Syaichona.net- Orang-orang tua dulu di daerah kami selalu berpesan: “Jangan sekali-sekali kamu menjual rumah atau tanah warisan dari orang tua. Jika tidak, maka kamu dan anak keturunanmu selamanya tidak menemukan hidup makmur bahagia kecuali dalam keadaan terpaksa seperti kelaparan tiada lagi sesuatu yang bisa makan. Kalau terpaksa menjual, maka uang hasil menjual rumah atau tanah warisan harus dibelikan rumah atau tanah yang sepadan.”
Konon, kutukan itu benar-benar terjadi. Alkisah, ada salah satu tetangga disamping rumah hidupnya memperihatinkan. Rumah yang ditempati terlihat kumuh tidak terawat bahkan nyaris roboh. Bukan tidak ingin memperbaiki atau merenovasinya tapi biaya hidup yang tidak memungkinkan. Dia dan anak-anaknya setiap hari bahkan siang malam berusaha bekerja memenuhi kebutuhan hidup namun itu hanya cukup bisa di makan sehari-hari sepertinya tidak ada keberkahan dalam rezekinya padahal dia sekeluarga orang yang sholeh rutin dalam melakukan ibadah. Sholat, puasa dan lainnya.
Dan anehnya, orang-orang sekitarnya ramai mengkaitkan kehidupan perihatin keluarga itu dengan perilaku mitos yang pernah dilakukan sebelumnya, bahwa dahulu orang tuanya banyak menghabiskan atau menjual rumah dan tanah warisan. Kualat, kata orang jawa bilang.
Terlepas apakah kisah di atas mitos atau tidak, di beberapa hadits yang sempat penulis jumpai melegitimasi (membenarkan) rumor tersebut. Jika mengacu pada temuan beberapa hadits tersebut, berarti orang-orang tua dahulu tidak asal berbicara mengenai hal itu. Mereka memberikan pesan kepada anak-anaknya berdasarkan ilmu yang diperoleh dari ulama setempat yang hidup di zamannya, meski hanya dari pelantaraan mendengarkan atau ngaji kupingangan alias mustami’an kata anak-anak Santri. Berikut beberapa hadits dan penjelasannya:
Syaikh Abu bakar Ahmad bin Husain bin Ali bin Abdullah al-Khurazani al-Baihaqi (w. 458 h) dalam kitab as-Sunan al-Kubra, bab “Maa Jaa fi Bai’i al-Iqar” mencatat:
• أخبرنا أبو الحسين بن بشران العدل ببغداد ثنا أبو جعفر محمد بن عمرو الرزاز ثنا يحيى بن جعفر ثنا وهب بن جرير ثنا شعبة عن يزيد بن أبي خالد عن أبي عبيدة عن حذيفة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “مَنْ بَاعَ دَارًا وَلَمْ يَشْتَرْ بِثَمَنِهَا دَارًا لَمْ يُبَارَكَ لَهُ فِيْهَا أَوْفِىْ شَيْءٍ مِنْ ثَمَنّهَا”.
Artinya: Abu al-Hasan Bisyran al-Adil di Bagdad mengkhabarkan hadits pada kami, Abu Ja’bar Muhammad bin Amr ar-Razaz, Yahya bin Ja’far, Wahab bin Jarir Sya’ibah dari Yazid bin Abi Khalid Abi ‘Ubaidah dari Hudaifah—radliyallahu ‘anhu— meriwayatkan hadits pada kami, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa menjual rumah dan tidak membelikan rumah pengganti dari hasil penjualannya, maka baginya tidak akan mendapat keberkahan dalam penjualannya atau sesuatu dari hasil penjualannya” (HR. Al-Baihaqi).
• أخبرنا أبو عبد الله الحافظ أنبأ أبو أحمد بكر بن محمد الصيرفي ثنا محمد بن موسى بن حاتم ثنا علي بن الحسن بن شقيق ثنا أبو حمزة عن عبد الملك بن عمير عن عمر بن حريث عن أخيه سعيد بن حريث أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “مَنْ بَاعَ دَارًا أَوْ عَقَارًا فَلَمْ يَجْعَلْ ثَمَنَهُ فِي مِثْلِهِ لَمْ يُبَارَكَ لَهُ فِيْهَا”.
