TUNTUNAN BERSIWAK SECARA LENGKAP

oleh -3,544 views

Syaichona.net- Definisi siwak (ﺍﻟﺴﻮﺍﻙ) menurut Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuriy asy-Syafi’iy (w. 1276 h) dalam Hasyiyah al-Bajuriy, Daru al-Kutub juz 1, hal 78-79:

وهو لغة الدلك وآلته وشرعا: استعمال عود ونحوه في الأسنان وما حولها لاذهاب التغير ونحوه بنية.

Secara etimologi adalah menggosok dan alat yang digunakan untuk bersiwak. Adapun Siwak menurut termonologi syara’ adalah menggunakan kayu Arak (Salvadora persica) dan semacamnya pada bagian gigi atau disekitarnya untuk menghilangkan perubahan bau mulut dan lainnya dengan sebuah niat.

وهو من الشرائع القديمة كما يدل له قوله – صلى الله عليه وسلم – هذا سواكي وسواك الأنبياء من قبلي أي من عهد إبراهيم لا مطلقا لأنه أول من استاك ونص بعضهم على أنه من خصائص هذه الأمة بالنسبة للأمم السابقة لا للأنبياء لأنه كان للأنبياء السابقين من عهد إبراهيم دون أممهم.

Menurut beliau, Siwak tergolong suatu yang disyariatkan umat terdahulu (umat sebelum Nabi Muhammad ﷺ) sebagaiman keterangan sabda Nabi yang menunjukan hal itu:

هَذَا سِوَاكِي، وَسِوَاكُ الأَنْبِيَاءِ قَبْلِي

Artinya “Ini adalah siwakku dan siwak para nabi sebelumku” (HR. ath-Thobroni).

Yaitu sejak zaman Nabi Ibrahim As bukan secara mutlak (semua Nabi) karena Nabi Ibrahim As orang yang pertama kali menggunakan Siwak. Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa kesunnahan bersiwak tergolong sesuatu yang dikhususkan pada umat ini (umat Nabi Muhammad ﷺ), hal ini jika dinisbatkan pada umat-umat terdahulu bukan pada para Nabi karena penggunaan Siwak sudah dilakukan oleh Nabi-Nabi terdahulu sejak Nabi Ibrahim As bukan pada umat-umatnya.

Syaikh Abdullah bin Hijaziy bin Ibrahim asy-Syafi’i al-Azhariy (w. 1226 h) dalam Hasyiah Asy-Syarqawiy ala Tuhfatu ath-Thullab, Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1, hal 450 menambahkan: Di antara dalil hadits yang membuktikan bahwa bersiwak termasuk syariat umat terdahulu adalah hadits hasan:

ﺃَﺭْﺑَﻊٌ ﻣِﻦْ ﺳُﻨَﻦِ ﺍﻟْﻤُﺮْﺳَﻠِﻴْﻦَ : ﺍَﻟْﺨِﺘَﺎﻥُ ﻭَﺍﻟﺘَّﻌَﻄُّﺮُ ﻭَﺍﻟﺴِّﻮَﺍﻙُ ﻭَﺍﻟﻨِّﻜَﺎﺡُ

Artinya : “Ada empat perkara yang termasuk dalam sunah para Rasul, yaitu khitan, memakai wangi-wangian, bersiwak dan menikah. (HR. Tirmidzi).

Sementara dalam Hasyiyah I’anah ath-Thalibin, Syaikh Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyatiy al-Bakriy (w. 1300 h) mengatakan:

والأصل فيه قوله عليه السلام: لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل وضوء. وفي رواية: لفرضت عليهم السواك مع كل وضوء.

Dalil asal dalam kesunnahan bersiwak adalah sabda Rasulullah ﷺ:

ﻟَﻮْﻻَ ﺃَﻥْ ﺃَﺷُﻖَّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴْﻦَ ﻷَﻣَﺮْﺗُﻬُﻢْ ﺑِﺎﻟﺴِّﻮَﺍﻙِ ﻋِﻨْﺪَ ﻛُﻞِّ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ

“Seandainya tidak memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan berwudhu’.” (HR. Muslim).

Dalam satu riwayat terdapat redaksi yang berbeda tertulis:

لَفَرَضتُ عَلَيْهِمُ السِّوَاكَ مَعَ ﻛُﻞِّ الوُضُوْءِ

Artinya: “Sungguh aku mewajibkan pada mereka untuk bersiwak disetiap akan berwudhu.”

HUKUM DAN WAKTU SIWAK

Mengenai hukum bersiwak, Syaikh Abu Abdullah Syamsuddin Muhammad bin Qasim bin Muhammad al-Ghaziy (w. 918 h) atau yang dikenal dengan sebutan Ibnu Qasim dan Ibnu al-Gharabiliy dalam kitab Fathu al-Qarib al-Mujib fi Syarhi alfadzi al-Taqrib, Daru al-Kutub al-Ilmiyah hal, 10-11 mengatakan:

(والسواك مستحب في كل حال) ولا يكره تنزيها (إلا بعد الزوال للصائم) فرضا أو نفلا؛ وتزول الكراهة بغروب الشمس. واختار النووي عدم الكراهة مطلقا.

