Hukum Hormat Kepada Bendera Merah Putih

oleh -320 views

Ketika berbicara bendera dalam kajian Islam, maka yang terlintas di benak kita adalah kisah Rasulullah SAW dan para sahabatnya dulu ketika hendak melakukan perang, dalam kitab Fathu al-Bari Syarah Hadis Buhori malah ada bab khusus yang menjelaskan tentang bendera, disitu dijelaskan bahwa bendera merupakan salah satu tanda posisi pemimpin pasukan perang.

(قَوْلُهُ بَابُ مَا قِيلَ فِي لِوَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
اللِّوَاءُ بِكَسْرِ اللَّامِ وَالْمَدِّ هِيَ الرَّايَةُ وَيُسَمَّى أَيْضًا الْعَلَمُ وَكَانَ الْأَصْلُ أَنْ يُمْسِكَهَا رَئِيسُ الْجَيْشِ ثُمَّ صَارَتْ تُحْمَلُ عَلَى رَأْسِهِ

Artinya: Liwa‘ (bendera) dengan dibaca kasroh lamnya dan dibaca panjang adalah bendera yang juga disebut sebagai “alam” (panji). Pada awalnya, bendera ini dipegang oleh pemimpin tentara, namun kemudian bendera ini dibawa di atas kepala pemimpin.

Hampir disetiap peperangan melawan orang-orang kafir, Rasulullah SAW menyertakan bendera di dalamnya. Sebagaimana kelanjutan redaksi kitab diatas ;

وكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَغَازِيهِ يَدْفَعُ إِلَى رَأْسِ كُلِّ قَبِيلَةٍ لِوَاءً يُقَاتِلُونَ تَحْتَهُ
[ابن حجر العسقلاني، فتح الباري لابن حجر، ١٢٧/٦]

Artinya : Dan Nabi SAW dalam beberapa peperangannya memberikan liwa‘ (bendera) kepada setiap pemimpin kelompok, yang mana mereka berperang dibawah komando bendera tersebut.

Kemudian kita ulas bagaimana konsekuensi jika seorang muslim hormat pada bendera tersebut. Karena sebagian oknum ada yang mengatakan bahwa hal itu termasuk perbuatan syirik.

Nah dalam hal ini, Syeikh Ahmad bin Idris al-Qorafi dalam kitabnya yang berjudul An’war al-Buruq Fi Anwa’i al-Furuq menggiring kasus tersebut kedalam perbuatan bid’ah, beliau mentamsilkan beberapa contoh perbuatan-perbuatan Bid’ah yang sunnah, diantaranya adalah sholat tarawih berjamaah yang dilakukan di masa Sayyidina Umar, kemudian setelah itu beliau menyebut beberapa contoh lagi diantaranya adalah menghormati atau mendirikan gambar para pemimpin atau tokoh.

وَقَدْ جَرَى عَلَى مَا عَمِلَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ – مِنْ صَلَاةِ التَّرَاوِيحِ بِإِمَامٍ وَاحِدٍ فِي الْمَسْجِدِ عَمَلُ الْأَعْصَارِ إلَى عَصْرِنَا فِي جَمِيعِ الْأَمْصَارِ مَا عَدَا مَكَّةَ وَالْمَدِينَةَ – إلى أن قال- قَالَ الْأَصْلُ: وَكَإِقَامَةِ صُورِ الْأَئِمَّةِ وَالْقُضَاةِ وَوُلَاةِ الْأُمُورِ عَلَى خِلَافِ مَا كَانَ عَلَيْهِ أَمْرُ الصَّحَابَةِ بِسَبَبِ أَنَّ الْمَصَالِحَ وَالْمَقَاصِدَ الشَّرْعِيَّةَ لَا تَحْصُلُ إلَّا بِعَظَمَةِ الْوُلَاةِ فِي نُفُوسِ النَّاسِ وَكَانَ النَّاسُ فِي زَمَنِ الصَّحَابَةِ مُعْظَمُ تَعْظِيمِهِمْ إنَّمَا هُوَ بِالدِّينِ وَسَابِقِ الْهِجْرَةِ ثُمَّ اخْتَلَّ النِّظَامُ وَذَهَبَ ذَلِكَ الْقَرْنُ وَحَدَثَ قَرْنٌ آخَرُ لَا يُعَظِّمُونَ إلَّا بِالصُّوَرِ فَتَعَيَّنَ تَفْخِيمُ الصُّوَرِ حَتَّى تَحْصُلَ الْمَصَالِحُ،
[القرافي ,الفروق للقرافي = أنوار البروق في أنواء الفروق ,4/218]

Artinya : Dan yang telah diamalkan (diajarkan) oleh Sayyidina Umar R.A tentang shalat tarawih dengan satu imam di masjid telah menjadi amalan yang berlangsung sepanjang zaman hingga zaman kita ini di seluruh negeri, kecuali di Mekah dan Madinah. -Sampai perkataan- Mushonnif mengatakan, Asal (pokok) seperti penetapan gambar-gambar para imam, hakim, dan para penguasa yang bertentangan dengan keadaan para sahabat, sebab, maslahat dan tujuan-tujuan syar’i tidak akan tercapai kecuali dengan keagungan para penguasa di hadapan orang-orang. Pada zaman sahabat, kebanyakan pengagungan mereka itu adalah karena agama dan keutamaan hijrah. Kemudian, sistem itu rusak dan generasi tersebut pun berlalu, serta muncul generasi lain yang tidak menghormati kecuali melalui gambar-gambar, sehingga harus diadakan pengagungan terhadap gambar-gambar tersebut agar maslahat tercapai.

