SEKILAS TENTANG SEJARAH KEPENGASUHAN PONPES SYAICHONA MOH. CHOLIL DARI DULU SAMPAI SEKARANG

oleh -2,562 views

Syaichona.net- Musholla Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil (PPSMCH) terdiri dari tiga ruang, dan peninggalan Syaikhona Muhammad Cholil adalah ruangan yang paling dalam tanpa tiang penyangga seperti yang kita lihat saat ini.

Ruang tengah sampai ke depan itu dibangun oleh al-Maghfurlah KHS. Abdullah Schal, dengan lantai lebih ke bawah. Hal itu sebagai penghormatan beliau kepada Syaikhona Muhammad Cholil.

“Engkok takok cangkolang dek Syaikhona, e pakabebe’en langghereh” (Aku takut su’ul adab kepada Syaikhona, maka direndahkan lantainya) Kata beliau.

Tahun 1925 M. Syaikhona Kholil wafat, kepemimpinan PPSMCH diasuh oleh RKH. Imron bin Syaikhona Muhammad Kholil. RKH. Imron bin Kholil termasuk ulama majdub yang sempurna (tidak mengenal orang dan hanya fokus kepada Allah), mirip seperti al-Marhum KH. Khalilurrahman (Ra Lilur).

Beliau tidak pernah menemui santri, tamu-tamu dan siapapun di Pesantren. Akan tetapi beliau sering ditemui orang di pesisir-pesisir pantai, daerah Bangkalan sampai ke timur daerah Sumenep.

Lantaran itu di pesisir-pesisir pantai itu banyak ditemukan petilasan-petilasan yang pernah dibangun oleh RKH. Imron bin Kholil. Dan bahkan beliau juga wafatnya di daerah pesisir kecamatan Sepuluh Bangkalan.

Dalam keadaan seperti itu, maka Pondok Pesantren ditangani oleh menantu beliau yang bernama KH. Muntasor bin Muhammad yang mempunyai istri Nyai Hj. Nadhifah dan mempunya putra KH. Zubair Muntasor (Pengasuh PP. Nurul Cholil).

Waktu sekitar kurang satu tahun dari wafatnya KH. Imron, beliau berkata kepada salah satu khaddamnya, “Tang dhemar koni’ih.” (Tolong lampu saya diambilkan). Oleh khaddamnya diambilkan lampu minyak teplok. “Benni riah tang dhemar, tang dhemar ghik bedeh e laoeh tasek, ghik bedeh neng Jhebeh.” (Bukan itu lampu saya, lampu saya masih ada di selatannya lautan, masih ada di Surabaya) jawab KH. Imron.

Ternyata yang dimaksud lampu oleh KH. Imron adalah KHS. Abdullah Schal, terbukti setelah itu beliau datang dari Pondok (boyong). Setelah datang dari Pondok, KHS. Abdullah Schal disuruh sowan ke daerah Sepuluh kepada KH. Imron.

Saat itu, kepemimpinan Pondok sudah tidak dipegang KH. Imron lagi, tapi dipasrahi kepada KH. Fatkhur Rozi bin KH. Zahrowi, kakak dari KHS. Abdullah Schal.

Ketika sowan ke daerah Sepuluh, KHS. Abdullah Schal dipanggil oleh KH. Imron, “Makeh andih lomari genteng mun lok eyangghui ghebei apah. Angghui lomarinah, mareh amanfaat, aghunah.” (Meskipun punya lemari bagus, kalau tidak dipakai buat apa. Pakai lemarinya, biar bermanfaat dan berguna) tutur KH. Imron seraya menasihati. Tapi KHS. Abdullah Schal belum mengerti maksud perkataan KH. Imron tadi. Hingga akhirnya ditegaskan kembali oleh KH. Imron, “Mun la bedeh lomarinah, esse’eh. Ghuna’aghih angghui, male amanfaat.” (Kalau sudah ada lemarinya, di isi. Gunakan, dan dipakai biar bermanfaat).