Siwak (bersiwak) disunnahkan disetiap keadaan dan tidak dimakruhkan tanzih kecuali setelah tergelincirnya matahari bagi orang yang berpuasa baik puasa fardhu atau puasa sunnah dan hukum makruh itu hilang (tidak berlaku) dengan sebab terbenamnya matahari. Sementara al-Imam an-Nawawiy dalam hal ini memilih tidak ada kemakruhan secara mutlak.

Dalam kitab Hasyiyah I’anah ath-Thalibin, Syaikh Abu Bakar Syatha dalam kitab Hasyiyah I’anah ath-Thalibin mengatakan:

وتعتريه أحكام أربعة: الوجوب فيما إذا توقف عليه زوال النجاسة، أو ريح كريه في نحو جمعة، والحرمة فيما إذا سواك غيره بغير إذنه ولم يعلم رضاه، والكراهة للصائم بعد الزوال، وفيما إذا استعمله طولا في غير اللسان، والندب في كل حال. ولا تعتريه الإباحة لأن القاعدة أن ما كان أصله الندب لا تأتي الإباحة فيه.

Terdapat 4 varian hukum dalam bersiwak: 1- Wajib, yaitu ketika seseorang membutuhkan siwak untuk menghilangkan najis (di mulutnya) atau menghilangkan bau mulut yang tidak sedap di mulutnya semis saat hendak melaksanakan sholat Jum’at. 2- Haram, yaitu ketika seseorang bersiwak menggunakan siwak milik orang lain tanpa idzin dan tidak diketahui kerelaannya. 3- Makruh, yaitu bagi orang berpuasa setelah tergelincirnya matahari dan ketika menggunakan siwak dengan arah memanjang pada selain lisan. 4- Sunnah, di setiap keadaan.

Syaikh Ibnu Qasim dalam kitab yang sama mengatakan:

(وهو) أي السواك (في ثلاثة مواضع أشدُّ استحبابا) من غيرها؛ أحدها: (عند تغيُّر الفم من أزم) قيل: هو سكوت طويل. وقيل: هو ترك الأكل. وإنما قال: (وغيره) ليشتمل تغيُّر الفم بغير أزم، كأكل ذي ريح كريه من ثَومٍ وبَصَل وغيرهما؛ (و) الثاني (عند القيام) أي الاستيقاظ (من النوم)؛ (و) الثالث (عند القيام إلى الصلاة)، فرضا أو نفلا.
ويتأكد أيضا في غير الثلاثة المذكورة مما هو مذكور في المطولات، كقراءة القرآن، واصفرار الأسنان.

Ada 3 waktu bersiwak sangat disunnahkan dibanding yang lainnya: 1- Ketika berubahnya mulut sebab lamanya diam tanpa makan dan lainya seperti makan makanan yang mengandung aroma yang tidak sedap semisal bawang puting, bawang merah dan lainnya. 2- Ketika bangun dari tidur. 3- Ketika hendak melaksanakan sholat baik fardhu atau sunnah. Selain tiga waktu yang telah disebutkan barusan, ada waktu-waktu tertentu yang juga sangat disunnahkan bersiwak sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab yang luas pembahasannya semisal ketika hendak membaca al-Qur’an dan menguningnya gigi.

Sementara Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Sulaiman al-Qahiriy (w. 819 h) yang dikenal dengan sebutan az-Zahid dalam kitab Tuhfatu as-Sullaki fi Fadaili as-Siwaki, Daru al-Kutub al-Ilmiyah hal 55-56 menambahkan:

ويتأكد : عند قيامه من ليل أو نهار، وعند إرادة النوم ، وعند الوضوء لكل عبادة واجبة ومستحبة ونافلة مطلقة ليلا أو نهارا ، وعند صلاة الجنازة ، وسجود التلاوة ، والشكر ، وذهابه إلى الجمعة، وعند خطبة الجمعة ، ودخول الكعبة ، ودخول الإنسان بيته ، وجماع زوجته وأمته ، واجتماع الناس في في المحافل والولائم ، ومخاطبة الغير ، وتغير الفم بأكل ماله ريح كريه كالبصل أو ثوم أو الكراث ومثله شرب الدخان، وعند ترك الأكل ، وعند الجوع والعطش وعند السكوت والكلام الطويل، وعند قراءة القرآن ، وأوان الخلوف للصائم ، وصفرة الأسنان. فإن أخطأ جميع ذلك ففي اليوم والليلة مرة.

