MENGENANG 100 TAHUN HAUL SYAICHONA CHOLIL || MENGEJA ARAH MENITI LANGKAH

oleh -2,691 views

Oleh: Ahrori Dhofir*

Hari ini (jumat Malam sabtu) genap haul ke 100 dari Syaichona Cholil bin Abdullatif Bangkalan. Seorang ulama yang menjadi maha guru dari ulama Nusantara, yang berarti juga menunjukan usia Jamiyah Nahdlatul Ulama akan menuju satu abad (versi Hijriyah). Bagi kita, orang Madura, adalah hal yang cukup bangga punya Ulama sekaliber Syaichona Cholil, seorang panutan yang menjadi rujukan para ulama dizamannya.
Tentu kebanggaan itu harus dibarengi dengan tindak langkah kita. Agar kebanggaan itu tidak semu, apalagi bikin kita lusu. Ya, Syaichona Cholil bukan hanya milik masyarakat Madura, tapi beliau hadir untuk peradaban dunia. Mengisi ruang kosong, untuk kemudian diejwantahkan dalam berbagai misi kehidupan sekarang dan yang akan datang.

Dulu, ketika saya berada di luar Madura; baik sedang berada pada posisi mendok sangat kerren ketika mengalahkan teman teman dalam menceritakan ulama kebanggaan. Teman teman diluar tertegun bahkan tidak ada jawaban ketika saya menceritakan Syaichona Cholil yang notabene guru dari para ulama di negeri ini. Lagi lagi kebanggan itu harus dibarengi dengan getaran hati dalam meneledani Syaichona Cholil agar tidak berhenti pada getaran bibir, namun masuk pada lubuk hati.

Mengenang haul 100 tahun Syaichona Cholil ini bukan hanya dilakukan oleh keluarga, santri dan simpatisan yang berdomisili di Bangkalan saja. Di PWNU Jawa Timur juga mengadakan acara yang sama, bahkan se Indonesia. Ini menunjukan bahwa Syaichona Cholil milik Bangsa Indonesia bahkan milik dunia peradaban Islam.

Tentu banyak hal yang harus kita ambil dan kita lestarikan dari sosok panutan; meniru dan merawat apa yang telah di lampakan. Sosok Syaichona Cholil adalah pembukan kran dalam perkembangan khazanah keislaman pada abad dimana beliau berada. Berdirinya Jamiyah Nahdlatul Ulama adalah manifestasi seorang santri yang bernama hadratusyekh Kiai Hsyim Asyary dalam melanjutkan tongkat dakwah dari Syaichona Cholil. Sebuah organisasi ulama yang menjadi jalan tengah untuk mendamaikan perjalanan masyarakat dalam beragama dan bersosial. Tentu ini adalah anugrah yang sangat luar biasa yang harus kita syukuri.

Merawat dan menjaga pondasi yang diamanatkan Syaichona Cholil adalah niscaya. Tiang tiang itu akan kokoh jika pada gilirannya saling menguatkan. Merawat itu jauh lebih sulit dari pada membikin hal hal baru. Tentu dengan semangat dan kegigihan berkhidmah dalam segala hal yang berbentuk perjuangan.

Mengenang Syaichona Cholil adalah membaca diri kita sendiri. Boleh jadi wafatnya Syaichona Cholil sudah berada pada peringatan haul ke 100 tahun, akan tetapi nilai-nilai perjuangan masih sangat segar pada benak dan pikiran. Ini tidak lepas dari keihklasan dan semangat juang dari syaichona Cholil ketika memberi pencerahan kepada masyarakat dalam beragama dan bersosial. Banyak hal hal yang tidak terlintas dalam memori akal, akan tetapi terlintas pada kejernihan hati. Sekali lagi, ini adalah anugrah.
Kita sering menyaksikan hilir mudik para peziarah bermunajat di dekat Makam Syaichona Cholil. Tentu sangat bervariasi hajatnya. Mulai dari bertawassul agar ibadahnya diterima oleh Allah sampai dalam masalah pribadinya sekalipun juga di ‘curhat’kan kepada Syaochona Cholil. Pemandangan lumrah dan sangat menggetarkan hati. Harapan aliran barokah terus menggema didekat makamNya menjadi petanda betapa kita sangat membutuhkan percikan doa dan barokahnya dalam segala aspek kehidupan.

