagai salah satu kota asal sosok intelektual Islam yang diakui secara global. Melalui Syekh Yasin, sanad-sanad yang beliau miliki—baik dalam hadits, fiqh, tasawuf, maupun ilmu-ilmu lainnya—telah mengalir ke berbagai penjuru dunia, menghubungkan ulama-ulama kontemporer dengan tradisi keilmuan yang panjang dan mendalam.
Warisan keilmuan beliau tidak hanya tercermin dalam riwayat-riwayat hadits yang beliau sampaikan, tetapi juga dalam peran beliau sebagai penghubung yang mengokohkan jaringan sanad di antara para ulama dari berbagai belahan dunia. Hal ini menjadikan Syekh Yasin al-Fadani sebagai figur sentral dalam pelestarian dan penyebaran ilmu agama Islam, memastikan bahwa setiap generasi umat tetap terhubung dengan sumber-sumber asli yang otentik.
“Habib Salim b. Jindan mengoleksi”
Kebanggaan Al-Fakhriyah, Habib Salim bin Jindan dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki dedikasi luar biasa dalam mengoleksi berbagai tsabat atau daftar sanad dan ijazah penting. Koleksi tsabat ini tidak hanya mencerminkan kecintaannya terhadap ilmu, tetapi juga menjadi salah satu pintu utama yang membuka kembali berbagai literatur Islam klasik yang pada masa itu banyak yang sulit diakses.
Sebagai seorang alim dengan wawasan yang luas, Habib Salim bin Jindan memainkan peran krusial dalam menjaga dan menyebarkan warisan intelektual Islam. Melalui upayanya yang gigih dalam mengumpulkan tsabat, beliau berhasil mendokumentasikan dan melestarikan hubungan keilmuan yang menjadi fondasi dari berbagai disiplin ilmu agama. Koleksi ini memungkinkan generasi ulama berikutnya untuk terhubung kembali dengan mata rantai sanad yang sahih dan terpercaya, serta mengakses karya-karya ulama terdahulu dengan lebih mudah.
Kontribusi Habib Salim bin Jindan dalam bidang ini tidak hanya terbatas pada pengumpulan tsabat, tetapi juga pada bagaimana koleksi-koleksi tersebut berperan penting dalam memperkaya khazanah literatur Islam. Melalui usaha beliau, banyak literatur yang sebelumnya tersembunyi atau hilang dari perhatian, dapat ditemukan kembali dan dihidupkan dalam kajian-kajian kontemporer.
Oleh karena itu, Habib Salim bin Jindan tidak hanya dikenang sebagai seorang kolektor tsabat, tetapi juga sebagai sosok yang berjasa besar dalam menjaga kesinambungan dan integritas tradisi keilmuan Islam di masa modern, sehingga pantas bila beliau disebut dengan gelar “Bapak Nahdlatut Turats”
Oleh: Muhammad Ismail Ascholy