Pekan ke lima Lora Ismail al-Ascholy dalam kitabnya Safinah Kalla Saya’lamun fi Tafsiri Syaikhina Maimun menjelaskan ayat berikut :
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ، وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (٤٠) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Artinya : Adapun orang yang takut terhadap maqom tuhannya dan mencegah dirinya dari hawa nafsu maka dia termasuk ahli surga.
Jika melihat makna ayat di atas secara tekstual maka seakan-akan Allah SWT memiliki maqom (tempat), dan hal ini menjadi keisykalan bagi kalangan intelektual, pasalnya Allah SWT tidak bertempat dan tidak berwaktu. Oleh karena itu Ra. Ismail menjawab keisykalan tersebut berdasarkan tafsir dari gurunya yang telah beliau catat dalam kitabnya sebagai berikut ;
قال: ليس لله سبحانه وتعالى مقام و ليس هناك مقام إلا و يكون الله فيه ففي قوله: ﴿وَأَمَّا من خاف مقام ربه فالمعنى: من خاف مقامه عند ربه.
Artinya: Guru kami Syeikh Maimun Zubair berkata bahwa Allah SWT tidak memiliki tempat, dan tidak ada tempat kecuali ada Allah SWT disitu. Maka makna ayat di atas adalah “Orang yang takut terhadap kedudukannya sendiri di sisi Allah SWT.”
“Disini Syaikhina (KH. Maimun Zubair) dan juga beberapa mufassir yang lain seperti Imam Suyuti, Imam Mahalli berpendapat bahwa makna dari man khofa maqoma robbihi bukan seperti itu, tapi maknanya adalah man khofa maqomahhu Inda robbihi, artinya orang tersebut bukan takut terhadap maqomnya Allah, tapi takut terhadap maqomnya sendiri di hadapan Allah SWT, takut terhadap status dirinya yang begitu hina, banyak dosa dan lain lain.” Ungkap Ra. Ismail.
Penjelasan para ulama di atas rupanya bukan semerta-merta mengambil pendapat pribadi, namun dengan bertendensi terhadap salah satu Hadis Nabi yang dijelaskan oleh Ra. Ismail sebagai berikut ;
“Hal itu bukan tanpa dasar, namun berdasarkan Hadis Nabi ketika ditanya oleh Malaikat Jibril perihal Ihsan, lalu Nabi menjawab “Sembahlah Allah seakan-akan kamu melihatnya, jika kamu tidak bisa melihatnya maka sesungguhnya dia melihatmu.” Sehingga ketika dia sholat dia bukan mentang-mentang aku sedang menghadap Allah atau melihat Allah tapi lebih ke menjaga adab-adabnya sendiri, karena takut tidak bisa memenuhi hak-hak Allah SWT.” Jelasnya.
Kemudian beliau mencoba menganalogikan penjelasan beliau tersebut untuk bisa dipahami lebih mudah.
“Seperti misalnya ketika di luar sholat boleh makan minum dan semacamnya, tapi ketika dalam sholat tidak satupun diperbolehkan melakukan hal demikian karena sedang menjaga adab dirinya sendiri, takut terhadap maqomnya (kedudukannya) sendiri dihadapan Allah SWT.” Papar beliau.
Rupanya dalam menafsirkan ayat di atas terjadi perkhilafan antara ulama, diantaranya adalah pendapat yang disampaikan oleh Syeikh Muhammad Tohir Ibnu Asur dari Tunis, beliau termasuk mufassir di era belakangan yang kitabnya menjadi rujukan semua ulama setelah beliau, nama kitab tafsir beliau adalah at-Tahrir wat-Tanwir. Menurut Ra. Ismail, Kalau bukan orang cerdas tidak akan suka membaca kitab tersebut, karena saking sulitnya, setiap lafadz pasti ada pembahasan Balaghoh, Nahwu dan lain-lain.
“Tapi banyak juga ulama yang tetap berpendapat sebagaimana lafadz shorih (jelas) dalam ayat tersebut tanpa merubah maknanya dan lafdznya, seperti yang disampaikan oleh Imam Ibnu Asur bahwa cara memahami ayat ini dengan dibayangkan seandainya Allah SWT punya maqom, seandainya ke maqomnya Allah saja harus takut, apalagi yang menduduki maqom tersebut.” Tutur Ra. Ismail.
Kemudian, beliau memberikan contoh sederhana perihal pendapat Imam Ibnu Asur di atas sebagaimana telah kami catat dengan lengkap sebagai berikut;
“Semisal melihat tempat duduk kiai, maka tidak akan ada yang berani duduk di kursi tersebut, bukan karena takut sama kursinya tapi takut terhadap kiainya, nah sama dengan maqomnya Allah, maqomnya saja ditakuti apalagi Allah nya.” Jelasnya.
