Syaichona.net- Seseorang tidak akan menjadi orang sukses dan mulia dalam hidupnya, jika tidak bisa berbakti dan memuliakan para guru dan kedua orang tuannya. Betapa pun kaya dan hebatnya seseorang itu, jika ia berani durhaka kepada dua sosok tersebut. Pada akhirnya akan hidup miskin dan sengsara bahkan menurut sebagian ulama bisa mengakibatkan Su’ul Khatimah. Na’udzu billahi min dzalik.
Terdapat beberapa kisah yang patut kita teladani dari orang-orang hebat yang senantiasa berbakti kepada kedua orang tuanya. Salah satunya kisah al-Imam Abu Hanifah.
Dalam kitab “Sholahu al-Ummah fi Uluwwi al-Himmah”, Doktor Sayyid bin Husain al-Afaniy mengutip dari kitab Akhlaqu al-Ulama karya Syaikh Muhammad Sulaiman halaman 79 dan Manaqibu al-Imam Abu Hanifah karya al-Imam adz-Dzahabiy halaman 15-16 menuturkan:
Nu’man bin Tsabit atau yang dikenal dengan sebutan Imam Abu Hanifah. Beliau senantiasa berdoa dan memintakan ampunan untuk kedua orang tua beliau, begitu juga untuk Syaikh Hammad guru beliau bahkan setiap bulan beliau bersedekah uang 20 Dinar untuk kedua orang tua beliau.
Syaikh Abu Yusuf murid beliau mengisahkan: “Pernah pada suatu hari Imam Abu Hanifah membawa Ibu beliau menunggangi Keledai milik beliau menuju pengajian Umar bin Dzar hanya lantaran tidak ingin menentang ucapan Sang Ibu.”
Imam Abu Hanifah pernah bercerita: “Kadang aku pergi membawa Ibuku menuju pengajian Umar bin Dzar. Kadang Ibuku memerintahkan aku pergi ke pengajian Umar bin Dzar untuk menanyakan sebuah permasalahan. Aku pun pergi mendatangi Umar bin Dzar dan aku sampaikan kepadanya:
“Wahai Umar! Aku diperintahkan Ibuku bertanya sebuah permasalahan kepadamu.”
“Anda bertanya kepadaku tentang permasalahan ini wahai Imam Abu Hanifah? Umar bin Dzar balik bertanya.
Abu Hanifah berkata: “Itu perintah Ibuku”.
“Kalau menurut Anda, apa jawaban dari permasalahan itu, nanti aku akan sampaikan kepada Anda”. Umar bin Dzar malah bertanya kepada Imam Abu Hanifah.
Aku pun menjawab sendiri pertanyaan Ibuku kemudian Umar bin Dzar menyampaikan jawaban tersebut kepadaku. Setelah itu aku pulang menemui Ibuku dan menyampaikan jawaban yang telah dikatakan Umar bin Dzar.”
Pada lain waktu, nyaris sama dengan kisah di atas. Imam Abu Hanifah, diperintahkan Ibu beliau untuk meminta fatwa suatu permasalahan kepada Zur’ah al-Qadhi seorang Dai. Lantas Imam Abu Hanifah mencoba memberikan fatwa atas permasalahan tersebut kepada Ibu beliau, namun Sang Ibu tidak mau menerimanya dan Sang Ibu berkata:
“Aku tidak minta fatwa kepadamu, aku minta Fatwa kepada Zur’ah al-Qadhi.”
Maka tanpa banyak bicara lagi Imam Abu Hanifah segera berangkat menemui Zur’ah al-Qadhi dan berkata:
“Wahai Zur’ah! Ibuku meminta fatwa kepadamu dari tetang suatu permasalahan.”
“Anda lebih mengetahui dan lebih mengerti ilmu Fikih dari pada aku. Maka fatwakan saja wahai Imam!” Jawab Zur’ah al-Qadhi menolak memberikan fatwa.
Imam Abu Hanifah berkata: “Aku telah memberikan fatwa kepada Ibuku dengan fatwa seperti ini, namun Ibuku menolaknya.”
Kemudian Zur’ah al-Qadhi berkata: “Katakan kepada Ibu Anda, bahwa fatwaku sama seperti fatwa Abu Hanifah.”
Setelah itu Imam Abu Hanifah pulang menemui Sang Ibu dan menyampaikan apa yang telah difatwakan Zur’ah al-Qadhi. Kali ini Sang Ibu seketika menerima lalu pergi meninggalkan Imam Abu Hanifah sendirian.
Hahya bin Abdul Hamid mengkisahkan: “Saat Imam Abu Hanifah dipenjara dan setiap hari beliau harus keluar untuk mendengarkan putusan pengadilan. Imam Abu Hanifah menolaknya yang berakibat kepala beliau dipukuli hingga berdarah dan beliau menangis. Lantas orang yang berada didekat beliau berkata: “Kasihan Imam Abu Hanifah! Betapa sakitnya luka yang beliau rasakan”.
“Andai Ibuku melihatnya, beliau akan menangis sedih dan tidak ada sesuatu yang paling membuat hati bersedih dari pada kesedihan Ibuku.” Jawab Imam Abu Hanifah.
Waallahu A’lamu
Penulis : Abdul Adzim
Publisher : Fakhrul
Referensi:
✍️ Doktor Sayyid bin Husain al-Afaniy| Doktor Sayyid bin Husain al-Afaniy| Ma’siatu ar-Risalah, Jilid 5 halaman 648-649.