Syaichona.net- Nafkah wajib dicari, ilmu juga wajib dicari. Jangan sampai karena sibuk mencari nafkah ilmu ditinggalkan. Sebaliknya, jangan karena sibuk mencari ilmu, lalu malas untuk mencari nafkah. Keduanya harus berimbang, karena sama-sama wajib.
Sebagian orang-orang arif mengatakan,
ترك الكسب على ثلاثة أوجه إما كسلا وإما تقوى وإما خوفا من العار وحمية فمن تركه كسلا فلابد من السؤال ومن تركه تقوى فلابد له من الطمع فيما بأيدى الناس والأكل بدينه وذلك حرام ومن تركه خوفا من العار وحمية فلابد له من السرقة
“Orang meninggalkan usaha (tidak mencari nafkah) karena tiga alasan; adakalanya karena malas, karena takwa dan karena takut terhina.
Barang siapa meninggalkan usaha karena malas, maka pasti dia akan meminta-minta. Barang siapa meninggalkan usaha karena takwa, dia akan berharap apa yang dimiliki orang lain, dan dia akan makan dengan agamanya, sedangkan itu hukumnya haram. Barang siapa meninggalkan usaha karena takut merasa hina, maka dia akan mencuri.”
Sebagian ulama juga memaparkan,
من اكتسب ليصون وجهه عن المسئلة جاء يوم القيامة ووجهه كالقمر وسلم من منن الرجال التى هي أثقل من الجبال
“Barang siapa bekerja mencari nafkah agar terbebas dari meminta-minta, kelak di hari kiamat wajahnya seperti rembulan. Dan akan selamat dari ungkitan-ungkitan seseorang yang sangat berat menyamai gunung.”
Sebagian ulama yang lain menyatakan,
طلب الكسب لازم كطلب العلم وهو أربعة أنواع فرض هو كسب أقل الكفاية لنفسه وعياله ودينه ومستحب وهو كسب الزائد على ذلك ليواسى به فقيرا أو يصل به رحيما وهو أفضل من نفل العبادة ومباح وهو كسب الزائد على ذلك للتنعم والتحمل وحرام وهو كسب ما أمكن للتفاخر
“Berusaha mencari nafkah hukumnya wajib, sebagaimana wajibnya mencari ilmu. Dan mencari nafkah itu hukumnya ada empat macam;
1. Wajib. Yaitu usaha untuk sekedar memenuhi kebutuhan dirinya, keluarganya dan agamanya.
2. Sunnah. Yaitu usaha lebih untuk membantu fakir miskin dan menyambung tali sanak saudara. Usaha yang seperti ini lebih utama daripada ibadah sunnah.
3. Mubah (boleh). Usaha lebih untuk berenak-enakan dan berhias.
4. Haram. Yaitu usaha yang dapat menyebabkan kesombongan.”
Oleh : Shofiyullah el_Adnany
Referensi : Qami’ut Thughyan ala Madzumati Syu’bil Iman | Syaikh Nawawi bin Umar al-Jawi al-Banteni | Hal 13.