Diantara kewajiban merawat jenazah orang Islam selain mengkafani, menyolati dan menguburkan adalah memandikannya. Paling sedikit memandikannya dengan cara meratakan air pada sekujur badan jenazah sebanyak satu kali. Adapun tata cara memandikan jenazah secara lengkapnya bisa dilihat kitab-kitab fikih.
Namun kadang setelah dimandikan, jenazah masih mengeluarkan najis semisal kotoran, darah dan lain sebagainya. Ada pula yang mengeluarkan najis setelah jenazah dikafani hingga mengotori kafan yang membungkusnya.
Dari permasalahan di atas ada sebagian kawan yang bertanya, bagaimanakah pendapat ulama menanggapai permasalahan di atas? Karena tidak jarang kami di masyarakat menemukan kejadian yang sama.
Maka, untuk lebih jelasnya simak penuturan ulama dalam menjawab permasalah di atas sebagai berikut:
Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba’athiyah ad-Du’aniy dalam kitabany Ghatu al-Muna Syarah Safina an-Najah mengatakan:
وإذا خرج بعد الغسل وقبل الإدراج في الكفن منه نجس، ولو من القبل أو الدبر، أو وقع عليه نجس في آخر غسله أو بعده، وجب إزالته فقط من غير إعادة غسل أو غيره لسقوط الفرض بما جرى وحصول النظافة بإزالة الخارج، ولو لم يمكن قطع الدم الخارج من الميت بغسله صح – كما قاله ابن قاسم غسله وصحت الصلاة عليه؛ لأن غايته أنه كالحي السلس وهو تصح صلاته فكذا الصلاة عليه
قال الشيخ علي الشبراملسي وقضية التشبيه بالسلس وجوب حشو محل الدم بنحو قطنة وعصبه عقب الغسل، والمبادرة بالصلاة عليه بعده، حتى لو أخرت لا لمصلحة الصلاة، وجب إعادة ما ذكر – أي : من غسل الدم النازل والحشو والتربيط وينبغي أن من المصلحة كثرة المصلين كما في تأخير السلس لإجابة المؤذن وانتظار الجماعة. اهـ
“Ketika jenazah setelah dimandikan dan sebelum dikafani, jenazah mengeluarkan najis. Baik dari jalan depan atau jalan belakang atau jenazah kejatuhan najis di akhir atau setelah dimandikan, maka kewajibannya hanya menghilangkan najis itu saja tanpa harus mengulangi mandi atau lainnya (semisal wudhu). Alasannya kerena kewajiban memandikan telah gugur dengan apa yang telah berjalan dan membersihkan najis telah terlaksana dengan menghilangkan perkara yang keluar. Dan seandainya tidak mungkin menghentikan darah yang keluar dari mayit dengan memandikan, maka dianggap sah memandikannya serta sah memyolatinya sebagaimana pendapat yang sampaikan Syaikh Ibnu Qasim karena batasan hukumnya hal tersebut seperti orang hidup yang tertimpa penyakit Beser. Sholatnya dihukumi sah (meski saat sholat keluar najis).
Syaikh Ali asy-Syibramulisiy mengatakan: “Kejelasan hukum disamakan dengan orang Beser adalah wajibnya menyumbat tempat keluarnya darah dengan semacam kapas dan membalutnya (dengan pereban) setelah dimandikan serta setelah itu cepat-cepat disholati hingga jika mengakhirkan sholat bukan sebab kemaslahatan sholat, yaitu membasuh darah yang keluar, menyumbat dan membalut dengan pereban. Maka wajib mengulanginya. Dan termasuk kemaslahatan adalah menunggu banyaknya orang yang akan mensholati sebagaimana orang yang Beser mengakhirkan sholatnya karena menjawab adzan dan menunggu datanganya jama’ah sholat.
ولو خرجت نجاسة بعد التكفين فلا تجب إزالتها على ما أفتى به البغوي ونقله ابن حجر في فتح الجواد عنه إلا أنه تبرأ منه بقوله على ما أفتى به البغوي، لكن في «التحفة» جزم بوجوب الإزالة بعد التكفين أيضاً وكذلك الرملي في النهاية» ورد كلام البغوي، وعبارة «النهاية» مع الأصل : [ فلو خرج من الميت بعده – أي: الغسل – نجس ولو من الفرج وقبل التكفين، أو وقع عليه نجس في آخر غسله أو بعده، وجب إزالته فقط من غير إعادة غسل أو غيره؛ لسقوط الفرض بما جرى وحصول النظافة بإزالة الخارج. وقيل : فيما إذا لم يكفن، تجب إزالته مع الغسل إن خرج من الفرج ليختم أمره بالأكمل. وقيل: في الخارج منه تجب إزالته مع الوضوء لا الغسل كما في الحي، أما بعد التكفين فيجزم بغسل النجاسة فقط، و ما في المهمات عن فتاوى البغوي: أنه لا يجب غسلها أيضاً – أي: النجاسة – إذا كان بعد التكفين مردود
Dan jika jenazah mengeluarkan najis setelah dikafani, maka tidak wajib menghilangkannya menurut pendapat yang difatwakan oleh Imam al-Baghawiy. Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathu al-Jawad mengutip apa yang difatwakan Imam al-Baghawiy hanya saja Imam Ibnu Hajar tidak mengikuti pendapat ini dengan bukti penjelasan beliau dalam kitab tersebut: “(pendapat ini) menurut apa yang difatwakan Imam al-Baghawiy. Sementara dalam kitab at-Tuhfah, Imam Ibnu Hajar menegaskan bahwa hukumnya juga wajib menghilang najis yang keluar dari jenazah setelah dikafani dan Imam ar-Ramli dalam kitab an-Nihayah senada dengan pendapat Imam Ibnu Hajar serta menolak pendapat Imam al-Baghawiy. Berikut redaksi asli dalam kitab an-Nihayah: “Jika setelah dimandikan jenazah mengeluarkan najis sekalipun dari jalan depan dan sebelum dikafani, atau kejatuhan najis diakhir atau setelah dimandikan. Maka wajib menghilangkan najisnya saja tanpa harus mengulangi lagi memandikan atau lainnya kerena kewajiban memandikan telah gugur dengan apa yang telah berjalan dan membersihkan najis telah terlaksana dengan menghilangkan perkara yang keluar. Menurut sebagian pendapat, bahwa jika jenazah belum dikafani. Maka wajib menghilangkan najisnya serta kembali dimandikan hal itu jika najis yang keluar berasal dari jalan depan. Tujuannya agar mensucikan jenazah diakhiri dengan suatu yang lebih sempurna. Menurut sebagian pendapat, bahwa wajib menghilangkan najis yang keluar serta kembali mewudhu’i jenazah tanpa harus mengulangi mandi sebagaimana yang dilakukan pada orang yang masih hidup. Adapun jika jenazah telah dikafani, maka dipastikan wajib membasuh najisnya saja. Sedangkan pendapat yang ada dalam kitab al-Muhimmat bersumber dari fatwa Imam al-Baghawiy, bahwa najis yang keluar juga tidak wajib membasuhnya ketika telah dikafani. Pendapat itu ditolak. Waallahu A’lamu.
Penulis : Abdul Adzim
Referensi :
✍️ Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba’athiyah ad-Du’aniy| Ghatu al-Muna Syarah Safina an-Najah| Non percetakan halaman 487-488.