Pada momentum haul Syaichona Cholil yang ke 100 tahun ini, banyak PR yang selalu terabaikan oleh kita semua sebagai santri. Kita hampir lupa dengan nilai nilai spiritual dan adab kepada para sepuh dan para guru. Kita hanya melihat bahwa Syaichona Cholil adalah ulama besar dengan kapasitas kewalian yang diakui, tanpa memandang bahwa beliau adalah sosok yang menanamkan sikap andhep asor kepada guru yang sering kita lupakan, bahkan kita abaikan. Sangat urgen, jika sesekali kita termenung dan menggerakkan hati untuk selalu berfikir dalam segala keadaan. Agar penghormatan kita kepada guru dan para sepuh semakin terpenuhi lebih lebih kepada dzurriyah Syaichona Cholil.

Menanam akhlaq dalam kehidupan tidak perlu gengsi. Itu adalah ‘tawakkal’ hidup yang perlu dijalani. Ingat! Bagaimana seorang Syaichona Cholil rela melepaskan klompen nya dari jarak tujuh kilo meter agar gurunya yang istirahat tidak merasa terganggu dengan bunyi klompen yang dipakai. Juga cerita Ibn Abbas dan zaid bin Tsabit. Konon, Abdullah Bin Abbas melihat Zaid bin Tsabit direpotkan dengan hewan yang sedang dikendarai, dengan tanpa ragu Abdullah bin Abbas langsung memegang tali hewan tunggangan Zaid bin Tsabit, seraya Abdullah berkata “Beginilah Rasulullah memerintahkan kami untuk menghormati para ulama”. Lalu zaid bin Tsabit meminta Abdullah bin Abbas untuk memperlihatkan tangannya dan menciumnya, seraya berkata “Beginilah caranya kami diperintah Rasulullah untuk menghormati keluarga nabi kami”. Dua cerita diatas adalah gambaran, betapa etika diatas segalanya yang selalu kita pegang. Jangan karena kita berbekal ilmu pengetahuan lalu seorang guru tidak dihiraukan. Jangan karena kita punya harta yang banyak, lalu seorang guru semaunya diatur. Jangan karena kita terlalu dekat dengan seorang guru, akhirnya kehilangan kontrol dan terjatuh ke lubang su’ul adab.

Sangat ironi, ketika kita mengagumi sosok Syaichona Cholil namun pada sisi yang lain enggan menaruh hormat dan takdzim kepada seluruh dzurriyahnya. Penyakit kita adalah, ketika merasa dekat dengan seorang guru, lebih lebih kepada dzurriyah Syaichona Cholil, seakan sudah merasa hebat dan duduk sejajar dengan para dzurriyah. Itu adalah tindakan yang kurang etis dan kurang beretika. Silahkan kita mendekati para guru, tapi jangan pernah memilah dalam tingkatan ber etika. Semuanya harus berada pada satu kata: Semua guru dan Dzurriyah harus dihormati.

Adalah sangat lucu, ketika kita merasa menjadi orang besar akan tetapi melupakan sosok yang dulunya memberi peluang untuk menjadi besar. Syaichona Cholil tidak pernah berharap apa apa dari kita. Sama sekali tidak. Namum ketika merawat dan menjaga apa yang telah beliau perjuangkan, paling tidak kita menyampaiakn rasa terima kasih atas segala hal yang telah diperjuangkan sehingga Indonesia menjadi baldatul Thayyibatun warabbun ghafur.

Terakhir, semoga di haul 100 tahun Syaichona Cholil ini, menjadi kesempatan bagi kita untuk terus bisa mengais barokahnya, dengan tidak melupakan etika kita kepada Syaichona Cholil dan para dzurriyahnya. Semoga kita semua mendapatkan kesempatan untuk bisa disapa atau bahkan sangat bersyukur jika Syaichona Cholil berkenan menggandeng tangan kita, saat ter engah engah dengan jilatan api neraka. Lahul Fatihah..

*adalah Wakil Sekretarsi PCNU Bangkalan, SEKJEN Forum Bhindhereh Nusantara (FORBHINU)

banner 700x350

No More Posts Available.

No more pages to load.