Tiap orang tua pasti ingin melihat anak-anaknya hidup bahagia dalam berumah tangga namun kadang demi menuruti keinginannya, orang tua memaksa anaknya agar menikah dengan calon pasangan hidup yang menjadi pilihannya. Padahal seorang anak juga memiliki hak sendiri untuk memilih pasangan hidupnya dan memiliki dunia sendiri yang tidak sama dengan orang tua. Akibatnya pasca pernikahan, hidup rumah tangga yang dijalani si anak kurang harmonis dan bahagia bahkan hingga berujung perceraian.
Lalu bolehkan seorang anak menolak perjodohan yang dilakukan orang tua dan apakah tidak dianggap anak durhaka jika tidak mau menuruti keinginan orang tua? Mengingat seorang anak harus patuh kepada perintah orang tua selagi perintah itu tidak mengandung kemaksiatan.
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka simak penjelasan para ulama berikut:
قال الشيخ تقي الدين رحمه الله إنه ليس لأحد الأبوين أن يلزم الولد بنكاح من لا يريد، وأنه إذا امتنع لا يكون عاقاً، وإذا لم يكن لأحد أن يلزمه بأكل ما ينفر منه مع قدرته على أكل ما تشتهيه نفسه كان النكاح كذلك وأولى، فإن أكل المكروه مرارة ساعة وعشرة المكروه من الزوجين على طول تؤذي صاحبه ولا يمكنه فراقه انتهى كلامه
“Syaikh Taqiyuddin ra berkata: “Bagi kedua orang tua tidaklah boleh memaksa anaknya agar menikah dengan seorang yang tidak diinginkan dan tidaklah dianggap durhaka, jika seorang anak menolaknya. (logikanya), jika orang tua tidak boleh memaksa anaknya agar memakan makanan tertentu disertai seorang anak bisa memakan makanan yang dinginkan. Maka dalam mencari pasangan hidup tentu lebih tidak diperbolehkan (memaksa) karena pahitnya memakan makanan yang tidak disukai anak hanya sesaat sedangkan pahitnya berumah tangga dengan orang yang tidak disukai lebih lama penderitaannya dan tidak bisa dihilangkan.
Abuya as-Sayyid Muhammad Alawiy bin Abbas al-Malikiy al-Makkiy al-Hasaniy menambahkan dalam kitabnya Adabu al-Islam fi Nidzami al-Usratu menambahkan:
وليكن معلوماً ؛ أنه لا يَجُوزُ إكراه البالغة على النكاح : بكراً كانت أو ثيباً، وكم للإكراه من بلايا، ونكبات وعواقب وخيمة، إنَّ الإسلام يَأْبَاهُ كُلَّ الإباء
“Dan hendaklah diketahui, bahwa tidak boleh memaksa wanita yang sudah baligh untuk menikah, baik yang masih gadis maupun yang sudah janda. Betapa banyak pemaksaan hanya menimbulkan petaka, bencana, rintangan dan keburukan. Sungguh Islam menolaknya dengan benar-benar menolak.” (Sayyid Muhammad, Adabul Islam fi Nizhamil Usrah, [Makah al-Mukarramah: 1423], halaman 66).
Fashilatu ad-Duktur Ali Juma’ah dalam kitabnya al-Bayan li Yusghalu al-Adzhan mengatakan:
ساوى الإسلام بين الرجل والمرأة في حق اختيار كل منهما للآخر، ولم يجعل للوالدين سلطة الإجبار عليهما؛ فدور الوالدين في تزويج أولادهما يتمثل في النصح والتوجيه والإرشاد، ولكن ليس لهما أن يجبرا أولادهما – ذكورا أو إناثًا – على زواج لا يرضونه، بل الاختيار الأخير في هذا للأبناء
فالزواج يعتبر من خصوصيات المرء، وإن إجبار أحد الوالدين ابنته على الزواج بمن لا تريد محرم شرعًا؛ لأنه ظلم وتعد على حقوق الآخرين، فللمرأة في الإسلام حريتها الكاملة في قبول أو رد من يأتي لخطبتها، ولا حق لأبيها أو وليها أن يجبرها على من لا تريد؛ لأن الحياة الزوجية لا يمكن أن تقوم على القسر والإكراه، وهذا يتناقض مع ما جعله الله بين الزوجين من مودة ورحمة
Islam menyamaratakan antara laki-laki dan perempuan menentukan hak pilih keduanya pada yang lain dan tidak memberikan kuasa pemaksaan bagi kedua orang tua atas keduanya (laki-laki dan perempuan). Oleh karenanya, hak orang tua dalam menikahkan anaknya sebatas memberi nasihat, mengarahkan, dan menunjukkan, dan tidak boleh baginya untuk memaksa anaknya—laki-laki maupun perempuan—menikah dengan orang tertentu yang tidak disukai bahkan bagi anak diberi kebebasan untuk memilih pasangannya.
Pernikahan tergolong kebebasan pribadi dan pemaksaan orang tua terhadap putrinya agar menikah dengan orang yang tidak disukai merupakan sesuatu yang diharamkan secara syara’ karena hal itu sebuah kedzaliman dan melewati batas hak-hak orang lain. Dalam Islam perempuan diberi kebebasan yang penuh dalam menerima dan menolak pinangan (laki-laki) yang datang dan tidak hak bagi orang tua atau walinya untuk memaksanya agar menikah dengan orang yang tidak disukai karena hidup rumah tangga tidak mungkin bisa dijalani dengan dasar keterpaksaan. Hal ini bertentangan dengan tujuan pernikahan yang dicanangkan Allah ﷻ berupa mawaddah wa rahmah (kasih dan sayang)”.
Menurut Syaikh Ali Juma’ah, ketetapan ini berdasarkan nash-nash syara’ di antaranya:
لا تُنْكَح الأيم حتى تُسْتَأمر ، ولا تنكح البكر حتى تستأذن . قالوا : يا رسول الله وكيف إذنها ؟ قال : أن تسكت. رواه أحمد، والبخاري ومسلم
Artinya: “Wanita yang sendirian tidak boleh dinikahi sampai diajak bermusyawarah, dan wanita perawan tidak boleh dinikahi sampai dimintai idzin. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana persetujuannya ?. Beliau menjawab: “kalau ia diam”. (HR. ahmad, Bukhori dan Muslim).
Dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata:
أن جَاريةً بِكْراً أتَتِ النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت «أنَّ أباها زَوَّجَها وهي كارهة، فَخَيَّرَهَا النبي صلى الله عليه وسلم ». رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه
Artinya: “Bahwa seorang gadis datang menemui Nabi ﷺ lalu bercerita bahwa ayahnya telah menikahkannya dalam keadaan dipaksa, maka Nabi ﷺ memberinya hak memilih.” (HR. Ahmad, Abu Daun dan Ibnu Majah). Waallahu A’lamu
Penulis: Abdul Adzim
Publisher: Fakhrul
Referensi:
✍️ Syaikh Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Muflih al-Muqaddas al-Hanbaliy| Adabu asy-Syar’iyah wa al-Manahi al-Mar’iyah| Daru al-Kutub al-Ilmiyah, juz 1, halaman 334.
✍️ Fadhilatu ad-Duktur Ali Juma’ah| kitabnya al-Bayan li Yusghalu al-Adzhan| Daru al-Ma’arif, halaman 68-69.
✍️ Abuya as-Sayyid Muhammad Alawiy bin Abbas al-Malikiy al-Makkiy al-Hasaniy| Adabu al-Islam fi Nidzami al-Usratu| Tanpa percetakan, halaman 66.