Cara Belajarnya Jin Menurut Ra. Ismail

oleh -1,906 views

“Perlunya ngaji menggunakan makna dan menggunakan bahasa Jawa itu kebiasaan ulama yang ada di Indonesia khususnya, dan di luar Indonesia secara umum, cuman bedanya kalau ulama Indonesia menggunakan bahasa lokal, sedangkan diluar Indonesia menggunakan bahasa Arab,” Tutur Ra Ismail dalam pengajian tafsirnya ketika menjelaskan perihal metode dalam belajar.

Menurut beliau, hal itu merupakan salah satu tradisi turun temurun yang dilakukan oleh para ulama di Indonesia untuk mendidik dan mengkader para santri.

“Sehingga orang-orang yang mengkaji kitab Indonesia pasti harus melewati yang namanya memaknai kitab, karena itu peninggalan para sesepuh dan itu yang bisa menghasilkan para ulama tersebut bisa memiliki santri yang menjadi ulama dan orang-orang sholeh. Adapun di luar Pondok Pesantren seperti di luar negeri juga ada pemaknaan cuman menggunakan bahasa arab, nah itu yang dinamakan ta’lik,” Ungkap Ra Ismail.

Ra. Ismail menjelaskan bahwasanya para penuntut ilmu di selain Indonesia juga memiliki dua metode, sebagaimana yang beliau sampaikan sebagai berikut ;

“Jadi, di luar Indonesia setiap mengaji kepada gurunya ada dua model, model pertama guru yang membaca lalu murid mendengarkan sambil menulis keterangan, sedangkan yang kedua murid membaca lalu guru yang mendengarkan sambil membenarkan atau menyalahkan yang dibaca murid,” jelas Ra Ismail.

Dan perlu diketahui bahwasanya proses penulisan kitab hawasyi (pinggiran) merupakan buah daripada metode belajar yang kedua, sebagaimana dijelaskan oleh beliau ;

“Di Indonesia kebanyakan menggunakan metode yang pertama, yaitu guru yang membaca, memaknai dan menjelaskan, sedangkan di luar negeri itu lebih banyak menggunakan metode kedua, jadi murid senior disuruh membaca satu persatu atau ditetapkan pembacanya yang paling alim kemudian setelah dibacakan satu kalimat atau dua kalimat guru langsung menjelaskan keterangan tersebut…”

“….setelah selesai dari pengajian itu, guru atau murid tadi mencatat keterangan-keterangan tersebut dan setelah selesai sampai satu kitab sampai hatam akhirnya menerbitkan buku hasil keterangan tersebut dan dinamai dengan hasyiah makanya ada hasyiah Fathul Qorib, hasyiah Baijuri dan lain-lain. Beda dengan Syarah, kalau Syarah itu murni dikarang oleh musonnif sendirian, sedangkan hasyiah itu dari hasil ngaji.” Urai Ra Ismail.

Dan lora Ismail juga menyampaikan kelebihan dari membaca kitab Hasyiah Baijuri sebagai berikut ;

“Kata para ulama :

من قرأ الحواشي ما حوى شي الا حاشية البيجوري

“Maksudnya, orang yang membaca hasyiah (pinggiran kitab) maka tidak akan mendapatkan apa-apa, karena inti dari hasyiah itu hanya penjelasan yang dijelaskan oleh guru, jadi kalau ikut mengaji maka tidak perlu hasyiah karena sudah faham…”

“…beda halnya dengan hasyiah Baijuri, kalau hasyiah Imam Baijuri meskipun catatan ngaji tapi tetap bermanfaat, buktinya masih dipakai dimana-mana sampai dibuat bathsul masail.” Tutur Ra Ismail.

Dari pemaparan beliau tentang pembagian metode belajar dapat dibuat kesimpulan bahwa dalam mengaji kitab adakalanya santri yang menulis dan adakalanya santri yang tidak menulis.

