Syaichona.net- Mayoritas ulama salam fikih syafi’i berpendapat bahwa siwak disunnahkan di segala keadaan dan waktu, tanpa ada kemakruhan apalagi haram kecuali bagi orang berpuasa baik fardhu atau sunnah setelah waktu Zawal (tergelincirnya matahari) dan akan hilang kemakruhan tersebut setelah terbenamnya matahari. Salah satunya bisa kita jumpai dalam kitab Fathu al-Qarib al-Mujib fi Syarhi alfadzi al-Taqrib, Daru al-Kutub al-Ilmiyah hal, 10-11 karya Syaikh Abu Abdullah Syamsuddin Muhammad bin Qasim bin Muhammad al-Ghaziy (w. 918 h) atau yang dikenal dengan sebutan Ibnu Qasim dan Ibnu al-Gharabiliy. Berikut redaksinya:
والسواك مستحب في كل حال ولا يكره تنزيها إلا بعد الزوال للصائم فرضا أو نفلا؛ وتزول الكراهة بغروب الشمس، واختار النووي عدم الكراهة مطلقا
“Siwak (bersiwak) disunnahkan disetiap keadaan dan tidak dimakruhkan tanzih kecuali setelah tergelincirnya matahari bagi orang yang berpuasa baik puasa fardhu atau puasa sunnah dan hukum makruh itu hilang (tidak berlaku) dengan sebab terbenamnya matahari. Namun Imam an-Nawawi memilih bahwa tidak ada kemakruhan (bersiwak) secara mutlak”.
Nah, berangkat dari penetapan al-Imam an-Nawawi ini. Banyak kalangan akademisi yang menanyakan keabsahan argumentasi beliau.
Sebelum melangkah lebih jauh membahas analisisanal-Imam an-Nawawi beserta argumentasinya, alangkah baiknya bila kita mengkaji dulu dalil atau sumber asal yang dibuat acuan mayoritas ulama dalam menetapkan hukum makruh bersiwak setelah waktu Zawal (tergelincirnya matahari).
Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzaabadis asy-Syairaziy (w. 476 h) mengatakan dalam kitab al-Muhadzdzab, Daru al-Kutub al-Ilmiyah, juz 1 hal 1 mengatakan:
ولا يكره إلا في حالة واحدة وهو للصائم بعد الزوال لما روى أبو هريرة { أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك } ” والسواك يقطع ذلك فوجب أن يكره ، ولأنه أثر عبادة مشهود له بالطيب فكره إزالته كدم الشهداء.
“Tidak ada kemakruahan bersiwak kecuali bagi orang yang berpuasa setelah waktu Zawal (tergelincirnya matahari) berdasarkan hadits Abu Hurairah: Bahwa Nabi ﷺ bersabda:
لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِن رِيحِ المِسْكِ
“Sungguh bau aroma mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah ﷻ dari pada aroma parfum Kasturi”. Karena siwak bisa menghilangkan aroma itu, maka seharusnya memakruhkan bersiwak. Lagi pula aroma itu adalah efek ibadah yang telah diberi penyaksian baik (dalam hadits) tetangnya, maka makruh jika dihilangkan sebagiamana darah orang mati syahid.
Menurut al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 h) dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 2 hal 214-215 mengatakan: Penggalan hadist itu diriwatkan Imam Bukhariy dan Imam al-Muslim.
Adapun hukum yang muncul dari hadits di atas adalah:
فلا يكره السواك في حال من الأحوال لأحد إلا للصائم بعد الزوال فإنه يكره . نص عليه الشافعي في الأم وفي كتاب الصيام من مختصر المزني وغيرهما ، وأطبق عليه أصحابنا ، وحكى أبو عيسى في جامعه في كتاب الصيام عن الشافعي – رحمه الله – أنه لم ير بالسواك للصائم بأسا أول النهار وآخره ، وهذا النقل غريب وإن كان قويا من حيث الدليل ، وبه قال المزني وأكثر العلماء وهو المختار . والمشهور الكراهة وسواء فيه صوم الفرض والنفل وتبقي الكراهة حتى تغرب الشمس ، وقال الشيخ أبو حامد : حتى يفطر . قال أصحابنا : وإنما فرقنا بين ما قبل الزوال وبعده لأن بعد الزوال يظهر كون الخلوف من خلو المعدة بسبب الصوم لا من الطعام الشاغل للمعدة بخلاف ما قبل الزوال والله أعلم .