 وَلِذَلِكَ لَمَّا قَدِمَ الشَّامَ وَوَجَدَ مُعَاوِيَةُ قَدْ اتَّخَذَ الْحُجَّابَ وَأَرْخَى الْحِجَابَ وَاِتَّخَذَ الْمَرَاكِبَ النَّفِيسَةَ وَالثِّيَابَ الْهَائِلَةَ الْعَلِيَّةَ، وَسَلَكَ مَا يَسْلُكُهُ الْمُلُوكُ فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: إنَّا بِأَرْضٍ نَحْنُ فِيهَا مُحْتَاجُونَ لِهَذَا فَقَالَ لَهُ لَا آمُرُك، وَلَا أَنْهَاك وَمَعْنَاهُ أَنْتَ أَعْلَمُ بِحَالِك هَلْ أَنْتَ مُحْتَاجٌ إلَى هَذَا فَيَكُونُ حَسَنًا أَوْ غَيْرَ مُحْتَاجٍ إلَيْهِ فَدَلَّ ذَلِكَ مِنْ عُمَرَ وَغَيْرِهِ عَلَى أَنَّ أَحْوَالَ الْأَئِمَّةِ وَوُلَاةِ الْأُمُورِ تَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَعْصَارِ وَالْأَمْصَارِ وَالْقُرُونِ وَالْأَحْوَالِ؛ فَلِذَلِكَ يَحْتَاجُونَ إلَى تَجْدِيدِ زَخَارِفَ وَسِيَاسَاتٍ لَمْ تَكُنْ قَدِيمًا، وَرُبَّمَا وَجَبَتْ فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ

Artinya : Oleh karena itu, ketika Sayidina Umar sampai di Syam dan menemukan Mu’awiyah telah mengangkat para penjaga, menurunkan tirai, menggunakan kendaraan mewah, dan pakaian yang indah, serta mengikuti jalan yang ditempuh oleh para raja, Sayyidina Umar pun menanyakannya. Mu’awiyah menjawab, “Kami berada di tempat yang membuat kami memerlukan hal-hal ini.” Sayyidina Umar berkata kepadanya, “Aku tidak memerintahmu dan tidak pula melarangmu.” yang artinya adalah kamu lebih tahu kondisi dirimu, apakah kamu memerlukan hal ini sehingga akan menjadi baik atau tidak memerlukannya. Ini menunjukkan bahwa menurut Sayyidina Umar dan selainnya bahwa keadaan para imam dan penguasa berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman, tempat, generasi, dan keadaan.

Dari pemaparan Imam al-Qarafi di atas cukup jelas jika di korelasikan dengan kultur, budaya dan tradisi di Indonesia sekarang, karena hormat pada bendera merupakan sarana positif untuk membangkitkan kesadaran rakyat dalam bernegara dan menjaga konsep Bhinneka Tunggal Ika serta mengingatkan kepada karunia Allah SWT yang berupa kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan.

Kemudian dalam buku Muqorror as-Syura Min Ulama’i Jombang yang diulas dalam situsweb NU.Online menyebutkan bahwa alasan mendasar diperbolehkannya hormat pada bendera karena disamakan dengan diperbolehkannya mencium peti (tabut) yang diletakkan di atas maqam para wali untuk diambil barokahnya. Pernyataan tersebut bertendensi pada kitab Hasyiah al-Bajuri karya Syeikh Ibrahim al-Bajuri, berikut ulasannya :

ويكره تقبيل القبر واستلامه، ومثله التابوت الذي يجعل فوقه، وكذلك تقبيل الأعتاب عند الدخول لزيارة الأولياء إلا إن قصد به التبرك بهم فلا يكره

Artinya : Dimakruhkan mencium kuburan dan mengusapnya, serta mencium tabut yang diletakkan di atasnya, dan juga mencium ambang pintu saat masuk untuk mengunjungi para wali, kecuali jika tujuannya adalah untuk mendapatkan berkah, maka hal itu tidak makhruh.

Dan ketika ditelusuri lebih luas, rupanya juga pernah dibahas oleh Syeikh Abdul Hamid as-Syarwani dalam kitab Hasyiah as-Syarwani ala Tuhfah al-Muhtaj. Beliau ini juga pernah menjadi murid Syeikh Ibrahim al-Bajuri, sehingga redaksi yang beliau sampaikan hampir persis dengan redaksi yang ditulis oleh gurunya di atas. Adapun redaksinya berikut;

قَوْلُهُ وَتَقْبِيلُهُ) أَيْ تَقْبِيلُ الْقَبْرِ وَاسْتِلَامُهُ وَتَقْبِيلُ الْأَعْتَابِ عِنْدَ الدُّخُولِ لِزِيَارَةِ الْأَوْلِيَاءِ نِهَايَةٌ وَمُغْنِي (قَوْلُهُ بِدْعَةٌ إلَخْ) نَعَمْ إنْ قَصَدَ بِتَقْبِيلِ أَضْرِحَتِهِمْ التَّبَرُّكَ لَمْ يُكْرَهْ كَمَا أَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ – رَحِمَهُ اللَّهُ
[ابن حجر الهيتمي، تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي، ١٧٥/٣]

Jadi, hormat pada bendera merah putih sebagaimana dilakukan oleh warga Indonesia boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan jika untuk mengenang jasa perjuangan para pahlawan serta dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan. Allhua’lam.

Author : Fakhrullah

banner 700x350

No More Posts Available.

No more pages to load.