Artinya: Abu Abdullah al-Hafidz mengkabar hadits pada kami, Ahmad Bakr bin Muhammad ash-Shairafi, Muhammad bin Musa bin Hatim, Ali bin al-Hasan bin Syaqiq, Abu Hamzah menceritakan hadits kepada kami dari Abdul Malik bin Umair dari Amr bin Huraits—radliyallahu ‘anhu— dari saudaranya Said bin Huraits—radliyallahu ‘anhu—, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa menjual rumah atau tanah, kemudian tidak menggunakan hasil penjualannya untuk membeli yang sejenisnya, maka baginya tidak akan mendapat keberkahan dalam penjualannya” (HR. Al-Baihaqi).
• وأخبرنا أبو طاهر الفقيه أنبأ أبو طاهر محمد بن الحسن المحمد آباذي ثنا العباس بن محمد الدوري ثنا عبيد الله بن عبد المجيد الحنفي ثنا إسماعيل بن إبراهيم بن مهاجر حدثني عبد الملك بن عمير عن عمرو بن حريث عن أخيه سعيد بن حريث قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “مَنْ بَاعَ دَارًا أَوْ عَقَارًا فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ قَمِنٌ أَنْ لَا يُبَارَكَ فِيهِ إِلاَّ أَنْ يْجَعَلَهُ فِيْ مِثْلِهِ”.
Artinya: Abu Thahir al-Faqih mengkabarkan hadits pada kami, Abu Thahir Muhammad bin al-Hasan al-Muhammad Abadzi, al-Abbas bin Muhammad ad-Duwri, Ubaidillah bin Abdul Majid al-Hanafi, Ismail bin Ibrahim bin Muhajir meriwayatkan hadits pada kami, Abdul Malik bin Umair meriwayatkan hadits kepadaku dari Amr bin Huraits—radliyallahu ‘anhu— dari saudaranya Said bin Huraits—radliyallahu ‘anhu—, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa menjual rumah atau tanah, maka ketahuilah selayaknya dia tidak akan mendapat keberkahan dalam penjualannya kecuali menggunakan hasil penjualannya itu untuk membeli yang sejenisnya.” (HR. Al-Baihaqi).
• أخبرنا أبو محمد عبد الله بن يحيى بن عبد الجبار السكري ببغداد أنبأ أبو بكر محمد بن عبد الله الشافعي ثنا جعفر بن محمد بن الأزهر ثنا المفضل بن غسان الغلابي حدثني شيخ من بنى تميم أن ابن عيينة قال في تفسير هذا الحديث من باع دارا ولم يشتر من ثمنها دارا لم يبارك له في ثمنها – قال سفيان أن الله يقول (وبارك فيها وقدر فيها أقواتها) يقول فلما خرج من البركة ثم لم يعدها في مثلها لم يبارك له.
Artinya: Abu Muhammad Abdullah bin Yahya bin Abdul Jabbar as-Sukkari mengkabarkan hadits kepada kami di Baghdad, Abu Bakar bin Muhammad bin Abdullah asy-Syafi’i, Ja’far bin Muhammad az-Azhari, al-Mufadhdhal bin Ghassan al-Ghalabi, Syaikh dari suku Tamim menceritakan hadits padaku. Bahwa Ibnu ‘Uyainah, ia pernah berkata saat menafsiri hadits: “Barang siapa menjual rumah dan tidak membelikan rumah pengganti dari hasil penjualannya, maka baginya tidak akan mendapat keberkahan dalam penjualannya.” Sufyan berkata: Sesungguhnya Allah ﷻ berfirman:
وَبٰرَكَ فِيْهَا وَقَدَّرَ فِيْهَآ اَقْوَاتَهَا
Artinya: “Dan kemudian Dia berkahi, dan Dia tentukan makanan-makanan (bagi penghuni)nya…” (QS. Fussilat: 10). Ia (Sufyan) berkata: Bila seorang mengeluarkan keberkahan kemudian ia tidak mengembalikan (mengganti) dengan sesamanya, maka baginya tidak akan mendapat keberkahan.”
Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini (w. 273 h) yang dikenal dengan sebutan Ibnu Majah dalam kitab Sunannya juga mencatat hadits yang senada:
حدثنا ابو بكر بن ابي شيبة، قال: حدثنا وكيع، قال: حدثنا إسماعيل بن إبراهيم بن مهاجر، عن عبد الملك بن عمير، عن سعيد بن حريث ، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:” مَنْ بَاعَ دَارًا أَوْ عَقَارًا فَلَمْ يَجْعَلْ ثَمَنَهُ فِي مِثْلِهِ كَانَ قَمِنًا أَنْ لَا يُبَارَكَ فِيهِ”.
Artinya: Abu bakar bin Abi Syaibah meriwayatkan hadits pada kami, ia berkata: Waki’ meriwayatkan hadits pada kami, ia berkata: Ismail bin Ibrahim bin Muhajir meriwayatkan hadits dari Abdul Malik bin Umair dari Said bin Huraitsi—radliyallahu ‘anhu—, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa menjual rumah atau tanah, kemudian tidak menggunakan hasil penjualannya untuk membeli yang sejenisnya, maka baginya dia tak layak mendapatkan berkah” (HR. Ibnu Majah, hadits hasan).
Syaikh Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari (w. 1014 h) dalam kitab Muqatu al-Mafatih Syarah kitab Misykatu al-Mashabih karya Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Khatib at-Tabrizi (w.741 h) menjelaskan maksud dari hadits Ibnu Majah mengatakan:
أن لا يبارك له أي للبائع من غير ضرورة حتى أن قال— قال المظهر: يعني بيع الأرض والدور وصرف ثمنها في المنقولات غير مستحب لأنها كثيرة المنافع قليلة الآفة لا يسرقها سارق ولا يلحقها غارة، بخلاف المنقولات، فالأولى أن لاتباع، وإن باعها فالأولى صرف ثمنها إلى أرض أو دار.
Maksud dari sabda Nabi ﷺ “Maka baginya dia tak layak mendapatkan berkah” adalah bagi si penjual dalam kondisi tidak terpaksa (darurat). Syaikh al-Mudhhar mengatakan: “Bahwa tidak disunahkan menjual pekarangan atau rumah dan harga hasil penjualannya digunakan membeli sesuatu (aset) yang bergerak karena pekarangan atau rumah itu banyak manfaatnya sedikit resikonya, tidak akan dicuri dan tidak akan dirampok orang berbeda dengan harta (aset) yang bergerak. Selayaknya jangan pernah menjualnya. Jika terpaksa harus menjualnya, maka uang hasil penjualnya sayogya digunakan membeli pekarangan atau rumah lagi.
Syaikh Muhammad Abdurrauf al-Manawi (w. 1031 h) dalam kitab Faidhu al-Qadir Syarah kitab al-Jami’ ash-Shaghir min Ahaditsi al-Basyiri an-Nadzir saat menjelaskan hadits Hudaifah —radliyallahu ‘anhu—, mengatakan:
لأنها ثمن الدنيا المذمومة وقد خلق الله الأرض وجعلها مسكنا لعباده وخلق الثقلين ليعبدوه وجعل ما على الأرض زينة لهم { لنبلوهم أيهم أحسن عملا } فصارت فتنة لهم { إلا من رحم ربك } فعصمه وصارت سببا للمعاصي فنزعت البركة منها فإذا بيعت وجعل ثمنها متجرا لم يبارك له في ثمنها ولأنه خلاف تدبيره تعالى في جعل الأرض مهادا . وأما إذا جعل ثمنها في مثلها فقد أبقى الأمر على تدبيره الذي هيأه له فيناله من البركة التي بارك فيها فالبركة مقرونة بتدبيره تعالى لخلقه.