“Tidak ada ke makruhan bagi seorang bersiwak di setiap keadaan kecuali bagi orang berpuasa setelah waktu Zawal (setelah tergelincirnya matahari)”. Hal ini sebagaimana yang telah ditetapkan al-Imam asy-Syafi’i ra dalam kitab al-Umm, dalam kitab Mukhtashor al-Muzzani dan lainnya. Ashabina (ulama penganut madzhab asy-Syafi’i) telah menerapkan hukum tersebut. Namun diceritakan, bahwa dalam kitab Jami’nya dalam masalah bagi orang yang berpuasa mengutip dari al-Imam asy-Syafi’i ra, bahwa bersiwak bagi orang puasa diperbolehkan baik di permulaan siang atau diakhirnya. Kutipan pendapat ini dianggap Gharib (nyelenih) sekalipun kuat secara tinjauan dalilnya. Dan dengan pendapat ini al-Muzanni serta banyak ulama lainnya mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat al-Mukhtar (terpilih) [¹]. Adapun mendapat yang al-Mashur (terkenal) [²] adalah makruh (bersiwak setelah waktu Zawal) baik dalam puasa fardhu ataupun sunnah hingga terbenamnya matahari. Abu Hamid mengatakan, bahwa kemakruhannya hingga berbuka puasa.
Ashabina (ulama penganut madzhab asy-Syafi’i) mengatakan: Pemilahan kita (pengatut madzhab asy-Syafi’i) tentang hukum antara sebelum waktu Zawal (setelah tergelincirnya matahari dan setelahnya karena jika setelah waktu Zawal bau aroma mulut orang yang berpuasa timbul dari kosongnya lambung disebabkan puasa bukan dari proses pencernaan makanan yang ada di lambung sebalik jika sebelum waktu Zawal.
Sementara menurut Syaikh Abdullah bin Hijaziy bin Ibrahim asy-Syarqawiy (w. 1226 h) dalam Hasyiyah asy-Syarqawiy ala Tuhwatu ath-Thullab, Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1 hal 33 mengatakan:
دليل الكراهة خبر الصحيحين: «الخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك)، والخلوف بضم الخاء تغير رائحة الفم، والمراد الخلوف بعد الزوال لخبر: «أعطيت أمتى فى شهر رمضان خمسا)، ثم قال: «وأما الثانية فإنهم يمسون، وخلوف أفواههم أطيب عند الله من ريح المسك، والمساء بعد الزوال فخصصنا عموم الأول الدال على الطيب مطلقا بمفهوم هذا.
Dalil kemakruhan siwak setalah waktu Zawal (setelah tergelincirnya matahari) adalah hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim yaitu:
لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِن رِيحِ المِسْكِ
“Sungguh bau aroma mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah ﷻ dari pada aroma parfum Kasturi”.
Sedangkan kata: “لَخُلُوفُ” dengan dibaca Dhommah huruf Kha’nya memiliki arti: “Berubahnya bau mulut”. Dan yang dikehendaki dalam hadits tersebut adalah الخلوف بعد الزوال (berubahnya bau mulut setelah Zawal) berdasarkan hadits:
أُعْطِيَتْ أُمَّتِيْ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ نَبِيٌّ قَبْلِيْ
“Di bulan Ramadhan umatku diberikan lima (keistimewaan) yang tidak pernah diberikan pada Nabi sebelumku:”
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:
وَأَمَّا الثَّانِيَةُ: فَإِنَّهُمْ يُمْسُوْنَ، وخُلُوْفُ أَفْوَاهِهِمْ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ.
“Adapun (keistimewaan) yang kedua: Mereka berada pada saat setelah tergelincir matahari, sedangkan bau mulut mereka di sisi Allah ﷻ lebih harum dari bau misik”.
