Imam Mawardi pernah menulis kitab fiqh Madzhab Syafi’iah yang berjudul al-Hawi al-Kabir yang merupakan Syarah terhadap kitab Mukhtasar Muzanni karya Imam al- Muzanni yang mana beliau adalah murid langsung daripada Imam Syafi’i.
Dalam kitab tersebut ditemukan redaksi yang menjelaskan tentang orang yang ragu-ragu apakah wudhunya batal atau tidak, karena hal itu marak terjadi bagi kaum muslimin, terlebih bagi orang yang ditimpa penyakit was was.
Dalam problematika tersebut beliau menyampaikan bahwa hukum orang yang ragu-ragu apakah wudhunya batal atau tidak maka wudhunya tidak batal dengan alasan kaidah fiqih yang berbunyi “Keyakinan tidak bisa dihilangkan sebab keragu-raguan”. Sebagaimana redaksi yang beliau sampaikan
(مَسْأَلَةٌ: الْيَقِينُ يَزُولُ بِالشَّكِّ)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنِ اسْتَيْقَنَ الطَّهَارَةَ ثُمَّ شَكَّ فِي الْحَدَثِ أَوِ اسْتَيْقَنَ الْحَدَثَ ثُمَّ شَكَّ فِي الطَّهَارَةِ فَلَا يَزُولُ الْيَقِينُ بِالشَكِّ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صحيح، أما إِذَا تَيَقَّنَ الْحَدَثَ وَشَكَّ بَعْدَهُ فِي الْوُضُوءِ فَإِنَّهُ يَبْنِي عَلَى الْيَقِينِ وَيَتَوَضَّأُ وَلَا يَأْخُذُ بِالشَّكِّ إِجْمَاعًا، فَأَمَّا إِذَا تَيَقَّنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ شَكَّ هَلْ أَحْدَثَ بَعْدَهُ أَمْ لَا فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وأبي حنيفة وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يَبْنِي عَلَى الْيَقِينِ وَلَا يَلْزَمُهُ الْوُضُوءُ، وَقَالَ مَالِكٌ يَبْنِي عَلَى الشَّكِّ وَيَلْزَمُهُ الْوُضُوءُ مَا لَمْ يكثر ذلك عليه
[الماوردي ,الحاوي الكبير ,1/207]
Bertendensi dengan redaksi tersebut, Imam Mawardi menegaskan ketidakbatalan wudhu tersebut dikarenakan hukum asal yang diyakini daripada wudhu tersebut adalah tidak batal, sehingga ketika ada pertentangan antara rasa yakin dan rasa ragu-ragu maka yang dimenangkan adalah rasa yakin.
Selain itu Imam Nawawi juga berpendapat seperti demikian dalam kitab Raudhah at-Thalibin yang merupakan ringkasan daripada kitab Syarkhul Kabir milik Imam Rofi’i. Sebagaimana beliau sampaikan:
مِنَ الْقَوَاعِدِ الَّتِي يُبْنَى عَلَيْهَا كَثِيرٌ مِنَ الْأَحْكَامِ، اسْتِصْحَابُ حُكْمِ الْيَقِينِ، وَالْإِعْرَاضُ عَنِ الشَّكِّ، فَلَوْ تَيَقَّنَ الطَّهَارَةَ، وَشَكَّ فِي الْحَدَثِ، أَوْ عَكْسُهُ، عَمِلَ بِالْيَقِينِ فِيهِمَا. وَلَوْ ظَنَّ الْحَدَثَ بَعْدَ يَقِينِ الطَّهَارَةِ، فَكَالشَّكِّ، فَلَهُ الصَّلَاةُ. [
النووي، روضة الطالبين وعمدة المفتين، [٧٧/١]
Dari pemaparan Imam Nawawi tersebut memperkuat pendapat Imam Mawardi yang mengatakan bahwa hukum bagi orang yang ragu-ragu adalah dengan mengikuti keyakinannya, karena yang di i’tibar dalam masalah Ubudiyah adalah Dzonnul Mukallaf bukan nafsu al-amri.
Jadi telah jelas bahwa jika ragu-ragu apakah wudhunya batal atau tidak maka wudhunya tidak batal. Allahua’lam.
Author: Fakhrullah
Referensi:
Raudhah at-Thalibin|Imam Nawawi| 1 | 77.
Al-Hawi al-Kabir | Imam Mawardi| 1 | 107.