Karena harta hasil penjualannya tergolong harta dunia yang tercela. Sungguh Allah ﷻ telah menciptakan Bumi dan menjadikanya tempat kediaman hamba-hamba-Nya, menjadi Manusia dan Jin agar menyembah-Nya serta menjadikan sesuatu yang ada di atas Bumi sebagai hiasan bagi mereka. Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Al-Kahfi: 7). Maka (menjual tanah atau rumah) menjadi fitnah (ujian) bagi mereka kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. (QS. Hud: 119). Maka Allah ﷻ menjaganya dan hal itu akan menjadi penyebab kemaksiatan mereka lalu Allah ﷻ akan mencabut keberkahan darinya. Dari itu ketika (tanah atau rumah) dijual dan uang hasil penjualannya dijadikan modal berniaga, maka tidak akan mendapat keberkahan baginya karena hal itu menyalahi tatanan Allah ﷻ, di mana Allah ﷻ telah menjadikan bumi tempat pembaringan (istirahat). Adapun ketika uang hasil penjualannya dibelikan suatu yang sama, sungguh ia telah mengikuti tatanan yang Allah ﷻ tetapkan padanya. Maka Ia akan memperoleh keberkahan Bumi yang telah diberkahi. Barokah itu bergandengan dengan tatanan Allah ﷻ yang ditetapkan pada makhluk-Nya.
Kemudian dalam kitab yang sama Syaikh Muhammad Abdurrauf al-Manawi saat menjelaskan hadits:
مَنْ بَاعَ عَقْرَ دَارٍ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ سَلَّطَ اللهُ عَلَى ثَمَنِهَا تَالِفًا يُتْلِفُهُ. (طس) عن معقل بن يسار – (ح)
Artinya: “Barang siapa menjual tanah pekarangan tidak dalam keadaan darurat, maka Allah ﷻ menguasakan pada suatu yang merusak untuk memusnahkan harta hasil penjualannya.” (HR. Ath-Thabrani dalam kitab al-Ausath, Hasan). Yang termaktub dalam kitab al-Jami’ ash-Shaghir min Ahaditsi al-Basyiri an-Nadzir karya Syaikh Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi (w. 911 h) menambahkan:
لما سبق تقريره ولأن الإنسان يطلب منه أن يكون له آثار في الأرض، فلما محى أثره ببيعها رغبة في ثمنها جوزي بفواته. وهذا مشاهد، فالإنسان لا يزال ينتفع بعقاره ويحصل له ريعه ما دام باقيا فإذا باعه تصرم ثمنه. قال في الكاشف: أخذ معاوية في إحياء أرض في آخر أمره، فقيل له: ما حملك على هذا؟ فقال: ما حملني عليه إلا قول القائل:
لَيْسَ الفَتَى بِفَتيً لَا يُسْتَضَاءُ بِهِ … وَلَا تَكُونُ لَهُ فِى الأَرْضِ آثَارُ
وكان ملوك فارس قد أكثروا من حفر الأنهار وغرس الأشجار وعمروا مع ما فيهم من العسف، فسأل بعض الأنبياء ربه عن سبب تعميرهم، فأوحى الله إليه أنهم عمروا بلادي فعاش فيها عبادي.
“Selain apa yang telah dipaparkan dimuka (tentang alasan ketidak berkahan menjual tanah pekarangan atau rumah), manusia juga diperintahkan menciptakan peninggalan yang bermanfaat di muka Bumi. Ketika peninggalan itu dilenyapkan dengan cara dijual semata karena menginginkan harta hasil penjualannya, maka efeknya adalah hilangnya keberkahan itu. Ini terbukti, karena ketika manusia senantiasa mengambil manfaat dari tanah pekarangannya dan memetik hasilnya selama tanah pekarangan itu masih menjadi miliknya. Maka ketika tanah pekarangan itu dijual, lenyaplah semua harta penghasilannya (tentu lenyap pula barokahnya).
