Syaichona.net- Diantara kesunahan dalam sholat adalah membaca Ta’awudz sebelum membaca Basmalah dan Surat al-Fatihah atau setelah Iftitah.
Allah berfirman:
فَاِذَا قَرَأْتَ الْقُرْاٰنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ
Artinya: “Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur’an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98).
Dan terdapat riwayat hadits dalam Sunan Abi Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, al-Baihaqi dan lainnya bahwa Rasulullah ﷺ sebelum Qiro’ah dalam sholat beliau membaca:
أَعُوْذُ بِاللّٰهِ السَّمِيْعِ العَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنَ هَمْزِهِ، ونَفْخِهِ، ونَفْثِهِ
“Aku memohon perlindungan kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari setan yang terkutuk yaitu dari gangguannya, kesombongannya dan sya’irnya.”
Menurut Syaikh Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz al-Malibariy (w 987 h) dalam fathu al-Mu’innya, mengatakan:
يسن تعوذ ولو في صلاة الجنازة سرا ولو في الجهرية، وإن جلس مع إمامه كل ركعة ما لم يشرع في قراءة ولو سهوا وهو في الأولى آكد ويكره تركه
“Disunahkan membaca Ta’awudz sekalipun dalam sholat Jenazah dengan cara dibaca pelan sekalipun dalam sholat yang dikeraskan bacaannya dan sekalipun (saat ikut) bersama imam dalam keadaan duduk. (Kesunahan ini) disetiap rakaat selagi tidak terlanjur membaca (al-Fatihah tanpa Ta’awudz) sekalipun terlanjurnya itu keadaan lupa dan anjuran membaca Ta’awudz dirakaat pertama lebih dianjurkan serta makruh meninggalkannya.”
Syaikh Abu Bakar Muhammad Syatho ad-Dimyathiy (w. 1310 h) menambahkan dalam Hasyiyah I’anah ath-Thalibinnya:
وما لم يضق الوقت بحيث يخرج بعض الصلاة عنه لو أتى به، وما لم يغلب على ظنه عدم إدراك الفاتحة قبل ركوع الإمام. فإن شرع في قراءة ولو البسملة، أو ضاق الوقت، أو غلب على ظنه عدم إدراك الفاتحة، لم يسن التعوذ
“Dan selagi waktunya (melaksanakan sholat) tidak sempit dengan artian jika ia membaca Ta’awudz, sebagian sholatnya akan keluar dari waktunya dan tidak ada sangkaan kuat, jika membaca Ta’awudz ia tidak bisa menututi al-Fatihah imamnya sebelum ruku’. Dan kita telah terlanjur membaca (al-Fatihah tanpa Ta’awudz), waktu melaksanakan sholat sempit atau ada sangkaan kuat tidak bisa menututi al-Fatihah imamnya sebelum ruku’, maka tidak disunahkan membaca Ta’awudz.”
Al-Imam an-Nawawiy (w 676 h) dalam kitab al-Adzkarnya mengatakan:
واعلم أن التعوّذ مستحبّ في الركعة الأولى بالاتفاق، فإن لم يأت به في الأولى أتى به في الثانية، فإن لم يفعل ففيما بعدها، فلو تعوّذ في الأولى هل يستحبّ في الثانية؟ فيه وجهان لأصحابنا، أصحهما: أنه يستحبّ، لكنه في الأولى آكد، وإذا تعوّذ في الصلاة التي يُسِرُّ فيها بالقراءة، أسرّ بالتعوّذ، فإن تعوّذ في التي يُجْهَر فيها بالقراءة، فهل يجهر؟ فيه خلاف، من أصحابنا من قال: يُسرّ، وقال الجمهور: للشافعي في المسألة قولان. أحدهما: يستوي الجهر والإِسرار، وهو نصُّه في ” الأم “. والثاني يُسنّ الجهر، وهو نصُّه في ” الإِملاء “. ومنهم مَن قال: فيه قولان. أحدهما: يجهر، صححه الشيخ أبو حامد الاسفراييني إمام أصحابنا العراقيين، وصاحبه المحاملي وغيرهما، وهو الذي كان يفعله أبو هريرة رضي الله عنه. وكان ابن عمر رضي الله عنهما يُسِرّ، وهو الأصحّ عند جمهور أصحابنا، وهو المختار، والله أعلم
“Ketahuilah! Bahwa membaca Ta’awudz disunahkan dirakaat pertama menurut kesepakatan para ulama, apabila seorang yang sholat tidak membaca Ta’awudz dirakaat pertama, maka dianjurkan membaca Ta’awudz di rakaat kedua. Jika tidak membaca Ta’awudz di rakaat kedua, maka hendaklah membacanya dirakaat setelahnya. Lalu jika sudah membaca Ta’awudz dirakaat pertama, apakah masih disunahkan membacanya dirakaat kedua? Hal ini terdapat dua pendapat dari Ashabina (para ulama pengikut madzhab kita asy-Syafi’i) dan pendapat yang paling shahih dari dua pendapat tersebut mengatakan, masih disunahkan membacanya tetapi membaca Ta’awudz dirakaat pertama lebih diutamakan. Jika dalam sholat yang dikerjakan merupakan sholat yang dipelankan bacaannya, maka hendaknya dipelankan dalam membaca Ta’awudz dan apabila sholat yang dikerjakan merupakan sholat yang dikeraskan bacaannya, apakah membaca Ta’awudznya juga harus dikeraskan? Ulama masih terjadi silang pendapat dalam masalah ini. Dari kalangan Ashabina bahwa yang sunah dibaca pelan dan mayoritas mengatakan: “Bagi Imam Asy-Syafi’i dalam masalah ini, terdapat dua pendapat, Pendapat pertama mengatakan bahwa tidak ada bedanya (dalam sunah) baik membacanya dengan keras atau membacanya dengan pelan sebagaimana penjelasan yang terdapat dalam kitab al-Um. Sedangkan menurut pendapat yang kedua, bahwa disunahkan membaca keras sebagaimana penjelasan yang terdapat dalam kitab al-Imla’. Diantara mereka para ulama ada yang berpendapat terkait masalah ini, yang terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan, bahwa hal itu disunahkan membaca keras yang dishahihkan oleh Syaikh Abu Hamid al-Isfiraniy, seorang Imam Ashabina (para ulama pengikut madzhab kita asy-Syafi’i) dari kalangan ulama Iraq dan sahabatnya yang bernama Syaikh al-Mahamiliy serta lainnya hal itu mengikuti apa yang telah dikerjakan oleh Abu Hurairah ra. Sedangkan Ibnu Umar ra membacanya dengan suara dipelankan, pendapat ini adalah pendapat yang Ashah menurut mayoritas Ashabina dan ini pendapat yang terpilih. Waallahu A’lamu.
Penulis : Abdul Adzim
Publisher : Fakhrul
Referensi :
✍️ Syaikh Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz al-Malibariy| Fathu al-Mu’in Bisyarhi Qaratu al-Ain bi Muhimmati ad-Din, Maktabah asy-Syamilah hal 103.
✍️ Syaikh Abu Bakar Muhammad Syatho ad-Dimyathiy| Hasyiyah I’anah ath-Thalibin| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1 hal 249-250.
✍️ Al-Imam Syaikh Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi ad-Damsyiqi| Maktabah Nizar Mushtafa al-Baz, Makah al-Mukaramah—Riyadh Jid 1 hal 53.