Arti dari “يُمْسُوْنَ” adalah waktu setelah Zawal. Maka kita (ulama Syafi’yah) mentakhsis keumuman hadits pertama yang menujukan pada arti الطيب (harum) secara mutlak dengan Mahfhum (pemahaman) hadits ini.
Syaikh Syihafuddin Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qulyubiy (w. 1069 h) dalam kitab Hasyiyatani ala Kanzi ar-Raghibin, Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1 hal 75 mengatakan:
قوله: (والمراد الخ) أي أن التقييد بالمساء في الرواية الأتية مبين للإطلاق في الرواية الاولى، فتحمل عليها، فهو من المطلق والمقيد لا من الخاص والعام كما ادعاه بعضهم، إذ ليس فيه ما يدل على العموم، وبذلك علم تقييد أحاديث الصلاة والوضوء ونحوهما به أيضا فتأمل
Sesungguhnya memberi batasan dengan kata: “يُمْسُوْنَ” atau “waktu setelah tergelincir matahari” dalam riwayat hadits yang mendatang (hadits kedua) sebagai Mubayyan (penjelasan) untuk kemutlakan dalam riwayat hadits yang pertama. Lalu maksud dari hadits yang pertama diarahkan hadits yang kedua. Masalah ini tergolong pembahasan al-Muthlaq (lafadz yang mutlak) dan al-Muqayyad (lafadz yang dibatasi) bukan pembahasan lafadz al-Khash (lafadz yang khusus) dan lafadz al-Am (lafadz yang umum) sebagaimana yang diklaim sebagian ulama karena di dalamnya tidak ada sesuatu yang menunjukkan pada keumuman. Dengan begitu dapat diketahui bahwa hadits-hadits sholat, wudhu dan sesamanya juga dibatasi dengannya.
Sementara Syihafuddin Ahmad al-Barullusiy (w. 957 h) yang dijuluki dengan sebutan ‘Umairah, Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1 hal 75 -78 menambahkan:
(والمراد الخلوف الخ) لك أن تستشكل في هذا بأنه من باب ذكر فرد من أفراد العام بحكمه، وهو لايخصص إلا أن يقال التخصيص واقع بالمفهوم، نظيره ما قيل في الحديث “من مس ذكره فليتوضأ” مع حديث الإفضاء، ثم تأمل هذا الحديث مع أحاديث طلب السواك للصلاة والوضوء ونحو ذلك تجدهما متعارضين، فما المرجح لحديث الخلوف؟
Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuriy asy-Syafi’iy (w. 1276 h) dalam Hasyiyah al-Bajuriy, Daru al-Kutub juz 1, hal 78-79 juga mengatakan:
وإنما كره السواك للصائم لاطيبية خلوفه بضم الخاء أي ريح فمه كما في خبر لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك أي أكثر ثوابا عند الله من ريح المسك المطلوب في نحو الجمعة أو أنه عند الملائكة أطيب من ريح المسك عندكم وأطيبيته تفيد طلب ابقائه.
Dimakruhkanya siwak bagi orang berpuasa karena harumnya bau mulutnya sebagaimana hadits:
لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِن رِيحِ المِسْكِ
“Sungguh bau aroma mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah ﷻ dari pada aroma parfum Kasturi”. Artinya pahalanya lebih banyak di sisi Allah ﷻ dari aroma parfum Kasturi yang diperintahkan memakainya semisal dalam sholat Jum’at atau di sisi para malaikat lebih harum dari parfum Kasturi di sisi kalian dan aroma (bau mulutnya) lebih harum (dari aroma parfum Kasturi) membarikan pemahaman pada perintah agar dipertahankan.
Lantas bagaimana analis dan argumentasi al-Imam an-Nawawi yang berpedapat bahwa bersiwak tidak kemakruhan secara mutlak baik sebelum dan setah waktu Zawal.
Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuriy dalam kitab yang sama menjalaskan
(قوله واختار النووي) أي من جهة الدليل لأنه لم يصرح فيه بالكراهة وإنما هو بطريق الفحوى لا من جهة المذهب
Pemilihan al-Imam an-Nawawiy pada satu pendapat bahwa bersiwak tidak kemakruhan secara mutlak baik sebelum dan setah waktu Zawal dari segi dalil karena dalil—kemakruhan bersiwak setelah waktu Zawal—yang digunakan secara eksplisit (nyata) tidak menjelaskan makruh tapi dengan menggunakan metodelogi Usul Fikih berupa al-Fahwa atau yang dikenal dengan Mafhum al-Awlawiy [³] bukan dari segi madzhab [⁴](sesuatu telah menjadi ketetapan hukum dalam madzhab asy-Syafi’i).
Abi al-Ma’liy Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al-Juwainiy (w. 478 h) atau yang dikenal dengan sebutan al-Imam al-Haramain mengatakan dalam kitabnya Nihaytu al-Mathlab fi Dirayati al-Madzhab fi Far’i al-Madzhab asy-Syafi’i mengatakan:
:اختيارات الإمام النووي
سبق وأن قلنا بأن النووي يعتبر مجتهدا في الفتوى أي يصحح ما هو المذهب وهو في تصحيحه لا يذكر رأيه الخاص بل قد يرجح للمذهب خلاف ما يعتقد رجحانه، والسبب أن المذهب نقل، بمعنى أنه عندما يرجح للمذهب أنه يخبر عن المعتمد فيه وهذا بخلاف النظر في الأقوال والترجيح بالدليل
قال العلماء: اختيارات الإمام النووي رحمه الله كلها ضعيفة من حيث المذهب وإن كانت قوية من حيث الدليل إلا اختياراته في الروضة، فإنها بمعنى الصحيح أو الراجح إلا في اختياره عدم كراهة المشمس في الروضة، فهو ضعيف من جهة المذهب
:وللإمام النووي اختيارات كثيرة منها
١. الوضوء من لحم الجزور كما هو مذهب أحمد. ٢. وعدم كراهة الاستياك في رمضان مطلقاً كما هو مذهب المزني وأكثر العلماء. ٣. وأن ابتداء مدة مسح الخف من حين يمسح بعد الحدث وهو رواية عن أحمد وداود قال النووي: وهو المختار الراجح دليلاً.
٤. وذهب فيمن خلع خفيه أو انقضت مدته وهو على طهارة المسح أنه لا شيء عليه، لا غسل القدمين ولا غيره بل طهارته صحيحة يصلي بها ما لم يحدث كما لو لم يخلع وهذا المذهب محكي عن الحسن البصري وقتادة وسليمان بن حرب واختاره ابن المنذر قال النووي: وهو المختار الأقوى. ٥. جواز الجمع بين الصلاتين بعذر المرض. ٦. وحرمة الوطء للحائض فقط دون المباشرة لما تحت السرة وأعلى من الركبة. ٧. الاكتفاء بالمقارن العرفية للنية في الصلاة تبعا للغزالي. ٨. جواز تطويل الاعتدال بذكر غير ركن. ٩. وجواز بيع المعاطاة في كل ما يعده الناس بيعا. ١٠. صحة المساقاة على الأشجار المثمرة وهو قديم قول الشافعي. ١١. حرمة النظر للأمرد.
وغيرها من الاختيارات بيد أنه ينبغي التنبيه هنا على مسألة مهمة يخطئ فيها بعض الطلبة وهي أن اختيارات بعض علماء المذهب لأقوال خارجة عن المذهب لا يعني بالضرورة خروجهم أو عدم انتسابهم للمذهب بل هم مع اختيارهم لتلك الأقوال باقون ضمن إطاره يقلدون أو يرجحون أو يخرجون –كأصحاب الوجوه- وفق قواعد وأصول المذهب، وهم إذا خالفوا المذهب في مسائل فقد اعتمدوا عليه في غيرها من الأصول والفروع ولا شك أن الأخيرة هي الكثيرة الغالبة، فاختيارات القفال الشاشي والقاضي الحسين والبغوي وابن خزيمة والنووي وغيرهم لا تخرجهم عن المذهب البتة، وتكون اختياراتهم أو من هو دونهم سببه قوة دليل أو طلب للتيسير على العامة والمستفتين، خاصة عندما يكون في المذهب تشديد ليس عليه دليل يصح، والمسألة طويلة أكتفي منها بهذه الإلماحة.