Adz-Dzahabi mengatakan dalam kitab al-Kasysyaf karyanya: Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sofyan ra pernah membuka lahan bumi mati (bumi tidak bertuan) di akhir pemerintahannya. Lalu ada yang bertanya pada beliau: Apa yang mendorongmu berbuat hal ini? Mu’awiyah bin Abi Sofyan ra menjawab: “Tidak ada yang mendorongku untuk melakukannya kecuali berdasarkan sebuah ucapan:
لَيْسَ الفَتَى بِفَتَى لَا يُسْتَضَاءُ بِهِ … وَلَا تَكُونُ لَهُ فِى الأَرْضِ آثَارُ
Tidaklah seorang pemuda disebut pemuda, jika ia tidak bisa bersinar dengannya
Dan tidak memiliki peninggalan yang patut dikenang di muka Bumi.
Raja-raja Persia telah menggalakan penggalian sungai-sungai, menanam pepohonan dan memakmurkan Bumi meski di dalamnya sertai kediktatoran. Lantas sebagian Nabi-nabi mereka bertanya pada Tuhan tentang alasan mereka memakmurkan Bumi. Kemudian Allah ﷻ menurunkan wahyu padanya: “Sesungguhnya mereka (Raja-raja Persia) memakmurkan Negeri-negeriku, maka hiduplah semua hamba-hambaku di dalamnya.”
Terakhir Al-Imam Syihafuddin Abu Al-Fadhal Ahmad bin Ali bin Muhammad Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 h) dalam kitab Fathu al-Bari Syarhu Shahih al-Bukhari mengatakan:
وفي بركة العقار والأرض لما فيه من النفع العاجل والآجل بغير كثير تعب ولا دخول في مكروه كاللغو الواقع في البيع والشراء.
“Adanya keberkahan (memiliki) pekarangan dan Bumi karena di dalamnya terdapat kemanfaatan baik yang langsung atau yang tidak langsung tanpa harus banyak mengeluarkan tenaga dan aman dari resiko yang tidak diinginkan seperti kekecewaan yang terjadi dalam jual beli.
Nb: Ditinjau dari dhahir beberapa hadits yang telah dipaparkan, bisa disimpulkan bahwa arahan hadits-hadits tersebut bersifat universal (umum) tidak hanya fokus pelarangan menjual aset berupa tanah atau rumah warisan orang tua tapi juga berlaku pada penjualan semua aset tanah atau rumah hasil keringat sendiri dalam kondisi tidak dalam keadaan darurat dan mendesak untuk menjualnya.
Waallahu A’lamu
Penulis : Abdul Adzim
Publisher : Fakhrul
Referensi:
✍️ Syaikh Abu bakar Ahmad bin Husain bin Ali bin Abdullah al-Khurazani al-Baihaqi| As-Sunan al-Kubra| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 6 hal 55-56.
✍️ Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini| Sunan Ibnu Majah| Maktabah al-Muaraf lin-Natsri wa at-Tawzi’ li Shahibiha Said bin Abdurrahman ar-Rasyid, ar-Riyaadh hal 425.
✍️ Syaikh Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari| Muqatu al-Mafatih Syarah kitab Misykatu al-Mashabih| Daru al-Kutub al-Ilmiyah Juz 6 hal 148.
✍️ Syaikh Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi| Al-Jami’ ash-Shaghir min Ahaditsi al-Basyiri an-Nadzir| Daru al-Kutub al-Ilmiyah Juz 6 hal 520.
✍️ Syaikh Muhammad Abdurrauf al-Manawi| Faidhu al-Qadir Syarah kitab al-Jami’ ash-Shaghir min Ahaditsi al-Basyiri an-Nadzir| Daru al-Kutub al-Ilmiyah Juz 6 hal 113-115.
✍️ Al-Imam Syihafuddin Abu Al-Fadhal Ahmad bin Ali bin Muhammad Ibnu Hajar al-Asqalani|Fathu al-Bari Syarhu Shahih al-Bukhari| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 6 hal 191-192.