Syaichona.net- Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H), pelopor dan pejuang “manhaj Ahlussunah wal Jamaah”, pada suatu hari pergi menuju sebuah desa lalu bertemu dengan seorang peternak. Beliau yang merupakan seorang teolog terkemuka dan mempunyai akidah yang kuat, merasa heran: “Bagaimana imannya seorang desa kepada Allah?” lantas beliau pun bertanya pada seorang peternak yang sedang menggembalakan sapi. Beliau bertanya soal bagaimana iman peternak tersebut. Lalu dia menjawab: “Kalau ada kotorannya maka ada sapinya, kalau ada alam pasti ada penciptanya.”
Demikian, proses berpikir yang mempunyai “natijah sahih” (kesimpulan yang benar). Cara berislam yang seperti itulah yang harusnya dilakukan oleh segenap umat muslim. Bagaimana memfungsikan akalnya untuk merenungkan tanda-tanda yang telah Allah anugerahkan kepada setiap manusia supaya mengenal Tuhannya. Sehingga Islam yang berada di dada, bukan sebagai agama warisan dan formalitas belaka, Islam KTP.
Karena berislam dengan tanpa rasio, akan langsung merespon teks-teks syariat secara literalis saja, yang berefek sempit pemikiran, intoleransi, dan tidak moderat —terlalu baper terhadap apa yang tertulis saja. Dampak lainnya juga mudah dipengaruhi oleh kelompok-kelompok radikalisme, jalan ini yang sangat berpeluang membentuk seseorang menjadi teroris.
Bahkan “nadhar” menjadi syarat sahnya iman. Seseorang tidak dikatakan beriman jika mengenal Allah bukan dengan cara “nadhar”, berarti bertaqlid tidak diperkenankan. Begitulah menurut sebagian ulama mutakallimin (Muhammad ad-Dasuqi, Ad-Dasuqi Ala Ummu al-Barahin, hlm 55)
Kemudian Imam Asy-Syafi’i (150-205 H), pendiri “madzab Syafi’iyah” pernah berkata kepada murid-muridnya: “Setiap perkara yang aku ucapkan kepada kalian, dan akal kalian tidak menyaksikannya atau tidak dapat meluluskannya atau tidak melihatnya sebagai kebenaran, maka jangan kalian menerimanya, karena akal mendesak supaya menerima kebenaran.” (Abu Bakar al-Baihaqi, Manaqib As-Syafi’i, hlm 192)
Dua hal di atas mengindikasikan betapa pentingnya posisi akal dalam Islam. Belum lagi ayat afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala tadzakkarun, afala tubshirun, afala tatadabbarun, di dalam al-Qur’an yang semakin menguatkan betapa pentingnya akal sebagai hakim dalam berislam.
Karena sejatinya, al-Qur’an dan al-Hadist hanyalah bahan untuk berislam. Ibaratkan bahan-bahan mentah yang harus diolah dengan benar supaya menghasilkan masakan yang nikmat. Proses mengolah itulah menggunakan akal. Sementara alat-alatnya memakai ilmu seperti Ushul Fiqih, Mustolah al-Hadist, Ulum al-Qur’an, Nahwu, Shorof. Kalau hanya mengkonsumsi dua sumber syariat itu mentah-mentah, maka menimbulkan bahaya.
Oleh karenanya, saya sepakat dengan pendapat Imam Al-Ghazali (450-505 H) yang menghukumi wajib kifayah untuk mempelajari ilmu Mantiq —ilmu logika— (Abdurrahman al-Akhdhar, Sullam al-Munawaraq, hlm 5). Karena jika kewajiban tidak sempurna kecuali dengan suatu perkara, maka perkara itu juga diwajibkan. Contohnya: menolak pemahaman yang melencengkan akidah itu wajib. Semisal kita ditanyai: “Bisakah tuhan menciptakan batu yang dia sendiri tidak dapat mengangkatnya, kalau tidak bisa, maka tuhan lemah?” dan pertanyaan lainnya yang serupa. Bagaimana kita akan menjawabnya? Ya, pastinya menyampaikan dalil aqli, di samping bersanding dengan dalil naqli.
Kita bisa menjawab: bahwa sifat qudrah Allah tidaklah berta’alluq (berhubungan) dengan perkara mustahil. Sehingga tidak masuk akal jika Allah dapat menciptakan batu yang dia sendiri tidak bisa mengangkatnya. Sebab Allah akan bersifatan lemah, sementara yang lemah membutuhkan sesuatu dan itu merupakan sifat bagi ciptaan. Kalau demikian, maka memerlukan pencipta. Lantas karena Allah adalah tuhan, selaku pencipta, masih diciptakan, maka tuhan yang menciptakan Allah pun diciptakan. Seterusnya tanpa akhir. Hal itu mustahil. Itulah yang disebut ‘tasalsul’ dalam ilmu Tauhid.
Maka sangat jelas begitu pentingnya posisi akal dalam berislam. Sehingga kita harus berpikir radiks, sampai ke akar-akarnya mengelola teks-teks syariat untuk diaplikasikan pada setiap kondisi, di samping mengokohkan keimanan, dan menolak pemahaman ekstrim.
Penulis : Muhammad Rosul
Publisher : Fakhrul