Pulang dari Sepuluh ke Demangan, KHS. Abdullah Schal langsung matur kepada KH. Fatkhur Rozi sebagai kakak, sekaligus Pengasuh Pesantren waktu itu. “Ghi mun sanikah, kak, toreh kuleh pa biniin.” (Ya kalau seperi itu, kak. Ayo saya carikan seorang istri) “Iyeh, be’eh la abinih ayuh.” (Iya, ayo silahkan kamu beristri) Jawab KH. Fatkhur Rozi.

Singkat cerita, akhirnya KHS. Abdullah Schal bertemu dengan Nyai Hj. Sumtin binti Husnawiyah dari kota Jombang. Awalnya KHS. Abdullah Schal tidak diizini oleh KH. Fatkhur Rozi menikah dengan Nyai Sumtin karena Nyai Sumtin orang luar Madura, namun KHS. Abdullah Schal tidak mau kawin kalau bukan dengan Nyai Sumtin.

Kemudian KH. Fatkhur Rozi hendak meminta izin kepada Ibunya, yaitu Nyai Hj. Romlah binti KH. Imron untuk mempersunting Nyai Sumtin sebagai istri untuk KHS. Abdullah Schal. Sebelum sampai kepada Nyai Romlah, KH. Fatkhur Rozi menemukan kejadian aneh. Ternyata Nyai Romlah sudah membuat Labeng Koareh (semacam pintu gerbang) yang bertuliskan “Selamat datang dunia sampai akhirat”.

Akhirnya KH. Fatkhur Rozi kembali lagi menemui KH. Abdullah Schal dan berkata, “Iyeh ayoh epentaah, iyak Enyik la aghebei labeng koareh, la kasokan.” (Iya, ayo saya persunting, rupanya Umi sudah membuat janur kuning melengkung, dan beliau menghendaki).

SEJARAH TERULANG KEMBALI

KH. Fatkhur Rozi memiliki kesamaan dengan al-Marhum RKH. Fakhrillah Aschal didalam sifat-sifatnya. Sangat dermawan, pendidik, pengayom terutama kepada saudara-saudaranya.

KH. Fatkhur Rosi lah, yang menanggung biaya mondok adik-adiknya. Bukan hanya adik-adiknya, tapi juga sepupu-sepupunya ikut tanggung biaya mondoknya. Sama persis seperti halnya RKH. Fakhrillah Aschal.

Oleh karena itu, ketika KH. Fatkhur Rozi wafat, KHS. Abdullah Schal tidak mampu membendung tangisnya, karena merasa sangat kehilangan melebihi kehilangan kedua orang tuanya.

Dulu, pasca wafatnya KH. Fatkhur Rozi, kepengasuhan PPSMCH dialihkan kepada KHS. Abdullah Schal.

Saat KHS. Abdullah Schal menjadi Pengasuh, beliau didampingi kedua adiknya yang sama-sama hebatnya. Yakni 1. KH. Khalil AG yang posisinya ada di pemerintahan sebagai anggota dewan. 2. KH. Khalilurrahman (Ra Lilur) yang terkenal sebagai waliyullah majdub, yang akan membentengi Pesantren.

Saat ini, selepas wafatnya RKH. Fakhrillah Aschal, kepengasuhan PPSMCH dialihkan kepada RKH. Muhammad Fakhruddin Aschal.

Sebagaimana dulu KHS. Abdullah Schal, RKH. Muhammad Fakhruddin Aschal juga didampingi kedua adiknya yang sama-sama hebatnya. Yakni 1. RKH. Muhammad Nasih Aschal yang berposisi sebagai anggota dewan. 2. RKH. Muhammad Karror Aschal yang terkenal pemberani dan wibawa, dan yang akan membentengi pesantren.

Pada akhirnya semoga Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil (PPSMCH) tambah maju dibawah pimpinan RKH. Fakhruddin Aschal. Amin.

#Ditulis dari intisari ceramahnya RKH. Muhammah Karror Abdillah Salilul Khalil, pada acara pengajian rutinan Asschol, hari Rabu 1 Dzul Qa’dah 1443 H. di Musholla PPSMCH.

Penulis : Shofiyullah El-Adnany

Publisher : Fakhrul

banner 700x350

No More Posts Available.

No more pages to load.