Syaichona.net- Belajar cara berkhidmah ala RKH. Fakhruddin Aschal, Pengasuh Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil (PPSMCH) Bangkalan.
Berkhidmah yang dimaksud di sini, adalah berkhidmah di Pesantren menjadi Khadimul Ma’had atau Pengasuh, dan berkhidmah di Masyarakat menjadi tokoh agama dan panutan.
waktu saya suwan kepada beliau untuk menitipkan adik bungsu saya yang mau mondok di PPSMCH pada hari Rabu 27 Juli 2022.
Saya mengemis barokah sekaligus meminta wejangan kepada beliau di Pendopo PPSMCH tempat beliau menemui tamu-tamunya. Kebetulan waktu itu tamu-tamu sudah pada pulang, tinggal saya berdua dengan beliau.
“Cangkolang ka’dintoh, kiaeh. Abdinah nyu’unah nasihat derih ajunan, kadhih napah cara aladin neng masyarakat, sopajeh bisa sabbher ben kuat ngadhebhin ujien ben laenah epon.”
(Mohon maaf, kyai. Saya mau meminta nasihat dari jenengan, bagaimana caranya berkhidmah di masyarakat, supaya bisa sabar dan tahan uji.) Harap saya kepada beliau dengan merasa kurang pantas, dan tidak sopan.
Pasalnya, ditempat baru saya yang sekarang ini, saya merasa punya tanggung jawab untuk berkhidmah di Masyarakat yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan dan tidak saya inginkan.
Namun semua itu menjadi keharusan bagi saya, dan membuat saya tidak bisa mundur sedikitpun meski kadang membuat saya merasa terpaksa. Sehingga saya berani meminta nasihat seperti di atas.
Beliaupun diam sejenak seperti memikirkan sesuatu. Memang kebiasaan beliau, ketika hendak berbicara kepada orang lain biasanya diam sejenak tidak langsung menjawab.
Sehingga nasihat yang keluar dari lisan beliau berupa kata-kata yang indah, singkat tapi padat arti, menyentuh hati dan mudah dimengerti.
“Engak kuleh nikah, kadih napah mun pas keluar derih ka’dintoh. Pertamanah kauleh aromasah berrek mun harus deddhih ghentenah Kak Fakhri, karnah aghenteh Kak Fakhri lebbi berrek etembheng aghenteh Aba.
Kauleh ampon nolak kalaben bennyak carah ben jhughen adelil, ben ampon amusyawaroh kalaben lanjheng leber sareng keluarga, tapeh kauleh tetep epaksah harus dheddih ghenteh.
Akherah kauleh mekker, manabi dheddih ghentenah pengasuh lakar berrek. Tapeh manabi ghun cuma aladhin, napanah se berrek, jhek keng karo aladhin. Engghi aladin sa mampunah.”
(Seperti saya ini, akan bagaimana kalau saya keluar dari pondok ini. Pertamanya saya merasa berat kalau harus jadi pengganti Kyai Fakhri, karena mengganti beliau lebih berat dari pada mengganti KHS. Abdullah Schal.
Saya sudah menolak dengan banyak cara dan juga berdalil, juga sudah bermusyawarah panjang lebar dengan keluarga, tapi saya tetap dipaksa untuk menjadi pengganti.
Akhirnya saya berpikir, kalau menjadi penggantinya pengasuh memang berat. Tapi kalau hanya menjadi pelayan, apanya yang berat, wong cuman melayani. Ya melayani semampunya.) Jelas beliau, memberi nasihat kepada saya dengan mencontohkan dirinya sendiri.
Karena jika menganggap sebagai pengganti pengasuh atau tokoh masyarakat memang sangat berat untuk menjalaninya. Tapi kalau hanya menjadi khadim, pelayan pesantren atau pelayan masyarakat maka akan terasa enteng.
“Abdinah kadheng ampo lok sabbher ngadhepih ujien, se erassah ceh berre’eh.”
(Saya kadang tidak sabar ketika mengahadapi ujian di masyarakat, yang dirasa sangat berat sekali.) Lanjut saya, mengharap arahan yang lebih dari beliau.
“Engghi manabi teppak lok sabbher, neng ngenneng saos, jhek mah deremmah.”
(Ya kalau sedang tidak sabar, diam saja, jangan ngapa-ngapain) Terang beliau, singkat.
Maksudnya kalau sedang tidak sabar, diam saja, jangan melakukan apapun berupa perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji dan yang merugikan.
Terakhir beliau memberikan ijazah shalawat kepada saya untuk diamalkan. Ijazah shalawat tersebut gunanya agar dipermudah deri segala urusan, termasuk urusan ekonomi dan berkhidmah di masyarakat.
Yakni membaca shalawat dengan redaksi berikut :
صَلِّى اللّٰهُ عَلىٰ مُحَمَّد
Sebanyak sepuluh ribu kali dalam sehari semalam. Bacaannya mudah dan bisa dilakukan dimana saja, tidak harus duduk di atas sajadah.
“Mak sobung lafadl ‘Wasallamah’? Biasanah manabi shalawat kan bedeh lafadl Wasallam, Waalihi ben Washohbini. Anapah mak tadek?”
(Kenapa kok tidak ada lafadl wasallam-nya nya? Biasanya kalau shalawat kan ada lafadl wasallam, waalihi dan washahbihi. Ayo kenapa?) Kata beliau, menjelaskan bacaan shalawat dengan redaksi yang pendek itu. Kemudian ditanyakan kepada saya kenapa bisa sependek itu.
“Ajunan se langkong ngaoningih.” (Jenengan, yang lebih mengetahui.) Jawab saya, singkat.
“Enikah nyamanah ijaz, sanajjhen lok maus wasallam, waalihi ben washohbini ampon cokop, kalaben niat emaus, polanah anikah epapendek untuk depak dek bitongan.”
(Ini namanya ijaz, meskipun tidak membaca wasallam, waalihi dan washahbini sudah cukup, dengan niat dibaca, sebab ini diperpendek untuk mencapai target hitungan.) Demikian jawaban beliau, memberi nasihat sekaligus ijazah untuk saya.
Akhirnya saya berpamitan dengan membawa nasihat-nasihat berharga dan bekal amalan untuk kemudahan. Semoga bermanfaat.
Allahu A’lam
Oleh : Shofiyullah el_Adnany