TIPE HATI MANUSIA DALAM MENERIMA PETUAH ILMU
Saat hadir disebuah pengajian ilmu, tidak semua orang bisa merasakan sejuknya siraman embun ilmu yang dikucurkan sang penceramah dan mengesankan hingga berpengaruh pada aktifitas kesehariannya setelah pulang dari pengajian. Ada yang benar-benar antusias saat mendengarkan bahkan mencatat inti sari isi petuah yang didengar lalu berusaha sekuat tenaga mengamalkan ilmu yang di dapat. Ada yang terkesan pada saat mendengarkan petuah namun setelah pulang ke rumahnya petuah itu hilang tenggelam lalu muncul mengingat kembali ilmu yang didapatnya dan ada pula yang tidak terkesan sama sekali saat mendengarkan pengajian bahkan asyik ngobrol sendiri atau terbuai dengan kantuk lalu tertidur hingga pengajian selesai.
Syaikh Abdurrahman bin Ali Ibnu al-Jauziy al-Baghdadiy (w. 597 h) dalam kitabnya Shaidu al-Khathir menuturkan:
قد يعرض عند سماع المواعظ للسامع يقظة، فإذا انفصل عن مجلس الذكر، عادت القسوة والغفلة، فتدبرت السبب في ذلك، فعرفته. ثم رأيت الناس يتفاوتون في ذلك. فالحالة العامة أن القلب لا يكون على صفته من اليقظة عند سماع الموعظة وبعدها؛ لسببين
Terkadang seseorang dalam mendengarkan petuah ilmu, benar-benar dalam keadaan terjaga. Namun setelah ia berpisah dari majlis ilmu, kembalilah kekerasan hati dan kelalaian jiwa. Aku bertanya, kenapa hal itu bisa terjadi? Setelah aku mengetahu; ternyata aku lihat manusia itu berbeda-beda kondisi (hati)nya.
Secara umum kondisi yang terjadi ialah hatinya tidak berada dalam keadaan benar-benar terjaga ketika mendengarkan petuah yang disampaikan, begitu juga sesudahnya. Hal itu lantaran dua sebab:
أحدهما: أن المواعظ كالسياط، والسياط لا تؤلم بعد انقضائها، وإيلامها وقت وقوعها
Pertama, petuah itu bagaikan cambuk, di mana rasa sakitnya tidak terasa selepas dicambuk tetapi terasa ketika cambuk menyentuh tubuh.
والثاني: أن حالة سماع المواعظ يكون الإنسان فيها مزاح العلم، قد تخلى بجسمه وفكره عن أسباب الدنيا، وأنصت بحضور قلبه. فإذا عاد إلى الشواغل، اجتذبته بآفاتها، فكيف يصح أن يكون كما كان. وهذه حالة تعم الخلق؛ إلا أن أرباب اليقظة يتفاوتون في بقاء الأثر
Kedua, ketika mendengarkan petuah, kondisi hati seseorang benar-benar fokus pada ilmu. Jasad dan fikirannya jauh dari sebab-sebab (kesibukan) duniawi. Ia diam berusaha menghadirkan hatinya. Namun ketika ia kembali kepada kesibukan duniawi, ia kembali terjerat dengan segala tipu dayanya. Lalu bagaimana bisa hatinya kekal sebagaimana saat mendengarkan petuah. Keadaan ini bisa dirasakan oleh semua orang secara umum. Tetapi orang yang memiliki kesedaran itu berbeda-beda dalam mengabadikan kesan petuah dalam hati (selepas mendengarkan petuah).
فمنهم من يعزم بلا تردد، ويمضي من غير التفات
Di antara mereka, ada yang punya tekad kuat tanpa sedikit pun keraguan, dan mereka terus berusaha (mengamalkan isi petuah yang di dengar) tanpa mau berpaling.
فلو توقف بهم ركب الطبع، لضجوا، كما قال حنظلة عن نفسه: نَافَقَ حَنْظَلَةُ
Jika seandainya mereka terhenti beralih pada kebiasaan tabiat kemanusiannya, mereka pasti akan meraung sebagaimana keluhan Hanzalah terhadap dirinya: “Hanzalah seorang munafik.”
ومنهم أقوامٌ يميل بهم الطبع إلى الغفلة أحيانًا، ويدعوهم ما تقدم من المواعظ إلى العمل أحيانا، فهم كالسنبلة تميلها الريا
Di antara mereka, terkadang ada yang cenderung tunduk kepada tabiat kemanusiannya yang lalai, dan terkadang petuah ilmu itu mendorong mereka untuk mengamalkan. Mereka ini bagaikan tangkai ilang-ilang yang mengikut arah tiupan angin.
وأقوام لا يؤثر فيهم إلا بمقدار سماعه، كماء دحرجته على صفوان.
Di antara mereka, ada sekumpulan orang yang tidak terkesan apapun kecuali pada kadar yang didengarnya (di pengajian tersebut). Mereka bagaikan air yang engkau timpakan ke atas batu yang licin. Waallahu Allamu
Penulisan: Abdul Adzim
Reverensi:
✍️ Syaikh Abdurrahman bin Ali Ibnu al-Jauziy al-Baghdadiy| Shaidu al-Khathir| Daru al-Kutub al-Ilmiyah hal 14.