Pendapat-pendapat yang dipilih Imam Nawawi:
Telah kami disebut dimuka bahwa Imam Nawawi tergolong Mujtahid Fatwa di kalangan Madzhab asy-Syafi’i atau seorang Mujtahid yang mempunyai kapasitas (men-tashhih) mengkoreksi—mana pendapat yang lemah dan mana yang pendapat yang kuat—dalam madzhab.
Beliau (Imam Nawawi) dalam mengkoreksi pendapat tidak hanya mengutarakan pendapat pribadinya secara khusus bahkan beliau tidak segan-segan menampilkan pendapat Madzhab yang berbeda dengan pendapat beliau yang dianggap lebih kuat.
Penyebabnya adalah bahwa pendapat dalam Madzhab tidak ubah dalil Naqal (nash al-Qur’an dan al-Hadits) bagi suatu Madzhab tertentu dengan artian ketika beliau (Imam Nawawi) mengunggulkan (menganggap kuat) satu pendapat dalam Madzhab, maka berarti pendapat itu Mu’tamad [⁵] (pendapat terkuat) dalam pernyataan beliau. Ini berbeda dalam wacana berfikir (beliau) dalam masalah komentar-komentar yang disampaikan ulama (asy-Syafi’iyah) dan Tarjih (menganggap kuat) satu pendapat dengan dalil.
Para ulama berbeda pendapat, bahwa Pendapat-pendapat yang dipilih Imam Nawawi ra semuanya lemah dari segi tinjauan al-Madzhab sekalipun pendapat-pendapat tersebut kuat dari segi tinjauan dalil kecuali Pendapat-pendapat yang dipilih Imam Nawawi yang terdapat dalam kita ar-Raudhah, maka pendapat beliau shahih atau kuat kecuali pendapat beliau tentang tidak ada kemakruhan air Musyammasy (air yang panaskan di bawah terik Matahari) dalam kitab ar-Raudhah maka pendapat beliau lemah ditinjau dari segi al-Madzhab.
Banyak sekali pendapat-pendapat yang dipilih Imam Nawawi, di antaranya:
1. Wajib berwudhu setelah memakan daging Unta, hal ini sebagaimana madzhab (pendapat) Imam Ahmad bin Hanbal.
2. Tidak ada kemakruhan bersiwak dalam bulan Ramadhan secara mutlak (sebelum atau setelah waktu Zawal, hal ini sebagaimana madzhab (pendapat) al-Muzanni dan ulama lainnya.
3. Bahwa permulaan mengusap Muzah, dimulai dari mengusap setelah hadats, hal ini merupakan riwayat Imam Ahmad dan Imam Daud. Imam an-Nawawi berkata: “Ini adalah pendapat yang dipilih, kuat dalalinya.
4. Imam an-Nawawi berpendapat dalam masalah orang melepas Muzah atau habisnya waktu bolehnya mengusap Muzah ketika orang itu yang memakai Muzah dalam keadaan suci, maka tidak ada kewajiban apapun baginya—baik membasuh kedua kaki atau lainnya. Sesuci orang tersebut dianggap sudah benar, boleh langsung mengerjakan sholat selagi ia belum berhadas sebagaimana ia tidak melepas Muzahnya. Ini adalah pendapat yang diceritakan dari al-Hasan al-Bashri, Qatadah, Sulaiman bin Harb dan pendapat ini dpilih oleh Ibnu al-Mundzir. Imam an-Nawawi berkata: “Ini adalah pendapat yang dipilih, paling kuat dalilnya.
5. Bolehnya menjama’ antara dua sholat sebab udzur sakit.
6. Haram mewathi’ saja bagi istri yang sedang haid, bakan Mubasyarah (bercumbu) di sekitar bawah pusar dan di atas lutut.
7. Cukupnya Muqaranah al-Urfiyah (bersamaan menurut kebiasaan yang barlaku) untuk niat dalam sholah mengikuti pendapat Imam al-Ghazali.
