Syaichona.net- Zaman sekarang bukanlah perihal perang fisik, tetapi perang digital. Begitulah pada suatu hari, guru saya berucap. Beliau memaparkan mestinya memanfaatkan kemajuan teknologi yang melonjak.
Guru saya itu yang selaku guru agama, menerangkan batasan-batasan yang harus diaplikasikan dalam penggunaan teknologi. Contohnya bijak memakai handphone untuk berkecimpung memakai aplikasi-aplikasi seperti Youtube atau Tik Tok agar tetap berplakat Islam, atau lebih dari itu: untuk mensyiarkan Islam, atau minimal kalau tidak bisa keduanya maka jangan sampai keluar dari koridor Islam.
Kemudian di hari lain, dosen saya pernah menuliskan di papan tulis kata subhanallah. Beliau waktu itu tengah mengisi kajian kepenulisan. Kebetulan saya terlibat sebagai peserta. Lalu beliau menyuruh kami membacanya, maka serentak – teman-teman yang ikut kajian tersebut – membacanya. Lantas beliau bilang, “Saya menulis ini di papan tulis. Kalian membacanya, saya telah mendakwah kalian berdzikir. Coba bayangkan begitu manfaatnya bukan ketika gagasan-gagasan kalian dibaca orang lain?”
Dari dua petuah di atas, saya bisa tarik kesimpulan: bahwa dakwah untuk mensyiarkan Islam sangat efektif di dunia digital. Sebab ketika menuliskan artikel agama di Media Sosial, maka tulisan itu akan beredar di hadapan layar handphone orang-orang, banyak yang akan mengkonsumsi. Itu sangat relevan guna menyiarkan agama Islam di era digital ini. Sebagaimana firman Allah:
ذلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعائِرَ اللَّهِ فَإِنَّها مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (الحج : 32)
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”
Dari ayat di atas, saya membuka kitab Tafsir Munir, karya kaliber Imam Nawawi al-Jawi al-Bantani, bahwa ayat tersebut berkonotasi memaksimalkan kualitas persembahan hewan sembelihan, seperti unta maka pilihlah yang paling gemuk dan paling mahal harganya. Sebab itulah yang akan disyiarkan nantinya, diviralkan seperti seorang yang berhias diri. Dan berarti menyiratkan maksud: apapun yang dapat memaksimalkan dalam menyiarkan agama Allah maka inilah yang harus dikerjakan.
Tetapi terkadang ada satu masalah menerapkannya, yaitu rasa minder untuk berdakwah di Media Sosial. Ada sebagian kalangan yang juga merasa kurang pantes. Apalagi bagi para pemuda termasuk saya. Juga pula ada stigma “bukan tempatnya.”
Oleh karenanya, saya teringat hadist Nabi Muhammad bahwa Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing. Lalu maklum kalau ada orang asing di suatu negeri, maka akan membatasi daya gerak dan lebih berhati-hati, sebab “bukan tempatnya.” Begitu juga: menjadi minoritas itu sulit melangkah ke depan. Terkadang langkah serentak butuh kuantitas yang serentak juga.
Hadist tersebut oleh Imam Qurthubi diartikan dengan zaman ketika Dajjal datang. Di zaman itu Islam akan asing. Tetapi kalau Islam yang sebenarnya? Yang benar-benar orang Islam sesungguhnya? Maka saat ini meski banyak orang Islam, tetapi sejatinya Islam yang sebenar-benarnya juga kelihatan asing. Terbukti: lebih banyak syiar-syiar berbau busuk yang jauh dari nilai-nilai Islam, beredar dan banyak dipraktikkan, terutama di Media Sosial.
Sementara orang yang berpegang teguh pada agama Islam di akhir zaman (termasuk zaman yang sedang berlangsung ini) seperti orang yang menggenggam bara api: jika dibuang akan padam, jika tetap dipegang akan terasa panas. Lantas, siapa yang akan tahan? Kalau bukan hanya sekelumit orang.
Cara yang solutif, untuk menghilangkan minder dan kurang pantes, saya rasa adalah menyadari kehidupan sebenarnya untuk apa? Yaitu untuk mengabdi kepada Allah dengan beribadah. Sebagaimana firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات : 56)
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku.”
Dapat dipahami dari ayat di atas: agar menghancurkan ketundukkan kepada apapun selain kepada Allah. Bahkan ego sendiri yang memunculkan rasa minder dan kurang pantes. Lalu naik pada tingkatan, agar mengabdikan diri hanya kepada Allah (dalam mekanisme ini, syiar dalam dunia digital diniatkan mengabdikan diri kepada Allah). Setelah itu, ditingkatkan lagi pada: bahwa yang wujud hanyalah Allah, sebenarnya saya dan kalian tidak ada, karena kita diciptakan oleh Allah. Jadi hidup ini, bukan tentang saya dan kalian, tapi tentang keesaan Allah.
Dengan begitu, maka siap bukan untuk mensyiarkan agama Allah di dunia digital saat ini?
Penulis : Muhammad Rosul
Publisher : Fakhrul
Referensi:
Tafsir Munir, Imam Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, Maktabah Syamela
Umdatul Qori’, Imam Badruddin bin Ahmad al-A’ynai, Maktabah Syamela
Solusi Fikih, KH. M. Azizi Chasbulloh, Nous Pustaka Utama