Selasa, 26/12/2023 KH. Abdul Ghofur Maimun diundang untuk mengisi acara Halaqoh Fiqih Peradaban di Pondok Pesantren Syaichona Moh Cholil Bangkalan Bersama KH. Makki Nasir selaku Ketua PCNU Bangkalan serta KH. Kholili Kholil selaku pengurus LBM PBNU dan di moderatori oleh Ust. Zainal Arifin, M.Pd. Sekretaris Umum Pondok Pesantren Syaichona Moh cholil.
KH. Abdul Ghofur Maimun atau yang biasa dipanggil Gus Ghofur menyampaikan banyak hal terkait dengan ijtihad ulama NU dalam bidang politik. Hal Itu karena memang pada halaqoh fiqih peradaban kali ini mengusung tema “Ijtihad Ulama NU Dalam Bidang Sosial Politik”
Dalam hal ini, Gus ghofur menganalisis kejadian-kejadian saat Rasulullah SAW berada di Madinah dengan bertendensi terhadap pendapat para ulama yang menguraikannya. Beliau memaparkan satu persatu alasan timbulnya pemikiran fiqih politik sehingga timbul beberapa ijtihad di dalamnya.
“AL-Imam al-Qorrofi menulis karya namanya Al-ihkam fi tamyizil fatawa Anil ahkam watasorrufil qodi wal imam, ada tasorruf yang murni karena itu fatwa, ada yang tasorruf disifati dengan tasorruf imam, ada tasorruf yang disebut tasorruf qodi.”
Pertama, Beliau menyampaikan bahwa terdapat perbedaan maksud yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dengan meninjau sikap dan posisi Rasulullah SAW, yang mana Rasulullah SAW selain menjadi nabi beliau juga menjadi pemimpin tertinggi khilafah islam.
“Karya ini lahir juga diantaranya karena membedakan kanjeng nabi, nabi itu ketika menyampaikan satu dua hal apakah murni sebagai mufti dan nabi atau sebagai qodhi dan Imam?, Kalau nabi memerintahkan untuk jihad itu apakah nabi murni sebagai nabi atau murni sebagai imam?. kesadaran membedakan tasorruf ini berati punya persepsi bahwa pengalaman yang di Madinah itu adalah pengalaman politik,” Ungkap Gus Ghofur.
Oleh karena itu, menurut beliau umat islam harus berehati-hati dan faham betul terhadap sabda-sabda nabi atau perbuatan-perbuatan nabi Ketika hendak memutuskan suatu hukum. Hal itu beliau mencontohkan tentang narasi wajib jihad bagi umat islam.
“Jika kita salah menilai bisa fatal, misalnya nabi memerintahkan jihad, lalu tiba-tiba orang biasa mengatakan mari kita jihad..!, (lalu yang satunya lagi bilang) Loh kmu itu siapa ko memerintahkan jihad, (dijawab lagi) Lo nabi itu saat memerintahkan untuk jihad itu sebagai nabi apa sebagai imam?. nah dari sini ada kesadaran pada tingkat ahli fikih bahwa di Madinah itu adalah pengalaman politik.” Jelas Gus Ghofur.
Kemudian menurut beliau, terkait kejadian di Madinah yang berhubungan dengan politik, ulama memiliki hak untuk berijtihad di dalamnya, sehingga hal itu bisa dikembangkan melalui ijtihad mereka masing-masing.
“Yang kedua, pengalaman di Madinah itu bisa dikembangkan, ada yang namanya haqqul ijtihad, tanpa ada yang namanya haqqul ijtihad tidak bisa terjadi, seperti sholat, sholat itu kalau tidak ada haqqul ijtihad maka tidak akan lahir Fathul Qorib, Sujud sahwinya model Safii itu nas shoreh apa ijtihad, sujud tilawah menurut Syafi’iyah yang harus wudu itu nas soreh apa ijtihad, ya ijtihad,”
Selanjutnya, beliau juga menegaskan bahwa alasan para ulama berijtihad dalam masalah politik dikarenakan sedikitnya penjelasan yang membahas tentang politik.