8. Bolehnya melakukan I’tidal yang lama dengan di isi dzikir yang selain rukun.
9. Bolehnya praktik Mu’athoh (tanpa ijab qabul) di setiap transaksi yang dianggap oleh masyarakat sebagain jual beli.
10. Bolehnya akad Musyaqah (Siram) pada pohon-pohon yang telah berbuah dan ini adalah pendapat Qadim Imam asy-Syafi’i.
11. Haram melihat Amrod dan lain sebaginya.
Tatapi ada yang perlu diperhatikan dalam masalah ini, di mana sebagian akadamisi banyak keliru dan salah faham. Yaitu bahwa pendapat-pendapat yang dipilih ulama madzhab terhadap pendapat-pendapat yang keluar madzhabnya, tidak serta merta mereka keluar atau tidak berhubungan dengan madzhabnya. Justru di samping mereka memilih pendapat
Sebaiknya perlu diperhatikan di sini tentang masalah, di mana sebagian akadamisi banyak keliru dan salah faham. Yaitu bahwa ikhtiyarat (berbagai pendapat yang dipilih) oleh sebagian ulama mazhab yang keluar dari pendapat (mu’tamad) mazhab, tidaklah mengeluarkan mereka atau meniadakan penyandaran mereka kepada mazhab (Syafi’i). Bahkan mereka bersama dengan pendapat-pendapat pilihan mereka itu, tetap dalam bingkai mazhab, bertaklid, merajihkan (menguatkan), dan mengeluarkan kesimpulan hukum seperti Ashabu al-Wujuh berkesesuaian dengan berbagai kaidah dan ushul mazhab.
Mereka ketika berbeda pendapat dengan madzhabnya dalam sebagian kasus, sungguh mereka tetap berpegangan pada pendapat madzhab dalam kasus yang lain dari segi ushul dan guru’ dan tidak terbantahkan (penemuan) terakhir ini yang banyak dilakukan mereka. Jadi ikhtiyarat (berbagai pendapat yang dipilih) al-Quffal, asy-Syasyiy, al-Qadhi al-Husain, al-Baghawiy, Ibnu Khuzaimah, an-Nawawi dan lainnya tidak mengeluarkan dari pendapat (mu’tamad) mazhab sama sekali. Tapi ikhtiyarat (berbagai pendapat yang dipilih) meraka atau ulama dibawah mereka disebabkan adanya dalil yang kuat atau sebagai pembanding hukum yang lebih mudah atas para imam dan para mufti lebih-lebih ketika dalam mazhab terdapat pendapat yang sulit (berat) yang belum ditemukan dalil sahihnya. Pembahasan masalah ini panjang, aku rasa cukup dengan penjelasan singkat ini.
Syaikh Taqiyuddin Abu Bakrin bin Muhammad al-Husainiy al-Hishniy (w. 829 h) dalam kitab Kifayatu al-Akhyar fi Hilli Ghatu al-Ikhtishar hal 32-33 juga mengatakan:
وهل يكره للصائم بعد الزوال؟ فيه خلاف الراجح في الرافعي والروضة أنه يكره لقوله عليه الصلاة والسلام: “لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك” وفي رواية “يوم القيامة”. والخلوف بضم الخاء واللام هو التغيير وخص بما بعد الزوال لأن تغير الفم بسبب الصوم حينئذ يظهر فلو تغير فمه بعد الزوال بسبب آخر كنوم أو غيره فاستاك لأجل ذلك لا يكره وقيل لا يكره الاستياك مطلقا وبه قال الأئمة الثلاثة ورجحه النووي في شرح المهذب وقال القاضي حسين يكره في الفرض دون النفل خوفا من الرياء وقول المصنف للصائم يؤخذ منه أن الكراهة تزول بغروب الشمس وهذا هو الصحيح في شرح المهذب وقيل تبقى الكراهة إلى الفطر والله أعلم
Apakah dimakruhkan bagi orang yang berpuasa bersiwak setelah waktu Zawal (tergelincirnya matahari)? Hal ini terjadi perbedaan pendapat. Pendapat yang rajih (kuat) dari Imam ar-Rafi’i dan Imam an-Nawawi adalah makruh berdasarkan hadist dari imam Bukhari dan Imam Muslim:
لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِن رِيحِ المِسْكِ. وفي رواية: “يَوْمَ الْقِيَامَة”
“Sungguh bau aroma mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah ﷻ dari pada aroma parfum Kasturi”. Dalam satu riwayat : “Di hari kiamat”.
