“Seorang awam seandainya ia berzina atau mencuri, itu lebih baik baginya, dari pada ia berbicara tentang ilmu. Sebab jika ia berbicara tentang ilmu dan agamanya tanpa memiliki kecukupan dan kecakapan ilmu, ia dapat jatuh kepada kekufuran tanpa ia sadari. Seperti seorang yang berenang dalam arus ombak laut, padahal ia tidak mengetahui cara untuk berenang.” Imam al-Ghazali (Ihya’ Ulum ad-Din. Hlm 3/36).
Imam al-Ghazali mewanti-wanti kepada kita selaku orang awam untuk tidak sembarangan berbicara agama, sebab akan tenggelam dalam kubangan kekufuran tanpa disadari.
Dikarenakan agama adalah riwayat demikian yang disampaikan para ulama kita maka mengambil ilmu dari para ulama yang mempunyai kredibilitas menjadi jalan yang selayaknya kita tempuh, dari pada harus menafsiri sendiri ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadist yang mempunyai makna berlapis-lapis, yang kadang diarahkan kepada konteks tertentu; tidak bisa memakainya disetiap keadaan karena latar belakang ( asbabun nuzul atau asbabul wurud) turunnya ayat atau hadist tersebut. Disamping juga harus menguasai ilmu tentang bahasa Arab, karena kedua sumber syariat tersebut diturunkan berbahasa Arab.
KH. Sahal Mahfud pernah pula menyampaikan dalam salah satu tulisannya, bahwa bahasa ilmiah tertentu tidak akan sempurna maknanya kalau diterjemahkan ke bahasa lain. Saya contohkan: al-Qur’an dan al-Hadist yang notabennya berbahasa Arab, jika diterjemah ke bahasa Indonesia, maka maknanya tidak akan tersampaikan sepenuhnya. Ini menjadi tamparan bagi kita yang hanya ingin memahami dua sumber syariat tersebut melalui terjemahan saja.
Oleh karenanya, Gus Baha dalam salah satu ceramahnya menyampaikan: betapa pentingnya menyampaikan isi kitab klasik (karya ulama terdahulu) yang penulisnya telah diakui dunia perihal kapasitas keilmuannya. Contohnya karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani: Fath al-Bari yang mengurai Sahih Bukhari, karya Syaikh Wahbah Az-Zuhaili: Tafsir al-Munir, Imam Syafi’i dalam ilmu amaliyah syariat (fiqih).
Kecuali kalau kita mempunyai kualitas yang menyamai mereka. Tetapi pertanyaan besarnya adalah: bisakah kita menyamai atau melampaui keilmuan mereka? bahkan sekelas Imam Jalaluddin As-Suyuthi pun yang menasbihkan dirinya sebagai seorang yang mencapai kapasitas mujtahid, disaat merumuskan sebuah hukum, banyak yang mirip dengan keputusan hukum (istinbath al- ahkam) Imam Syafi’i. Sehingga pada akhirnya dia bermadzab kepada Imam Syafi’i.
Kemudian ada sebuah hadist: “Dari satu ayat (al-Qur’an) memiliki makna dzahir dan bathin.” (H.R. Ibnu Hibban). Imam Jalaluddin as-Suyuthi menyatakan kalau makna bathin dari ayat al-Qur’an bisa mencapai 70.200 makna. Ini menjadi bukti kalau setiap ayat al-Qur’an memiliki kedalaman ilmu yang tidak bisa hanya dipahami lewat terjemahan saja. Banyak perangkat ilmu-ilmu lain yang harus dikuasai sebelum menjadi mufassir.
Bahkan, teman-teman saya pun para santri di pesantren ketika berdiskusi takut untuk memakai dalil al-Qur’an dan al-Hadist jika tanpa mempergunakan pola pikir ulama kredibel dibidang tersebut. Walau senyatanya, tradisi keilmuan kita juga mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi perangkat memahami ayat dan hadist. Tetapi, kami hanya berani mengutip pendapat dari para ulama.
Jangankan memahami satu ayat, memahami ilmu Ushul Fiqih pun yang menjadi salah satu alat tafsir, kami kesulitan.
Maka sudah sepantasnya untuk menyampaikan agama, baik berbentuk lisan atau tulisan dengan bertendensi kepada kitab-kitab klasik karya ulama terdahulu, bukan manafsiri ayat dan hadist tertentu secara langsung. Agar tidak terpeleset apalagi tenggelam dalam lautan kekufuran, sebagaimana yang disampaikan Imam al-Ghazali.
Penulis : Muhammad Rosul
Publisher : Fakhrul