“Yang ketiga, pengalaman Madinah itu tidak banyak yang berbicara mengenai detail politik, seandainya sudah detail maka tidak perlu ijtihad, karena tidak detail maka lahir teori teori baru, …hal ini melahirkan fiqih yang namanya fiqih siasyah (fiqih politik),”
Oleh karenanya, Gus Ghofur kemudian memerinci ijtihad menjadi beberapa bagian, tergantung dengan keadaannya masing-masing, lebih ringkasnya, ada ijtihad yang fardhu ain, Ijtihad yang fardhu kifayah, ijtihad yang sunnah dan ijtihad yang haram.
“Al-Imam as-Syatibi menyampaikan bahwa kejadian politik terlalu banyak dibandingkan dengan nas-nya, nas-nya hanya seberapa tapi kejadiannya banyak sekali,….oleh karena itu ada Ijtihad yang Fardu ain dan ada ijtihad yang Fardu kifayah,”
“Contoh yang ijtihad fardhu ain kalau ada satu pertanyaan yang di tanyakan pada seseorang yang mampu, sedangkan waktunya mipet maka itu menjadi fardhu ain. Semisal ada perempuan tanya mengenai kasus haid, sedangkan waktunya dzuhur tinggal 15 menit, ditanya pada seseorang, saya ini wajib sholat apa tidak, kalau tidak dijawab dia akan qodho’, maka seketika itu wajib fardhu ain menjawabnya.”
Kemudian beliau mencontohkan ijtihad yang fardhu kifayah sebagai berikut :
“Dan ada juga yang fardhu kifayah, yaitu kalau disampaikan pada orang banyak, semisal masalahnya di Madura, lalu disampaikan pada pengurus NU Bangkalan atau Pamekasan dan Sumenep, jika sampai terjadi masalah tersebut dan tidak ada yang jawab maka dosa semua.” Jelas Gus Ghofur.
Sedangkan contoh ijtihad yang sunnah menurut Gus ghofur sebagai berikut :
“Dan ada yang Sunnah, belum terjadi namun sudah dijawab,….semisal bagaimana hukumnya orang muslim yang ke bulan, bagaimana sholatnya?. Nah itu belum terjadi namun dudah ditanyakan maka itu masuk yang sunnah,”
Dan terakhir beliau menjelaskan ijtihad yang haram, sebagaimana yang telah kami kutip dari dauhnya :
“Ada juga ijtihad haram, yaitu orang yang tidak ahli bathsul masail ikut bathsul masail. makanya yang ahli bathsul masail harus berani biar tidak dipegang oleh orang yang bukan ahlinya.” Jelasnya
Kemudian, beliau menjelaskan perihal model atau gaya kepemimpinan menurut ijtihad para ulama sebagai berikut :
“… persoalan politik itu penjelasannya sedikit tapi kejadiannya banyak sekali, semisal nabi wafat tapi tidak menunjuk siapa penggantinya, tidak menjelaskan caranya ganti itu gimana, kriterianya juga tidak dijelaskan dengan detail.Maka kalau oranv berfikir tentang ini maka lahir lah teori tentang ini, maka kalau bukan politik apa, bisa ga disebut dengan fiqih politik, kalau yang memutuskan abu bakar semisal itu jika bukan karena politik apa,” Jelasnya.
Hal itu diperkuat oleh argumen guru besar Ahlussunnah wal Jamaah Syekh Abul Hasan Al-Asy‘ari yang menyebut pertikaian pertama yang terjadi di tengah umat Islam sepeninggal Rasulullah SAW itu dipicu oleh persoalan politik.
“Abu Hasan al-as’ary dalam kitabnya maqolatul al-islamiah mengatakan :
اختلف الناس بعد نبيهم في أشياء كثيرة ضلل فيها بعضهم بعضاً وبرئ بعضهم من بعض فصاروا فرقاً متباينين وأحزاباً متشتتين إلا أن الإسلام يجمعهم ويشتمل عليهم… واول ما حدث من الاختلاف بين المسلمين بعد نبيهم صلى الله عليه و سلم اختلافهم في الإمامة وذلك أن رسول الله صلى الله عليه و سلم لما قبضه الله عز و جل ونقله إلى جنته ودار كرامته
Artinya :Setelah Nabi mereka (Wafat), orang-orang pada berbeda pendapat dalam banyak hal, mereka saling menyesatkan satu sama lain dan saling membebaskan satu sama lain, sehingga mereka terpecah belah menjadi beberapa golongan, namun Islam mempersatukan dan mengikutsertakan mereka. Adapun perkhilafan yang pertama kali terjadi di kalangan umat Islam sepeninggal Rasulullah SAW adalah perihal kepemimpinan (politik). Peristiwa itu terjadi ketika Rasulullah SAW wafat dan beralih ke sisi-Nya yang mulia.” Jelas Gus Ghofur.