Dan kesunnahan bersiwak menjadi sangat dianjurkan yaitu ketika bangun tidur baik diwaktu siang atau di waktu malam hari, hendak tidur, ketika berwudhu untuk melaksanakan ibadah wajib, sunnah, nafilah mutlak baik siang atau malam hari, ketika hendak melaksanakan sholat jenazah, hendak sujud tilawah, sujud syukur, hendak berangkat sholat Jum’at, ketika pembacaan khatbah berlangsung, masuk ke dalam Ka’bah, masuk kedalam rumah, ketika hendak berhubung intim baik dengan istri atau budaknya, ketika berada di sebuah acara baik perayaan atau pesta pernikahan, hendak berbincang-bincang dengan orang lain, ketika berubahnya bau mulut sebab makan makanan yang berbau menyengat seperti bawang merah, bawang putih, bawang putih, bawang prei atau setelah menghisap rokok, ketika meniggalkan makan, ketika lapar dan dahaga, ketika diam dan berbicara dalam durasi waktu yang lama, ketika hendak membaca al-Qur’an, ketika berubahnya bau mulut bagi orang berpuasa, menguningnya gigi. Bila tidak bisa melaksanakan bersiwak di semua waktu yang telah disebut di atas, maka hendaklah bersiwak dalam sehari semalam satu kali.

KARAKTERISTIK ALAT YANG DIGUNAKAN BERSIWAK

Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Khatib asy-Syarbiniy (w. 977 h) dalam kitab al-Iqna’ fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’, Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1, hal, 115 mengatakan:

وَيحصل بِكُل خشن يزِيل القلح كعود من أَرَاك أَو غَيره أَو خرقَة أَو أشنان لحُصُول الْمَقْصُود بذلك لَكِن الْعود أولى من غَيره. والأراك أولى من غَيره من العيدان واليابس المندى بِالْمَاءِ أولى من الرطب وَمن الْيَابِس الَّذِي لم يند وَمن الْيَابِس المندى بِغَيْر المَاء كَمَاء الْورْد وعود النّخل أولى من غير الْأَرَاك كَمَا قَالَه فِي الْمَجْمُوع. وَيسن غسله للاستياك ثَانِيًا إِذا حصل عَلَيْهِ وسخ أَو ريح أَو نَحوه كَمَا قَالَه فِي الْمَجْمُوع وَلَا يَكْفِي الاستياك بِأُصْبُعِهِ وَإِن كَانَت خشنة لِأَنَّهُ لَا يُسمى استياكا هَذَا إِذا كَانَت مُتَّصِلَة فَإِن كَانَت مُنْفَصِلَة وَهِي خشنة أَجْزَأت إِن قُلْنَا بطهارتها وَهُوَ الْأَصَح.

Adapun Karakteristik alat siwak adalah setiap sesuatu yang kasar (keras), yang bisa menghilangkan kotoran pada gigi seperti kayu Arak (Salvadora persica) atau lainnya, sobekan kain, atau kayu Asynan (semacam benalu) karena tujuan bersiwak terlaksana dengan benda-benda itu tetapi bersiwak menggunakan kayu yang lebih utama dari pada lainnya. Sedangkan kayu Arak lebih utama dari kayu-kayu lainnya. Kemudian kayu Arak kering yang dibasahi dengan air lebih utama dari kayu Arak yang masih hidup (tidak kering), dan dari kayu Arak kering yang tidak dibasahi dengan air serta lebih utama dari kayu Arak kering yang dibasahi dengan selain air seperti air mawar. Lalu kayu dari pohon kurma lebih utama dari kayu selain kayu Arak. Begitulah keterangan yang disampaikan al-Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’nya. Sedang bersiwak menggunakan jari-jarinya sendiri sekalipun jari-jarinya kasar dianggap tidak mencukupi karena hal tersebut tidak dikatagorikan bersiwak, hal ini jika masih jari-jarinya bersambung (dengan tangannya). Jika telah terpisah (dari tangannya) dan jari-jarinya kasar, menurut pendapat al-Ashah dianggap mencukupi itu pun kalau kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa jari-jari seseorang yang terpotong dari tangannya itu suci.

As-Sayyid Umar bin Muhammad Barakat al-Baqa’i asy-Syamiy (w. 1295 h) dalam kitab Faidhu al-Ilahi al-Maliki fi Hilli Alfadzi Umdatu as-Salik wa Uddatu an-Nasiki, Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1, hal 30 menambahkan:

فلا يجزىء الاستياك بها، وهو الراجح، والمعتمد أن أصبع الغير إن كانت من حى متصلة، وبإذنه حصل بها سنة الإستياك بخلاف أصبع نفسه، ولاتكفي ولو خشنة على المعتمد، لأن جزء الإنسان، لا يسمى سواكا له، وبخلاف أصبع غيره غير الخشنة فكذلك لأنها لاتزيل القلح وبخلاف المنفصلة، لأنه يطلب مواراتها، وكذا إذا كانت من ميت. والحاصل أن أصبع الغير يحصل بها الاستياك بقيود أربعة.
أحدها: أن تكون خشنة، ثانيها: أن تكون متصلة، ثالثها: أن تكون من حى، رابعها، أن تكون بإذنه، وقد علمت محترزاتها، وإذا كانت من غيره بغير إذنه ووجدت القيود السابقة حرم مع الأجزاء عند عدم رضاه.

