Syaichona.net- Madura, suku perantau yang cukup masyhur di Negeri ini. meski hanyalah sebuah suku yang tinggal di sebuah suku yang tinggal di sebuah pulau kecil yang tandus di Jawa Timur, tapi orang-orang Madura bisa memberi warna tersendiri di Negeri ini, bahkan juga di beberapa Negeri tetangga.
Gaya hidup mereka yang unik, lugu, pemberani, teguh memegang tradisi, dan suka menikmati perantauan, membuat suku Madura tak jarang menjadi buah bibir di Negeri ini.
Pemuda-pemuda Madura sudah bisa hidup di Negeri orang. Tradisi suku perantaumembuat mereka terbiasa hidup jauh dengan orang tua dan sanak famili.
Umumnya mereka merantau ke Surabaya, Jakarta, Kalimantan dan daerah-daerah lain beberapa waktu setelah melepaslajang.
Kenapa demikian? Setelah menikah, seorang anak sudah seharusnya mandiri, terlepas dan tak membebani orang tua. Jika di kampung halaman sulit mendapatb pekerjaan yang layak, pemuda-pemuda Madura biasanya memilih merantau ke kota.
Mereka bekerja serabutan, apa saja yang penting bisa mengais rezeki. Untuk tahap awal, biasanya jadi tukang becak atau kuli, mereka tinggal di rumah kontrakan di sela-sela gang, gudang atau di pinggir-pinggir rumah orang Cina tapi setelah beberapa waktu diperantau itu, tidak sedikit orang Madura yang meraih sukses menjadi orang kaya di Negeri orang.
KHS. Abdullah muda, tidak sampai merantau, beliau tidak boleh meninggalkan Demangan. Beliau sedang mengemban amanat untuk menghidupkan kembali Pesantren Demangan yang sudah sekian lama vakum setelah di tinggal Syaichona Moh. Cholil.
Namun meski tak merantau di masa-masa awal pernikahannya dengan Nyai. Hj. Sumtin nasib KHS. Abdullah tidak kalah pahit dari pemuda Madura di Perantauan. Kira-kira tiga pekan setelah menikah, masih di masa-masa bulan madu yang indah, mereka berdua dipanggil Nyai. Romlah. Sang Ibu yang sudah sekian lama menanggung biaya hidup KHS. Abdullah Schal dan adik-adiknya itu, menyerahkan beberapa peralatan dapur. Ada piring, sendok, gelas, cobek dan lain-lain.
Entahlah, boleh jadi senyum getir tersungging. Mereka mengerti maksud dari sang ibu, bahwa beliau (Ibu) menginginkan mereka memiliki dapur sendiri, tidaknumpang hidup kepada Nyai. Romlah. Layaknya banyi untuk bisa berhenti menyusu memang harus disapih dengan paksa.
Mungkin saja, perasaan pasangan pengantin baru itu mulai tidak karuan, membayangkan kesengsaraan yang bukan-bukan. Maklum KHS. Abdullah Schal sebagai kepala keluarga saat itu belum mempunyai penghasilan tetap apapun untuk menghidupi keluarganya. Tapi itu kenyataan hidup. Membangun sesuatu mesti bermula dari sengsara.
Untungnya, KHS. Abdullah Schal dan Nyai. Hj. Sumtin sama-sama jebolan Pesantren. Anak-anak santri sudah terbiasa hidup sengsara dan mandiri dari orang tua.
Di Pesantren mereka di didik untuk mengurus kebutuhan hidupnya sendiri. Memasak cuci pakaian dan lain sebagainya. Hal ini, diakui sebagai pola penempaan yang sangat besar manfaatnya dalam menyiapkan kepribadian santri agar memiliki jiwa kepemimpinan karismatik yang tangguh dalam membimbing masyarakat didaerah mereka masing-masing.
Manfaat itu juga dirasakan oleh KHS. Abdullah Schal dan Nya. Hj. Sumtin. Pisah dapur dari sang ibu adalah hal biasa, merupakan kelanjutan dari apa yang telah biasa mereka jalani di Pesantren. Hanya saja, kali ini sedikit lebih berat, karena tidak hanya menanggung beban hidup diri sendiri, tapi juga beban hidup keluarga disamping tanggung jawab mereka untuk mendidik santri dan membimbing masyarakat.
Dari kegetiran itulah KHS. Abdullah Schal memulai. Dari tangtangan hidup dilingkup rumah tangga, hingga tangtangan kiprah dilingkup yang lebih luas yaitu ditengah-tengah masyarakat Madura, khususnya di Bangkalan.
Referensi : Buku Serial Biografi KHS. Abdullah Schal. Buku ketiga
Di tulis oleh KH. M. Toyyib Fawwas
Konseptor : Almaghfurlah RKH. Fakhrillah Aschal
Publisher : Fakhrul