Selain itu, beliau kemudian menambahkan satu contoh lagi yang terdapat dalam al-Quran. Simak keterangannya sebagai berikut :
“Semisal juga dengan ayat lain yang berbunyi laisa kamislihi syai’un (ليس كمثله شيئ), ini kalau diterjemah secara urut menjadi “tidak ada yang seperti seperti Allah”. Sedangkan menurut Imam Suyuti, huruf kaf nya hanya tambahan…”
“…Padahal Syaichona Moh Cholil tidak pernah mau kalau di al-Qur’an ada huruf tambahan, karena kalau ada huruf tambahan dalam al-Qur’an berati ada huruf yang tidak ada maknanya, sedangkan al-qur’an tidak boleh kalau tidak ada maknanya, berati salah orang yang mengatakan bahwa di al-Qur’an ada ziyadah (tambahan), sebagaimana salah orang yang mengatakan dalam al-Quran ada kekurangan,” Tutur Ra. Ismail.
“…Kekurangan tidak boleh dan kelebihan juga tidak boleh, karena berati tidak ada fungsi di lafadz-lafadz tersebut dan al-Quran tidak boleh tidak ada fungsinya. Sehingga tidak boleh mengatakan kaf tersebut sebagai zaidah artinya tidak ada satupun yang mirip dengan tiruannya Allah apalagi mirip ke Allah SWT.” Imbuhnya.
Beliau menyampaikan bahwa keterangan tersebut juga selaras dengan dauhnya Syeikh Muhammad bin Ismail Usman Zain Makkah.
“Pendapat seperti ini juga dikutip oleh Syeikh Muhammad bin Ismail as Zain Makkah beliau mengatakan :
…. لو فرض أن هناك الهًا مفروضا
Maksudnya, Kalau dibayangkan ada tuhan kembaran, semua mahluk yang ada tidak akan mirip dengan tuhan kembaran ini, apalagi mirip dengan Allah SWT.” Tutur beliau.
Menurut Ra. Ismail, konteks rasa takut dihadapan Allah SWT ini juga selaras dengan firman Allah SWT yang berbunyi:
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِینَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِیَتۡ عَلَیۡهِمۡ ءَایَـٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِیمَـٰنࣰا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ یَتَوَكَّلُونَ
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
Ra. Ismail menambahkan bahwa ciri-ciri orang mukmin juga sebagai berikut ;
ٱلَّذِینَ یُقِیمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَـٰهُمۡ یُنفِقُونَ، أُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ حَقࣰّاۚ لَّهُمۡ دَرَجَـٰتٌ عِندَ رَبِّهِمۡ وَمَغۡفِرَةࣱ وَرِزۡقࣱ كَرِیمࣱ
Artinya: orang-orang yang melaksanakan salat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat di sisi tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.
“Jadi menyebut nama tuhan (umum) saja dapat membuat orang-orang takut apalagi menyebut nama Allah. (Itulah makna dari ayat paling atas).” Tutur Ra. Ismail.
Ketika menjelaskan lafadz wa naha nafsa anil hawa (ونهى النفس عن الهوى) Beliau menyampaikan bahwa tirakat yang cocok di zaman sekarang ini adalah menahan diri dari hawa nafsu.
“Dauh para ulama dan KH.maimun Zubair tirakat yang harus dilakukan bagi orang-orang yang berada di zaman akhir hanya satu, yaitu yang kuat menahan, menahan dari maksiat menahan dari marah dan lain-lain. Tidak usah melakukan yang Fadhoil, tapi manahan dulu dari maksiat. Makanya ulama mengatakan lebih baik menjauhi perkara makruh daripada melakukan perkara Sunnah.” Ujarnya.
Selanjutnya beliau membaca redaksi kitabnya sebagai berikut ;
قال شيخنا عند قوله تعالى: أَلَمۡ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَاۤءِ مَاۤءࣰ فَأَخۡرَجۡنَا بِهِۦ ثَمَرَ ٰتࣲ مُّخۡتَلِفًا أَلۡوَ ٰنُهَاۚ وَمِنَ ٱلۡجِبَالِ جُدَدُۢ بِیضࣱ وَحُمۡرࣱ مُّخۡتَلِفٌ أَلۡوَ ٰنُهَا وَغَرَابِیبُ سُودࣱ ٢٧ وَمِنَ ٱلنَّاسِ وَٱلدَّوَاۤبِّ وَٱلۡأَنۡعَـٰمِ مُخۡتَلِفٌ أَلۡوَ ٰنُهُۥ كَذَ ٰلِكَۗ إِنَّمَا یَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَـٰۤؤُا۟ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِیزٌ غَفُورٌ، وتلا شيخنا إلى قوله: ٱلَّذِیۤ أَحَلَّنَا دَارَ ٱلۡمُقَامَةِ مِن فَضۡلِهِۦ لَا یَمَسُّنَا فِیهَا نَصَبࣱ وَلَا یَمَسُّنَا فِیهَا لُغُوبࣱ
Artinya : Guru kami Syeikh Maimun Zubair berkata tentang ayat al-Qur’an yang artinya “Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah SWT menurunkan hujan dari langit lalu kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.” Kemudian Syeikh Maimun Zubair membacanya sampai ayat yang artinya, “Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya, didalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu.”