Menurut pendapat ar-Rajih (yang unggul) tidak cukup bersiwak dengan jari-jarinya sendiri, sedangkan menurut pendapat al-Mu’tamad (yang kuat) bahwa menggunakan jari-jari orang lain, jika orang itu masih hidup masih bersambung (dengan tangannya) dan telah mendapat idzin, maka tujuan kesunnahan bersiwak dengannya dianggap hasil berbeda halnya dengan bersiwak mengunakan jari-jarinya sendiri maka tidak dianggap mencukupi sekalipun jari-jarinya kasar menurut pendapat al-Mu’tamad (yang kuat) karena masih dianggap bagian dari tubuh manusia dan tidak bisa dikatagorikan bersiwak. dan juga bedanya dengan jari-jari orang lain yang tidak kasar karena dianggap tidak yang bisa menghilangkan kotoran pada gigi serta beda halnya dengan jari-jari yang terpisah karena yang dituntut (perintahnya) adalah mengkuburkanya begitu juga jika jari-jari itu milik orang sudah mati.

Ringkasnya, bahwa jari-jari orang lain bisa dibuat bersiwak bila memenuhi 4 syarat: 1- Harus kasar. 2- Harus sambung (dengan tangan). 3- Harus milik orang yang masih hidup. 4- Harus seidzin orangnya. Dan sungguh telah difahami tentang pengecualian-pengecualiannya. Jika jari-jari yang digunakan bersiwak itu milik orang lain tanpa seidzinnya dan temukan indikasi adanya salah satu 4 syarat yang telah disebut di muka, maka hukum haram mengunakannya namun masih dianggap cukup meski tidak ada kerelaan dari pemiliknya.

Terdapat versi lain dari Syaikh Ahmad al-Bajuriy dalam Hasyiyah al-Bajuriy, Daru al-Kutub juz 1, hal 80 beliau mengatakan:

والاستياك بالأراك أفضل ثم بجريد النخل ثم الزيتون ثم ذي الريح الطيبة ثم غيره من بقية العيدان وفي معناه الخرقة فهذه خمس مراتب ويجرى في كل واحدة من هذه الخمسة خمس مراتب فالجملة خمسة وعشرون لأن أفضل الأراك المندى بالماء ثم المندى بماء الورد ثم المندى بالريق ثم اليابس غير المندى ثم الرطب بفتح الراء وسكون الطاء وبعضهم يقدم الرطب على اليابس وكذا يقال في الجريد وهكذا نعم نحو الخرقة لا يتأتى فيه المرتبة الخامسة ويستثنى من ذي الريح الطيبة عود الريحان فإنه يكره الإستياك به لما قيل من أنه يورث الجذام والعياذ بالله.

Bersiwak yang paling utama adalah menggunakan kayu Arak kemudian pelapah Kurma, kemudian kayu Zaitun kemudian kayu yang beraroma harum, kemudian kayu-kayu yang lainnya dan setingkat dengan kayu-kayu yang lain adalah sesobek kain. Dalam hal ini berarti ada 5 tingkatan dan pada setiap 5 tingkat itu, masing-masing mempunyai 5 tingkatan kualitas. Jika dihitung secara keseluruhan akan berjumlah 25 tingkatan dengan rincian sebagai berikut: Kayu Arak yang dibasahi dengan air, kemudian kayu Arak yang dibasahi dengan air Mawar, kemudian kayu Arak yang dibasahi dengan air ludah, kemudian kayu Arak yang kering yang tidak dibasahi, kemudian kayu Arak masih hidup (hijau) sebagian ulama mendahulukan kayu Arak masih hidup (hijau), kemudian yang kering yang tidak dibasahi. Begitu semua tingkatan pada kayu Arak juga berlaku pada pelapah Kurma, kemudian pada kayu Zaitun dan seterusnya secara urut. Sementara untuk bersiwak dengan sesobek kain tidaj ditemukan 5 tingkatan yang telah disebut. Dan dari kayu beraroma harum yang disebutkan dimuka terdapat pengecualian yaitu kayu Rayhan. Kayu ini dimakruhkan jika dibuat bersiwak karena konon ada efek negatif menyebabkan penyakit Lepra atau Kusta pada penggunanya. Semoga Allah menjauhkan dari penyakit itu.

NIAT DAN DOA SAAT BERSIWAK

Syaikh Ahmad al-Bajuriy dalam Hasyiyah al-Bajuriy, Daru al-Kutub juz 1, hal 80 mengatakan:

(قوله ويسن أن ينوي بالسواك السنة) بأن يقول نويت سنة الاستياك فلو استاك اتفاقا من غير نية لم تحصل السنة فلا ثواب له ومحل ذلك ما لم يكن في ضمن عبادة كأن وقع بعد نية الوضوء أو بعد الإحرام بالصلاة على ماقاله العلامة الرملي وإلا فلا يحتاج لنية لأن نية ماوقع فيه شملته.

