Terkait dengan pentingnya menulis, seorang ulama mengatakan,
ما كتب قر وما حفظ فر
“Ilmu yang ditulis akan abadi, sedangkan yang dihafal akan hilang.”
Sampai detik ini, kita masih bisa menikmati ilmunya ulama-ulama terdahulu, tersebab kebaikan mereka untuk menuangkan ilmunya lewat karya-karya tulis yang monomental.
Tak bisa dibayangkan bagaimana jadinya jikalau para ulama kita enggan meluangkan waktunya untuk menulis, mungkin ilmu-ilmu penting itu akan terputus hanya di otak mereka. Sedangkan kita tidak diwarisi apa-apa, dan akan hidup dalam kebodohan.
Itu pula mungkin yang menjadi kekhawatiran Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, sehingga mendesak Khalifah Sayiduna Abu Bakar as-Shiddiq untuk membukukan al-Quran, meski hal demikian tidak pernah dilakukan Rasulullah sebelumnya.
Sebab seandainya al-Quran tidak ditulis kala itu, maka sangat mungkin al-Quran akan musnah, atau bisa jadi tak akan sampai pada umat manusia selanjutnya setelah para penghafal itu sudah tutup usia.
Karena Allah tidak mengangkat ilmu secara sekaligus, tapi Allah menghilangkan ilmu dari dunia ini dengan wafatnya para ulama dan para penghafal.
Menyadari fenomena itu, maka para ulama banyak yang menulis kitab-kitab, sehingga ilmunya Allah tetap abadi di muka bumi ini. Di samping itu, pahalanya berlipat ganda. Bahkan seandainya ditimbang, maka menulis lebih utama daripada berperang fisabilillah.
وقال الحسن البصرى رحمه الله تعالى : يوزن مداد العلماء بدم الشهداء، فيرجح مداد العلماء على مداد الشهداء
Imam Hasan al-Bashri mengatakan, “Tinta para ulama ditimbang dengan darah para syuhada, maka tinta ulama mengungguli darahnya syuhada.”
Masalah selanjutnya, kendati ilmu-ilmu keislaman khususnya, dan ilmu-ilmu yang lain pada umumnya sudah ditulis di lembaran-lembaran kitab yang berjilid-jilid, namun tidak semua orang utamanya generasi millenial sekarang ini bisa menikmati sajian berharga itu.
Disebabkan kesibukan yang habiskan waktu, sehingga tak berkesempatan untuk sekedar membaca apalagi mengkajinya, belum lagi sulitnya untuk bisa memahami muatan isi dari kitab-kitab itu. Karena umumnya kitab-kitab klasik (kitab kuning) ditulis dengan memakai bahasa Arab, dimana untuk memahaminya sangat butuh menguasai ilmu gramatikal terlebih dahulu.
Kita tahu, generasi saat ini lebih gemar membuka gadget tinimbang membuka kitab-kitab.
Maka tidak ada jalan lain agar ilmu keislaman yang tersembunyi dalam kitab-kitab klasik itu sampai kepada generasi kita saat ini, kecuali menuliskannya kembali dengan menggunakan bahasa mereka yang mudah mereka pahami, tentunya dengan sajian yang semenarik mungkin.
وقد نص العلماء على أن كتابة العلم فرض كفاية
“Ulama menetapkan, bahwa menulis ilmu hukumnya fardhu kifayah (kewajiban secara kolektif)”
Lalu tulisan itu sunnah untuk dibagikan, dipinjamkan bahkan diperjual belikan, karena upaya-upaya tersebut berarti sebuah tindakan menjaga ilmu dan kebaikan.
Beberapa catatan penting yang sangat perlu diperhatikan oleh para penulis ilmu keislaman, agar lebih beradab. Yakni ketika menulis nama-nama tertentu supaya menyertai sifat keagungannya. Ketika menulis lafadh Allah misalnya, maka ditulis pula setelahnya kalimat Subhanahu wa Ta’ala.
وليعظم اسم الله تعالى إذا كتبه، بأن يكتب عقبه (تعالى) أو (تقدس) أو (عز وجل) أو نحو ذلك، وكذا اسم رسوله، بأن يكتب عقبه (ﷺ) فقد جرت به عادة الخلف كالسلف. ولا تختصر كتابها بنحو (صلعم) فإنه علامة المحرومين. ويترضى عن الأكابر كالمجتهدين، ويترحم عمن دونهم
Hendaknya mengagungkan Nama Allah Ta’ala ketika menulisnya, dengan menulis Ta’ala atau Qaddasa atau ‘Azza wa Jalla atau semacamnya. Demikian juga nama Rasulullah, dengan menulis Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelahnya, sebagaimana kebiasaan ulama khalaf dan salaf. Dan penulisannya jangan disingkat, seperti Shal’am (صلعم)/SAW, karena itu mendekati keharaman. Kemudian menulis Radhiyallahu ‘Anhu setelah nama para sahabat dan para mujtahid. Dan menulis Rahimahullah bagi nama-nama selain sahabat dan mujtahid.
Untuk itu, jadikan menulis sebagai wiridan harian yang dilakukan secara istikamah. Jangan kalah dengan mereka yang istikamah menebar kemaksiatan dengan goyang tik-toknya, juga jangan sampai kalah dengan para pedagang online yang setiap hari rutin mempromosikan dagangannya, meski tidak ada yang membeli.
Semestinya meski tidak ada yang menghargai tulisan kita dengan like, berkomentar dan bagikan tulisan kita di sosial media, tetaplah kita menulis. Bahkan meskipun tidak ada yang membaca tulisan kita, teruslah kita menulis. Karena pahala menulis bukan ditentukan dari pembacanya, tapi lebih dari niatnya untuk menebar kebaikan.
Oleh : Shofiyullah el_Adnany
Referensi 1 : Mukhatashar Fawaidul Makkiyah Fi Ma Yahtajuhu Thalabatus Syafi’iyah | Syaikh Alawi bin Ahmad as-Segaf | Hal 31.
Referensi 2 : ad-Da’watul Tammah wa Tadzkiratul ‘Ammah | al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad | Hal 83.