Syaichona.net- Banyak jama’ah haji yang sudah kembali ketanah air setelah selesai melakukan ibadah haji di Makkatul Mukarramah. Masyarakat menyambut kedatangan mereka dengan berziarah, meminta doa dan barakah.
Biasanya mereka yang datang akan disuguhi air Zamzam dan makanan-makanan khas timur tengah, seperti kurma, kismis dan semacamnya.
Nah, untuk air Zamzam, selain memang sunnah meminumnya karena bernilai ibadah, juga terdapat banyak khasiat di dalamnya. Karena nabi ﷺ bersabda :
ماء زمزم لما شرب له
“Air Zamzam berkhasiat sesuai niat peminumnya.” (HR. al-Hakim)
Juga sunnah bagi orang yang hendak meminum air Zamzam, untuk berniat agar memperoleh apa yang diinginkan dari keinginan dunia dan akhirat. Selain itu juga hendak menghadap kiblat dan dalam keadaan duduk.
Apabila meminumnya dengan tujuan ingin mendapatkan pengampunan Allah, atau mengobati tubuh.
قال الفشنى : فإذا شربته للمغفرة تستقبل القبلة ثم تسمى الله تعالى وتقول : اللهم بلغنى عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال : ماء زمزم لما شرب له، وأنا أشربه لتغفرلى اللهم اغفرلى. وكذا إذا شربته للشفاء من مرض أونحوه
Al-Fasyni berkata, “Jika kamu minum air Zamzam untuk mendapatkan pengampunan Allah, hendaknya minum dengan menghadap kiblat, kemudian menyebut nama Allah (baca Bismillah), dan membaca doa, “Allahumma Ballighni ‘an Rasulillahi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Annahu Qala, ‘Maau Zamzama Lima Syuriba Lahu,’ wa Ana Asyrabuhu Litaghfirali Allahummaghfirli.” Demikian juga lakukan seperti cara di atas, ketika kamu minumnya untuk dibuat obat dari penyakit dan lainnya.
Diceritakan, bahwa orang tua Imam al-Jauzi sebelum memiliki anak yang sangat alim seperti beliau, dahulunya pernah tidak mempunyai anak selama empat puluh tahun lamanya dari perkawinannya. Kemudian orang tua sang Imam tersebut melakukan ibadah haji, dan meminum air Zamzam dengan niat agar dikaruniai seorang anak. Akhirnya lahirlah seorang anak yang alim allamah dan menjadi Imam yang dikenal dengan sebutan Ibnul Jauzi.
Wallahu A’lam
Oleh : Shofiyullah el_Adnany
Referensi : Bahjatul Wasail bi Syarhi Masail | Syaikh Nawawi al-Banteni | halaman 28.