Sedangkan kata: “لَخُلُوفُ” dengan dibaca Dhommah huruf Kha’nya memiliki arti: “Berubahnya bau mulut”. Dan Dikhususkan dengan waktu Zawal (tergelincirnya matahari), karena pada waktu itu perubahan bau mulut sebab berpuasa akan tampak. Apa bila perubahan bau mulut sesudah waktu Zawal (tergelincirnya matahari) disebabkan hal yang lain seperti habis tidur dan lainnya maka bersiwak karena hal itu tidak dimakruhkan. Dikatakan, bahwa bersiwak tidak dimakruhkan secara mutlak (baik sebelum atau setelah waktu Zawal (tergelincirnya matahari) dengan ini, 3 imam madzhab berpendapat dan imam an-Nawawi menganggap pendapat ini kuat dalam kitab Syarhu al-Muhadzdzab. Al-Qadhi Husain berpendapat bahwa bersiwak hukumnya makruh dalam puasa Fardhu bukan dalam puasa Sunnah karena ditakutkan riya’. Waallahu A’lamu.
Penulis: Abdul Adzim
————————————
[¹] Al-Ikhtiyar (الاختيار) atau al-mukhtar (المختار): ialah pendapat yang dihasilkan dari ijtihad orang-orang terpilih dari dalil-dalil ushul. Ini keluar dari kaidah madzhab namun tidak bisa dicacat. Dalam redaksi Imam Nawawi dalam ar-Roudloh sama dengan ‘al-ashah fil madzhab’.
[²] Al-masyhur (المشهور): Menunjukkan ada khilaf dalam pendapat-pendapat Imam Syafi’i. Pendapat ini arjah (lebih utama), dan lawannya ialah khofi ghorib ghoiru masyhur (senyap asing tidak terkenal). Menurut Imam Romli, al-masyhur lebih kuat dibanding al-adhhar.
[³] Pengertian al-Fahwa atau Fahwa al-Khitab sendiri menurut Syaikh al-Islam Abi Yahya Zakariya an-Anshariy (w. 926 h) dalam kitab Ghayah al-Usul Syarhi Lubbu al-Ushul, Daru al-Kutub al-Ilmiyah hal 88 adalah:
فحوى الخطاب أي يسمى به إن كان أولى من المنطوق
Mafhum (makna yang ditunjukkan suatu lafadz tidak dalam wilayah pengucapannya) yang kapasitasnya lebih besar dibanding makna mantuq (makna yang ditunjukkan suatu lafadz yang ada dalam wilayah pengucapannya).
[⁴] Al-Madzhab (المذهب): Pendapat yang diambil dari dua atau tiga lebih Thoriq (pendapat madzhab lain yang diakomodir ke madzhab Syafi’) Seperti ada sebagian ulama meriwayatkan satu masalah dengan khilaf dua qoul atau dua wajah, dan ulama tersebut memastikan kebenaran salah satunya.
Catatan:
– Menurut Syekh Ibnu Hajar sangat tidak di perbolehkan mengamalkan pendapat Dha’if (lemah) yang bertentangan dengan al-Madzhab
– Dalam muqaddimah kitab Najmul Wahhaj definisi al-Madzhab sebagai berikut: Suatu istilah yang menunjukkan adanya khilaf yang masih mengandung beberapa kemungkinan antara pendapat- pendapatnya imam Syafi’i atau beberapa pendapat pengikutnya, ataupun tersusun dari keduanya, namun terkadang Imam Nawawi dalam sebagian permasalahan mengistilahkannya dengan ﭐلمنصوص, في قول أو وجه, atau وكذا
[⁵] Al-Mu’tamad (المعتمد): menurut Ibnu Hajar maksudnya ‘al-adhhar’ dari dua atau lebih pendapat Imam Syafi’i.