“Jadi ngaji ada dua, ngaji yang menulis, yaitu adalah ngajinya para ulama, sedangkan ngaji yang hanya mendengarkan juga ada dalilnya yaitu :

قُلۡ أُوحِیَ إِلَیَّ أَنَّهُ ٱسۡتَمَعَ نَفَرࣱ مِّنَ ٱلۡجِنِّ فَقَالُوۤا۟ إِنَّا سَمِعۡنَا قُرۡءَانًا عَجَبࣰا ۝١ یَهۡدِیۤ إِلَى ٱلرُّشۡدِ فَـَٔامَنَّا بِهِۦۖ وَلَن نُّشۡرِكَ بِرَبِّنَاۤ أَحَدࣰا ۝٢

Artinya : Katakanlah (Muhammad), telah diwahyukan kepadaku bahwasanya sekelompok jin telah mendengarkan (bacaan Al Qur’an), mereka berkata: kami telah mendengar al-Qur’an yang menakjubkan yang memberi petunjuk pada jalan yang benar, lalu kami beriman dengannya dan kami tidak mensekutukannya dengan sesuatupun.

“…Jadi, ngaji yang model menulis adalah ngajinya model ulama sedangkan yang hanya mendengarkan adalah model ngajinya jin,” Tutur Ra. Ismail sambil menampakkan wajah guyonnya.

Beliau juga menjelaskan akan kelebihan orang-orang yang menuntut ilmu dengan mencatatnya sebagai berikut ;

“Kalau sudah pegang buku dan bolpen itu berati ngajinya muhaqqiqin, yaitu orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam mencatat ilmu sebab ulama mengatakan ;

قال الشافعي: العلم صيد والكتابة قيده، قيد صيودك بالحبال الواثقة

Imam Asy-Syafi’i berkata: Ilmu adalah hewan buruan, dan menulis itu adalah ikatannya. Ikatlah buruan kamu yakni ilmu, dengan tali yang kuat yakni menuliskannya.”

Menurut Ra. Ismail, menulis keterangan dari guru itu adalah sekedarnya saja, sekiranya materi yang dianggap penting sudah didapatkan dan dipahami.

“Tapi kalau nulis tentang penjelasan guru jangan ditulis semua, karena kalau ditulis semua maka hewan buruannya tercekik, artinya ketika terlalu banyak tidak bisa dibaca dan membuat bosan membaca. Intinya pokok kena (maksudnya), bukan yang terlalu Kokoh sehingga tercekik…”

“…Karena itu yang sesuai dengan perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW ketika beliau mendapat wahyu di awal menjadi Nabi, Allah SWT berkata :

لَا تُحَرِّكۡ بِهِۦ لِسَانَكَ لِتَعۡجَلَ بِهِۦۤ ۝١٦ إِنَّ عَلَیۡنَا جَمۡعَهُۥ وَقُرۡءَانَهُۥ ۝١٧ فَإِذَا قَرَأۡنَـٰهُ فَٱتَّبِعۡ قُرۡءَانَهُۥ

Artinya : Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.

“…Maksudnya mencatat ilmu dari guru bukan saat ngaji tapi setelah ngaji, karena kalau ditulis saat ngaji tidak akan dibuka lagi kitabnya, jadi yang benar saat mengaji hanya nulis makna kemudian setelah selesai menulis ulang dengan bagus dalam satu buku. Nah itu yang digunakan oleh Syaichona Cholil ketika mendidik para murid-muridnya, muridnya di suruh menulis ulang semua kitab yang beliau ajarkan,” Ungkap beliau.

Menurut Ra. Ismail, dari penjelasan ayat al-Qur’an tersebut maka metode pembelajaran menjadi tiga, yang pertama yaitu guru membaca sedangkan murid mendengarkan, yang kedua murid membaca sedangkan guru mendengarkan, dan yang terakhir adalah guru membaca sedangkan murid menghafal bacaan guru.

“Gara-gara itu metode pengajaran ada tiga, ada yang hanya mendengarkan, ada yang hafalan dan ada yang menuliskan, kalau hanya mendengarkan dan menghafalkan berpotensi hilang namun jika ditulis insyaallah akan tetap ada.” Jelas Ra Ismail.

In kana huna shohihun fahuwa bifadlilllah, wa in kana huna khoto’un fahuwa bidzo’fi fahmil katib al-Faqir Fakhrullah

banner 700x350

No More Posts Available.

No more pages to load.