Secara singkat, beliau mencontohkan hal demikian terhadap organisasi NU yang Ketika ditinggal oleh para muassis maka bermunculan macam-macam pemikiran atau jalan yang ditempuh oleh NU.
“NU dijaga Mbah Kholil dan Mbah Hasyim Asy’ari itu gak banyak melahirkan teori, karena (pengikutnya) manut semua, tapi ketika ditinggalkan maka lahir teori baru semisal ada NU garis lurus, garis bengkok dan lain lain, Simpelnya kalau pimpinannya tertingginya sudah mundur maka akan lahir teori-teori baru karena sudah merasa tidak ada yang merasa harus diikuti,” Pungkas beliau.
Kemudian beliau menceritakan kisah awal mula timbulnya teori-teori politik dengan melihar terhadap Sejarah Rasulullah SAW
“Seperti saat nabi wafat, berkumpullah orang Ansor mengangkat dan mengusungkan Sa’ad bin ubadah untuk menggantikan nabi, mereka berati mengatakan yang berhak menggantikan nabi adalah orang Ansor karena merekalah tuan rumahnya, karena yang membawa nabi adalah kaum Ansor, akhirnya abu bakar datang dan mengatakan bahwa yang paling berhak adalah orang Quraisy dengan membawa sabda Rasulullah SAW. ada lagi yang berteori Minna amirun waminkum amirun, kalian kaum Muhajirin punya pemimpin dan kami kaum Ansor punya pemimpin.”
Dari kisah tersebut Gus Ghofur menjelaskan bahwa dari ketiga teori tersebut yang dijadikan pegangan umat islam zaman dahulu adalah teorinya Sayyida Abu Bakar as-Siddiq yang mengatakan bahwa yang berhak menggantikan Rasulullah SAW adalah orang-orang Quraisy.
“Namun semua kalah sama teorinya Abu Bakar, dan belakangan ini yang menang adalah teori yang ketiga ini, ada Saudi, ada Indonesia ada Brunai, bahkan kalau kita tidak percaya teori yang ketiga ini maka kita akan dianggap hizbu tahrir yang tidak percaya bahwa umat Islam memiliki perbedaan politik.”
Teori itu masih di pakai oleh hizbu tahrir yang berargumen bahwa umat islam harus berada dalam satu naungan khilafah, sedangkan menurut ulama NU tidak harus berada dalam satu naungan khilafah.
“Kalau hisbu tahrir masih mempertahankan teori yang mengatakan bahwa semua umat Islam harus satu kekuatan politiknya, tapi keputusan Nahdlatul ulama mengatakan bahwa umat Islam tidak wajib disatukan dalam satu kekuatan politik, itu Munas NU sebelum muktamar Jombang dengan memakai teori Minna amirun waminkum Amir,”
Dan terakhir Gus Ghofur menjelaskan teori politik dengan sistem Kerajaan dengan melihat terhadap kholifah Muawiyah sebagai berikut :
“Dari ketiga ini sepakat bahwa harus melalui bil aqdi tidak boleh di wariskan, jadi saat itu belum muncul teori fiqih bapak mati diganti anaknya, lalu dikemudian hari ditelurkan oleh Muawiyah dengan dibisiki oleh teman akrabnya namanya mughiroh “kita sudah memakai sistem pergantian dan selalu berdarah darah sekarang pake warisan saja agar tidak berdarah,” namun yang paling tidak setuju adalah yang dari Madinah karena mereka memiliki pengalaman empat pengalaman pemimpin tidak ada yang di wariskan. Kemudian teori dari Muawiyah itu dipakai oleh Saudi, Qatar, arab dan kerajaan-kerajaan lain sedangkan Indonesia pakai teorinya khilafah saat di Madinah.” Jelasnya.
Author : Fakhrullah