Dianjurkan sebelum bersiwak niat melakukan sunnah seperti:

نَوَيْتُ الإِسْتِيَاكَ سُنَّةً لِلّهِ تَعَالى

Artinya: “Saya niat melakukan sunnah siwak karena Allah ta’ala.”

Kata beliau, bila seseorang ketepatan bersiwak tanpa niat, maka ia tidak akan mendapatkan pahala dari kesunnahan bersiwak. Hal ini selagi bersiwak tidak masuk dalam bagian ibadah seperti bersiwak setelah niat wudhu atau setelah Tak’biratul Ihram sholat mengikuti pendapat yang disampaikan al-‘Alamah ar-Ramli. Kalau demikian, maka tidak perlukan lagi niat karena niat yang telah dilakukan tersebut memuat pada niat bersiwak secara sunnah.

Al-Imam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawiy (w. 676 h) dalam kitab al-Majmu’, Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 2 hal 222-223 mengatakan:

قال الرويانى : قال بعض أصحابنا : يستحب أن يقول عند ابتداء السواك : اللهم بيض به أسنانى وشد به لثانى وثبت به لهاتى ، وبارك لى فيـه يا أرحم الراحمين. وهذا الذي قاله وإن لم يكن أصل فلا بأس به، فإن دعاء حسن.

Al-Imam ar-Rayaniy berkata: “Sebagian Ashabina (ulama pengikut madzhab as-Syafi’iy) menfmgatakan: “Disunnahkan ketika memulai berbersiwak membaca doa:

اَللَّهُمَّ بَيِّضْ بِهِ أَسْنَانِيْ وَشُدَّ بِهِ لِثَّتِيْ وَثَبِّتْ بِهِ لَهَاتِي، وَبَارِكْ لِيْ فِيْهِ وَأَثِبْنِيْ عَلَيْهِ يَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Artinya: “Ya Allah putihkan gigiku dan kuatkan gusiku, serta kuatkan lahatku (daging yang tumbuh di atas langit-langit mulut) dan berkatilah siwak tersebut dan berilah pahala aku karenanya, wahai Dzat paling mengasihi diantara para pengasih”.

Doa yang diucapakan orang bersiwak ini, meski tidak ada dasar dalilnya baik dari al-Qur’an dan al-Hadits. Tidak masalah jika diamalkan karena isi (doanya) bagus.

Syaikh Badruddin Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad ‘Ainiy dalam kitab ‘Umdatu al-Qari Syarhi Shahih al-Bukhariy, Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 6 hal 261 juga mengatakan: “Orang bersiwak dianjurkan berdoa:

اللَّهُمَّ طَهِّرْ فَمِي، وَنَوِّرْ قَلْبِي، وَطَهِّرْ بَدَنِي وَحَرِّمْ جَسَدِي عَلَى النَّارِ، وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكِ الصَّالِحِينَ.

Artinya: “Ya Allah sucikan mulutku, terangi hatiku, bersihkan badanku, haramkan jazatku atas Api Neraka dan masukkan aku dalam golongan hamba-hamba-Mu yang sholih.

Sedangkan dalam kitab al-Fiqhu al-Islamiy wa Adillatihi, Daru al-Fikr, juz 1 hal 304, Daktor Syakh Wahbah az-Zuhailiy mengatakan “Doa yang sunnah dibaca orang bersiwak adalah:

اَللّٰهُمَّ طَهِّرْ قَلْبِيْ، وَمَحِّصْ ذُنُوْبِيْ

Artinya: “Ya Allah sucikan hatiku dan bersihkan dosa-dosaku.”

Bersiwak yang paling utama adalah siwak dipegang dengan tangan kanan, kemudian diletakkan di atas ibu jari dan jari kelingking. Sedangkan, untuk tiga jari yang lain berada di atas siwak.

CARA DAN ETIKA BERSIWAK

Tidak banyak orang yang tahu tentang cara bersiwak yang sesuai dengan praktik dan tata cara yang disunnahkan Nabi ﷺ, hingga sering dijumpai orang bersiwak ala kadarnya aatu salah kaprah tidak mengikuti panduan syara’. Banyak dalam litelatur ulama yang menjelaskan hal tersebut di antaranya dalam kitab Ghayatu al-Muna Syarah Syafina an-Najah, Karya Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba’athiyah ad-Du’aniy, Maktabah Tarim al-Haditsiyah hal 148, kitab kecil yang simpel dan mudah difaham. Berikut penjelasannya:

وكيفية الاستياك المسنونة: أن يبدأ بالجانب الأيمن من فمه فيستوعبه باستعمال السواك في عرض الأسنان العليا ظهراً وبطناً إلى الوسط، ثم السفلى كذلك، ثم يفعل في الجانب الأيسر كذلك، ثم يمره على لسانه طولاً، ثم على سقف حلقه إمرارا لطيفا.

