Akhlak dan ilmu tidaklah bisa dipisahkan, karena jika punya ilmu tapi tidak memiliki akhlak maka akan menyebabkan kerusakan dengan berbuat semena-mena, begitupula jika hanya memiliki akhlak tapi tidak memiliki ilmu maka juga akan membuat kerusakan dengan berfatwa atau menghukumi sesuatu dengan menyalahi syariat.
Oleh karena itu ilmu dan akhlak harus berjalan beriringan, ibaratkan sepasang kaki yang apabila salah satunya cacat maka akan pincang dalam berjalan, begitupula sebaliknya, jika keduanya baik maka akan sempurna perjalanannya. Itulah prolog dalam kajian kitab Hidayatul Muta’alim bersama KH. Ismail al-Kholili dan KH. Ismail al-Ascholy di Ponpes Syaichona Moh Cholil.
Kitab Hidayatul Muta’alim tersebut merupakan salah satu karya KH. Taufiqul Hakim yang beliau juga terkenal sebagai pengarang kitab Amsilati. Tepatnya pada hari Selasa, 12 September 2023, pengurus Amsilati Pondok Pesantren Putri Syaichona Moh Cholil adakan pengajian kitab tersebut dalam rangka edukasi untuk para santri tingkat Amsilati agar lebih semangat dalam belajar.
Dalam pengajian tersebut KH. Ismail al-Kholili menyampaikan bahwa akhlak memiliki posisi penting dalam proses belajar, sehingga sudah menjadi hal yang lazim bagi para santri untuk mengetahui akhlak yang baik dengan mengikuti langkah ulama-ulama terdahulu dari berbagai aspek, baik dalam tingkah laku, prasangka ataupun dalam tutur kata.
“Guru kita terdahulu mengajarkan ada berbagai bahasa khusus untuk kita berkomunikasi terhadap guru, seperti abdinah-ajunan (Madura:red),” Tutur Ra Ismail, panggilan akrabnya KH. Ismail al-Kholili.
Beliau juga menyampaikan tentang bagaimana akhlak Imam Hanafi kepada gurunya tatakala menuntut ilmu sehingga menjadi ulama besar yang menjadi rujukan dalam ilmu fiqih khususnya.
“Imam Hanafi berkata, saya tidak pernah berselonjor ke arah rumah guru saya, padahal jarak rumah beliau dan gurunya adalah tujuh rumah.” Jelas Ra Ismail.
Dan diantara akhlak para ulama yang disampaikan oleh beliau adalah akhlaknya Imam Syafi’i yang sangat menjunjung tinggi kedudukan orang tua, sehingga tidak heran jika beliau menjadi mujtahid besar yang menyatukan ijtihadnya ahli ra’yi (Imam Hanafi) dan ijtihadnya ahli naqli (Imam Malik).
“Imam Syafi’i tatakala ditanya oleh salah satu santrinya tentang perdebatan dengan orang tuanya beliau mengatakan kepada muridnya : jangankan berdebat dengan orang tua, berdebat dengan sandal orang tua saja kita tidak boleh.” Tutur Ra Ismail
Selain itu, Ra Ismail juga menambahkan beberapa nasehat yang beliau dapatkan dari gurunya, yaitu Maulana al-Habib Umar bin Hafidz, Tarim Hadramaut Yaman.
“Dauh Habib Umar, tidak boleh menaruh kitab di bawah karena di bawah adalah tempat kaki, tidak boleh memegang kitab dengan tangan kiri, karena tangan kiri adalah tangan yang memegang sesuatu yang tidak bermanfaat dan jangan menaruh kitab di dalam tas gendong karena membelakangi kitab.” Urai beliau.
Setelah pengajian kitab, KH. Ismail al-Ascholy menambahkan wejangan mengenai akhlak dan ilmu. Diantaranya, beliau menyampaikan bahwa seorang santri harus peka dalam berilmu maupun bertingkah laku agar tidak terjadi hal-hal yang kurang patut untuk dilakukan. Oleh karena itu adab itu harus fleksibel, artinya harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.
“Bila seseorang dari awal (hanya) diajari ilmu adab atau akhlak maka dia akan kehilangan ilmu kepekaan, jika dia mempelajari akhlak saja, maka ketika guru lewat dia menunduk dan ketika gurunya seandainya jatuh, maka dia akan tetap menunduk, takut untuk menolong, namun jika dia diajari ilmu maka dia akan menolongnya.” Tutur KH. Ismail al-Ascholy.
Untuk menunjang semua itu, maka santri perlu untuk mengaji dan mempelajari ilmu akhlak yang benar, dan untuk bisa mengkaji kitab-kitab terdahulu maka perlu untuk mempelajari ilmu alat terlebih dahulu, semisal nahwu metode Amsilati.
“Ketika kita tau ilmu alat (ilmu nahwu), maka akan mudah mempelajari kitab-kitab dan akan mudah untuk mempelajari ilmu akhlak.” Jelas KH. Ismail al-Ascholy.
Semoga bermanfaat.
Oleh : Adibah_Key
Editor : Fakhrulla