في الثلاثاء خلقت الجبال، وأكثر علماء سارنج توفي في الثلاثاء، قال تعالى: أَلَمْ تَرَ أَنَّ الله أنزل من السماء ماء الآيات فالعلماء كالجبال، فلما توفوا فكأنها نسفت الجبال نسفا وذلك من أشراط الساعة، فكأن الله سبحانه أشار بنسق تلك الآيات على خلاف معناها الحقيقي الثابت لا محالة بأن القرآن نزل منزلة الماء الذي نزل من سماء الجلالة، ومنه يخرج علماؤه المختلفة الأنواع الذين هم أمثال الجبال. فمنهم من شدد ومنهم من يسر.
Artinya : Pada hari Selasa gunung-gunung diciptakan, dan mayoritas ulama-ulama Sarang wafat hari Selasa. Allah SWT berfirman yang artinya “Tidak kah engkau melihat bahwasanya Allah SWT menurunkan hujan dari langit.” Ulama itu seperti gunung, ketika para ulama wafat maka itu seperti gunung yang hancur. Dan itu adalah termasuk tanda-tanda hari kiamat. Seakan-akan Allah SWT berisyaroh dengan menurunkan ayat tersebut tanpa menggunakan makna yang hakiki, dan tentunya air hujan yang turun dari langit itu diumpamakan sebagai al-Qur’annya. Dari al-Qur’an tersebut muncul para ulama yang bermacam-macam seperti gunung-gunung, diantara mereka ada yang keras dan ada yang lemah lembut.
ثم قال بعد أن ذكر الجبال وما تعلق بها مما أخرجه الله من ذلك الماء دلالة على أنها يشار إليها العلماء: إنما يخشى الله من عباده العلماء. فالعلماء المرضية عند الله هم الذين حلت في قلوبهم الخشية. وهم الذين وصفهم ربهم بعد بقوله: إِنَّ ٱلَّذِینَ یَتۡلُونَ كِتَـٰبَ ٱللَّهِ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُوا۟ مِمَّا رَزَقۡنَـٰهُمۡ سِرࣰّا وَعَلَانِیَةࣰ یَرۡجُونَ تِجَـٰرَةࣰ لَّن تَبُورَ ٢٩ ، وقصدهم بذلك : لِيُوَقِيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدُهُم مِّن فَضْلِهِ إنه غفور شكور، واستمر في وصفهم في الدنيا والآخرة إلى آخر آيات (ولا يمسنا فيها لغوب)
Artinya : Kemudian Syeikh Maimun Zubair setelah menyebut gunung-gunung dan sesuatu yang berhubungan dengannya seperti sesuatu yang dikeluarkan oleh Allah SWT sebab air tersebut yang menunjukkan itu adalah ulama, beliau berkata perihal ayat al-Qur’an yang artinya, “Hamba-hamba Allah yang takut padanya hanyalah para ulama.” Ulama yang diridhoi Allah adalah yang memiliki rasa takut di hatinya. Mereka adalah orang-orang yang disifati oleh Allah SWT setelah firman-nya yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” Adapun tujuan para ulama akan hal itu adalah seperti yang diterangkan dalam ayat al-Qur’an yang artinya, “Agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri.” Dan Allah SWT terus menerus mensifati mereka di dunia dan akhirat sampai ayat al-Qur’an yang artinya “Di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu.”
ففي الحقيقة من ازداد خشوعا ازداد تقی و من ازداد تقی ازداد هدی و من ازداد هدى ازداد تقربا إلى الله فهو أعلم العلماء قال تعالى: فإنما يخشى الله من عباده العلماء ، ولكن هناك تغير وتبديل، فإن من ازداد خشوعا ازداد جهلا
Artinya : Pada hakikatnya, orang yang bertambah khusyu’ maka akan bertambah takut, barang siapa yang bertambah takutnya maka akan bertambah petunjuknya dan barangsiapa yang bertambah petunjuknya maka akan bertambah dekatnya pada Allah SWT dan dialah ulama yang paling alim. Allah SWT berfirman “Hamba-hamba Allah SWT yang takut padanya hanyalah para ulama.” Akan tetapi kini ada perubahan dan pergantian, yaitu orang yang tambah khusyu’ malah tambah bodoh.
In kana huna shohihun fahuwa bifadlilllah, wa in kana huna khoto’un fahuwa bidzo’fi fahmil katib al-Faqir Fakhrullah.