Adapan tata cara bersiwak yang disunnahkan adalah: Dimulai dari mulut bagian kanan secara horizontal (menyamping), merata mulai lebar gigi atas (gigi geraham atas berikut gusinya), luar maupun dalam, sampai gigi depan. Lalu pada lebar gigi bawah (gigi geraham bawah berikut gusinya) sampai gigi depan, luar maupun dalam. Baru kemudian melanjutkan pada mulut bagian kiri juga secara horizontal (menyamping), dimulai dari lebar gigi (geraham atas berikut gusinya) sampai gigi depan, luar maupun dalam. Lalu lebar gigi (geraham bawahnya berikut gusinya) sampai gigi depan, luar maupun dalam.

Baru kemudian menggosokkan siwak pada lidah secara vertikal (keatas-kebawah), lalu kemudian pada bagian langit-langit atas mulut dengan gosokan yang halus.

Catatan: Yang dimaksud “luar maupun dalam” dalam keterangan di ata sebagaimana yang disampaikan Syaikh Abu Bakar Syatho dalam kitab I’anatu ath-Thalibin, Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1 hal 78 adalah:

(قوله: ظاهراً وباطناً) أي ظاهر الأسنان وهو ما يلي الشفتين، وباطنها وهو ما يلي الحلق.

Gigi bagian luar yaitu gigi yang berada dekat dengan dua bibir, sedangkan gigi bagian dalam adalah gigi yang berada dekat dengan tenggorokan.

( عرضا ) أي في عرض الأسنان ظاهرها وباطنها لا طولا بل يكره لخبر مرسل فيه وخشية إدماء اللثة وإفساد عمور الأسنان ومع ذلك يحصل به أصل السنة نعم اللسان يستاك فيه طولا لخبر فيه في أبي داود.

Lalu yang dimaksud dengan Aradhu al-Asnan adalah lebar gigi, posisi horizontal (menyamping), luar maupun dalam bukan posisi memanjang atau vertikal (keatas-kebawah) bahkan dimakruhkan jika bersiwak dengan posisi vertikal (keatas-kebawah) pada gigi kerena terdapat hadits Mursal yang menjelaskan itu, selain itu cara demikian dapat menyebabkan gusi berdarah dan merusak usia gigi meskipun masih mendapat pahala asal kesunnahan bersiwak. Nah, untuk lisan sendiri dianjurkan bersiwak dengan posisi vertikal (keatas-kebawah) kerena terdapat hadits dari Abu Daud yang menjelaskan hal itu.

وكيفية إمساك السواك هي أن يمسك السواك باليد اليمنى، وأن يجعل الخنصر من أسفله والبنصر والوسطى والسبابة فوقه، والإبهام أسفل رأس السواك.

Adapun cara memegang siwak adalah: Memegang siwak dengan tangan kanan dan menjadikan jari kelingking di bawah ujung paling bawah dari siwak dan jari manis, jari tengah dan jari telunjuk diletakkan di atasnya sedangkan ibu jari diletakkan di bawah ujung paling atas dari siwak.

Selain itu ada beberapa etika yang harus dilakukan dan jauhi oleh pengguna siwak. Di antaranya, enurut Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba’athiyah ad-Du’aniy dalam kitab yang sama mengatakan:

ولايقبض على السواك بيديه لما قيل: إنه يورث الباسور، وبعد الاستياك يغسل رأس السواك ويضعه خلف أذنه اليسرى لخبر فيه واقتداء بصاحبة رسول الله صلى الله عليه وسلم. ويسن بلع الريق وقت وضع السواك في الفم وقبل أن يحركه كثيراً لما قيل: إن ذلك أمان من الجذام والبرص، بل من كل داء إلا الموت، ولا يبلع ريقه بعد تحريكه كثيراً والاستياك به لما قيل: إنه يورث الوسواس.

Dilarang menggenggam siwak dengan tangan, karena hal itu dapat menyebabkan penyakit Wasir atau Ambeien. Setelah digunakan, hendaknya ujung siwak dibasuh dan diletakkan di belakang telinga karena terdapat anjuran hadits Nabi dan mengikuti kebiasaan para sahabatnya. Disunnahkan menelan ludah saat meletakan siwak pada mulut dan sebelum banyak menggerak-menggerakan siwak alasan karena ritual itu dapat menangkal dari penyakit Kusta atau Lepra dan penyakit Belang. Tidak diperkenankan menelan ludah setelah banyak menggerak-menggerakan siwak dan selesai bersiwak karena hal itu dapat menyebabkan was-was.

Syaikh Ahmad al-Bajuriy dalam Hasyiyah al-Bajuriy, Daru al-Kutub juz 1, hal 80 mengatakan:

ويكره أن يزيد طول السواك على شبر لما قيل إن الشيطان يركب على الزائد ويسن التخليل قبل السواك وبعده ومن أثر الطعام لما قيل من أن من واظب على الخشبتين أي الخلال والسواك أمن من الكلبتين ويستحب كون الخلال من عود السواك أو من الخلة المعروفة ويكره بنحو الحديد.

