Syaichona.net- Kadang saat kita berdzikir, mengajar atau belajar ilmu, sedang membaca al-Qur’an dan lain-lainnya, lalu mendengar adzan berkumandang. Apakah lebih utama menjawab adzan atau melanjutkan kegiatan tersebut sembari menjawabnya?
Nah, untuk mengetahui jawabannya mari kita simak penjelasan Syaikh Abu al-Muwahib Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad asy-Syafi’iy al-Mishriy asy-Sya’raniy (w. 973 h) dalam Lawaqihi al-Anwar al-Qudsiyah fi bayani al-Uhudi al-Muhammadiyah berikut:
(أخذ علينا العهد العام من رسول الله صلى الله عليه وسلم) أن نجيب المؤذن بما ورد في السنة ولا نتلاهى عنه قط بكلام آخر ولا غيره أدبا مع الشارع صلى الله عليه وسلم ، فإن لكل سنة وقتا يخصها فلاجابة المؤذن وقت وللعلم وقت وللتسبيح وقت ، ولتلاوة القرآن وقت ، كما أنه ليس للعبد أن يجعل موضع الفاتحة استغفارا ولا موضع التسبيح للركوع وللسجود قراءة ولا موضع التشهد غيره وهكذا فافهم ، وهذا العهد يخل به كثير من طلبة العلم فضلا عن غيرهم ، فيتركون إجابة المؤذن بل ربما تركوا صلاة الجماعة حتى يخرج الناس منها وهم يطالعون في علم نحو أو أصول أو فقه ، ويقولون العلم مقدم مطلقا وليس كذلك فإن المسألة فيها تفصيل فما كل علم يكون مقدما في ذلك الوقت على صلاة الجماعة كما هو معروف عند كل من شم رائحة مراتب الأوامر الشرع
“Kami telah terikat perjanjian umum dari Rasulullah ﷺ, untuk menjawab Adzan sebagaimana perintah dalam hadits dan kami tidak boleh mencampurnya dengan perkataan atau lainya sedikit pun sebagai etika baik terhadap Sang Penyampai Syara’. Karena sesungguhnya bagi setiap pekerjaan sunah masing-masing memiliki waktu khusus. Menjawab adzan ada waktunya, untuk (mengajar dan belajar) ilmu ada waktunya, untuk Tasbih (dzikir) ada waktunya dan untuk membaca al-Qur’an juga ada waktunya. Hal itu sebagaimana tidak perkenankan seseorang mengganti bacaan al-Fatihah dengan istighfar, tempatnya ruku’ dan sujud digunakan Qira’ah (membaca), tempatnya Tasyahud digunakan lainnya dan begitu seterusnya. Maka fahamilah! Perjanjian ini (kesunahan menjawab adzan) sudah jarang diamalkan para penuntut ilmu lebih oleh lainnya. Mereka biasa meninggalkan menjawab Adzan bahkan kadang mereka meninggalkan sholat berjemaah. Asyik mengkaji ilmu Nahwu, Usul atau Fikih hingga orang-orang selesai menunaikan sholat jemaah. Mereka berkata, ilmu harus di dahulukan dari lainnya secara mutlak. ucapan itu tentu saja tidak benar, sebab terdapat perincian dalam masalah tersebut, karena tidak semua ilmu lebih dikedepankan daripada sholat jama’ah, sebagaimana telah diketahui oleh orang yang pernah “mencium bau” tingkatan-tingkatan perintah-perintah syari’at. Waallahu A’lamu
Penulis: Abdul Adzim
Publisher: Fakhrul
✍️ Abu al-Muwahib Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad asy-Syafi’iy al-Mishriy asy-Sya’raniy| Lawaqihi al-Anwar al-Qudsiyah fi bayani al-Uhudi al-Muhammadiyah| Daru al-Kutub al-Ilmiyah hal 38.
✍️ Syaikh Abu Bakar Ustman bin Muhammad Syatho ad-Dimyathiy al-Bakariy| Hasyiyah I’anatu ath-Thalibin| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1 hal 409-410.