Dimakruhkan menambah ukuran siwak melebihi sejengkal tangan karana konon syetan akan menunggang di atas siwak tambahannya. Disunnahkan menyelat-nyelati (membersihkan) gigi sebelum dan sesudah bersiwak dan dari sisa-sisa makanan menempel di sela-sela gigi karena konon, orang yang terbiasa menyelat-nyelati (membersihkan) gigi dan bersiwak akan terjaga dari dua anjing (2 hal yang dapat menyebabkan gigi tercabut). Disarankan yang dibuat menyelat-nyelati (membersihkan) gigi berupa kayu siwak atau dari alat yang biasa digunakan membersihkan gigi dan dimakruhkan dengan menggunakan semisal besi.

Sementara Syaikh Abu Bakar Syatho dalam kitab I’anatu ath-Thalibin, Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1 hal 78 menambahkan:

(قوله: وأن لا يمصه) أي وينبغي أيضا أن لا يمص السواك بعد الاستياك. (قوله: ويندب التخليل) أي تخليل الأسنان. ويسن كونه بعود السواك وباليمنى كالسواك ويكره بعود القصب والآس. والتخليل أمان من تسويس الأسنان. ويكره أكل ما خرج من بينها بنحو عود، لا ما خرج بغيره كاللسان. ويندب لمن يصحب الناس التنظف بالسواك ونحوه، والتطيب وحسن الأدب.

Juga dianjurkan bagi orang yang bersiwak, tidak menghisap (nyessep. Jawa) alat siwak setelah bersiwak dan disunnahkan menyelat-nyelati (membersihkan) gigi menggunakan kayu siwak dengan tangan kanan seperti saat bersiwak. Dimakruhkan menggunakan Rotan dan kayu As (Myrtus communis) dan menyelat-nyelati (membersihkan) gigi menjaga dari pembusukan pada gigi. Dimakruhkan pula memakan sisa makanan yang timbul dari hasil menyelat-nyelati (membersihkan) gigi dengan semacam kayu bukan sisa makanan yang timbul dari lainnya seperti menggunakan lisan. Disunnahkan bagi orang yang hendak menemani orang lain, agar membersihkan gigi dengan siwak dan lainnya, memakai parfum dan beretika yang baik.

MANFAAT DAN KEGUNAAN BERSIWAK

Adapun manfaat dan kegunaan bersiwak banyak sekali hal itu sebagaimana yang disebutkan Syaikh Abu Bakar Syatho dalam kitab I’anatu ath-Thalibin, Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1 hal 78:

وله فوائد كثيرة أوصلها بعضهم إلى نيف وسبعين : منها أنه يطهر الفم ويرضي الرب ويبيض الأسنان ويطيب النكهة ويسوي الظهر ويشد اللثة ويبطىء الشيب ويصفي الخلقة ويزكي الفطنة ويضاعف الأجر ويسهل النزع ويذكر الشهادة عند الموت وإدامته تورث السعة والغنى وتيسر الرزق وتطيب الفم وتسكن الصداع وتذهب جميع ما في الرأس من الأذى والبلغم وتقوي الأسنان وتجلي البصر وتزيد في الحسنات وتفرح الملائكة وتصافحه لنور وجهه وتشيعه إذا خرج للصلاة ويعطى الكتاب باليمين وتذهب الجذام وتنمي المال والأولاد وتؤانس الإنسان في قبره ويأتيه ملك الموت عليه السلام عند قبض روحه في صورة حسنة.

Siwak memiliki banyak manfaat dan kegunaan bahkan sebagian ulama menyebutkan kegunaan siwak lebih dari 70 macam. Di antaranya: Membersihkan mulut, diridhoi oleh Allah ﷻ, memutihkan gigi, menyegarkan bau mulut, meratakan punggung, menguatkan gusi, memperlambat penuaan, membersihkan perangai, menambah kecerdasan, melipat gandakan pahala ibadah, mempermudah sakaratul maut, mengingatkan akan syahadat ketika ajalnya tiba.

Sedangkan bagi yang menjalani bersiwak secara rutin berfaedah: Mendatangkan kelapangan dan kekayaan, memperlancar rizki, membuat nyaman mulut, meredakan sakit kepala, menghilangkan segala kotoran dan lendir yang ada dikepala, menguatkan gigi, mempertajam penglihatan, menambah pahala kebaikan, memberi kegembiraan pada malaikat, ia sambut orang yang menjalani shalat dengan bersiwak dengan cahaya pada mukanya dan menemaninya saat keluar dari shalatnya, akan menerima buku catatan amal saat di akherat dengan tangan kanan, menyembuhkan penyakit kusta, membuat kekayaan berkembang, membuat banyak keturunan, menjadi penghibur saat dalam kuburnya kelak dan membuat rupa malaikat maut saat ajalnya tiba dengan rupa yang tanpan.

HIKMAH DALAM BERSIWAK

Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Sulaiman al-Qahiriy (w. 819 h) yang dikenal dengan sebutan az-Zahid dalam kitab Tuhfatu as-Sullaki fi Fadaili as-Siwaki, Daru al-Kutub al-Ilmiyah hal 52-55 mengatakan:

إن العبد مطلوب منه أن يكون في حال العبادة على أكمل الأحوال إظهاراً لشرف العبادة بالنسبة إلى المعبود والسواك مطهرة للفهم فشرع كالطهارات.

Sesungguhnya seorang hamba saat beribadah dituntut berada dalam keadaan paling sempurna secara nyata kerena kemuliaan ibadah itu jika dinisbatkan pada Dzat Yang disembah, sedangkan fungsi siwak adalah sebagai pensucian mulut, maka dari itu Siwak disyarikatkan (dianjurkan) sebagaimana Thaharah (bersesuci).

وقال بعض العارفين رحمهم الله: إنما جعل السواك تطييبا لمجارى ذكر الله تعالى كقراءة القرآن وفي ذلك تعظيم الله تعالى. وهذا يستدعي أن العبد لا يوقع نفسه في محرم من غيبة ونميمة وإعجاب وكذب وبهتان وأكل حرام وشهادة زور ونقص في كلام وغير ذلك من المنهيات، لأنه عظم الله تعالى حيث طهر مجاري ذكره من شيء لم يترتب على تركه عقاب فكيف يوقع نفسه في المعاصي الموبقات التي وعد الله تعالى فاعلها بالعذاب الأليم.

Sebagian Ahli Ma’rifat ra berkata: Dijadikannya Siwak sebagai alat pengharum (mulut) karena Siwak menjadi jalan dzikir pada Allah ﷻ seperti membaca al-Qur’an sebagai pengagungan pada Allah ﷻ. Hal ini dapat mendorong seorang hamba, agar dirinya tidak tarjatuh pada lembah keharaman seperti menggunjing orang lain, adu domba, congkak, bohong, ucapan yang dibuat-buat, makan suatu yang diharamkan, penyaksian palsu, memotong percakapan orang dan lain-lainnya dari segala yang dilarang. Karena sesungguhnya Siwak itu mengagungkan Allah ﷻ dari segi ia dapat mensucikan (membersihkan) jalan dzikir pada-Nya dari sesuatu yang tidak mendapat siksa bila ditinggalkan, lalu bagaimana bisa seorang hamba (yang bersiwak) terjerumus dalam lembah kemaksiatan yang tetap dimana Allah ﷻ telah mengancamnya dengan siksa yang pedih?

وقال بعضهم : الرجل الصالح هو القائم بما عليه من حقوق الله تعالى وحقوق العباد، والإنسان إذا استاك فقد قام بحق الله تعالى حيث مجاري ذكره وبحق العبد حيث أراحه حال مجالسه معه من شم رائحة كريهة. وهذا يستدعي أن العبد لايتهاون بطاعة الله تعالى عند أوامره ونواهيه كلها، ولا يؤذي أحدا من خلق الله تعالى لابيده ولا بلسانه، بكونه أزال عنهم مايؤذيهم من رائحة كريهة وبغير أعظم إذا.

Sebagian ulama berkata: “Orang laki-laki yang shaleh adalah ia yang telah melaksanakan hak-hak kepada Allah ﷻ dan hak-hak pada semua hamba-Nya dan manusia ketika telah bersiwak berarti ia telah melaksanakan hak Allah ﷻ dari segi jalan dzikir pada Allah ﷻ dan hak seorang hamba dari segi menghilangkan bau tidak sedap saat dalam perkumpulan bersama mereka. Hal ini mengajak seorang hamba agar jangan meremehkan ketaatan kepada Allah ﷻ ketika menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Jangan pernah menyakiti satu pun dari makhluk Allah ﷻ, tidak dengan tangan dan tidak dengan lisan dengan bersiwak berarti telah menghilangkan suatu yang menyakitkan berupa bau tidak sedap dan jika bisa melakukan dengan lainnya tentu akan lebih mulia.

وينبغي أن يقصد باستياكه وجه الله تعالى وإقامة سنة نبيه محمداً صلى الله عليه وسلم ولا يريد بها رياء ولا سمعة ولا منفعة لنفسه لكي يثاب على ذلك ويكون استياكه سببا لحصول المنافع ونيل الدرجات في العقبى.

Dan Sayogya dalam bersiwak berniat murni karena Allah ﷻ dan melaksanakan sunnah Nabi-Nya, Nabi Muhammad ﷺ. Jangan niat riya’, pamer dan untuk keperluan pribadi agar apa yang dilakukan mendapatkan pahala dan berharap bersiwak menjadi sebab hasilnya kemanfatan serta berakibat memperoleh derajat yang tinggi di sisi Allah ﷻ. Waallahu A’lamu

Penulis : Abdul Adzim

banner 700x350

No More Posts Available.

No more pages to load.