Syaichona.net- Syaikh Prof. Dr. Muhammad Abu Zuhroh (w. 1394 H/1974 M) mengatakan bahwa faktor utama perpecahan ditubuh umat Islam adalah karena sikap fanatisme.
Mengapa demikian, apa kira-kira alasannya?
Pertama, menurut beliau karena Islam sendiri memerangi (tidak memperkenankan) sikap fanatisme, Allah SWT berfirman:
ياأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر و أنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا، إن أكرمكم عند الله أتقاكم ، إن الله عليم خبير.
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia diantara kalian ialah orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya Allah SWT yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurot 49: Ayat 13).
Berangkat dari ayat ini setidaknya ada tiga poin yang dipetik:
Pertama, dalam Ayat: “ياأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى” Allah SWT memberitahukan bahwa penciptaan manusia (baik laki-laki atau perempuan) semuanya bermuara pada Nabi Adam As dan Hawwa’ As.
Dalam hal ini selaras dengan apa yang pernah disampaikan al-Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) dalam kitabnya at-Tafsiru al-Kabir,
(ياأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى) فيه وجهان: أحدهما من آدم وحواء…الى أن قال… فان قلنا أن المراد هو الأول، فذلك إشارة إلى أن لا يتفاخر البعض على البعض لكونهم أبناء رجل واحد، وامرأة واحد.
Artinya: “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, kemudian dijelaskan oleh beliau bahwa dalam Ayat ini terdapat dua pandangan:
Pertama, diartikan bahwa yang dimaksud lafadz ذكر dan أنثى adalah Nabi Adam As dan Hawwa’ As. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak boleh satu sama lainnya menyombongkan diri karena semuanya berasal dari satu laki-laki (Nabi Adam As) dan satu wanita (Hawwa’ As).
Kedua, dalam Ayat “وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا” memberitahukan bahwa setelah Allah SWT menyebarkan laki-laki dan perempuan di muka bumi dalam jumlah yang sangat banyak, kemudian Allah SWT menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku tiada lain tujuannya agar bisa saling mengenal. Dengan saling mengenal satu sama lain tentu akan muncul sikap saling tolong-menolong , bantu-membantu dan saling memenuhi hak-hak sesama.
Dalam hal ini juga selaras dengan yang disampaikan al-Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) dalam kitabnya at-Tafsiru al-Kabir,
(وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا) ثم بين فائدة ذلك وهي التعارف وفيه وجهان: أحدهما: أن فائدة ذلك التناصر لا التفاخر. وثانيهما: أن فائدته التعارف لا التناكر.
Artinya: “Dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal, kemudian Allah SWT menjelaskan faedah Ayat ini yaitu at-Taa’ruf (saling mengenal). Dan arti at-Taa’ruf sendiri memiliki dua pengertian: Pertama, dengan artian saling tolong-menolong dan tidak saling menyombongkan diri. Kedua, dengan artian saling mengenal dan tidak saling bermusuhan.
Ketiga, dalam Ayat (إن أكرمكم عند الله أتقاكم) Allah SWT menjelaskan bahwa semuanya di mata satu sama lainnya adalah sama dan setara. Dan yang mampu membedakannya hanyalah derajat ketakwaannya. Rasulullah SAW bersabda,
(من أحب أن يكون أكرم الناس فليتق الله). والتقوى معناه مراعاة حدود الله تعالى أمرا ونهيا.
Artinya: “Barang siapa yang ingin menjadi manusia paling utama, maka bertakwalah pada Allah SWT.” Takwa artinya: menjaga batas-batas Allah SWT baik berupa perintah atau larangan.
Kemudian alasan selanjutnya adalah hadist Nabi SAW:
“ليس منا من دعا إلى عصبية.”
Artinya: “Tidak termasuk golonganku orang yang mengajak pada kefanatikan.”
Syaikh al-Manawi (w. 1031 H) dalam kitabnya Faidu al-Qodir mensyarahi hadist tersebut,
أي من يدعو إلى الاجتماع على عصبية وهي معاونة الظالم.
Artinya: “Orang yang mengajak bersama-sama untuk melakukan kefanatikan yaitu menolong dalam kedzaliman.”
Alhasil, dalil pertama sudah sangat jelas dan tegas bahwa Allah SWT menciptakan manusia dari satu laki-laki dan satu perempuan (nabi Adam As dan Hawwa’ As) dan menjadikan mereka mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku tiada lain agar mereka saling mengenal, hidup rukun, saling menghargai satu sama lain jauh dari sikap fanatisme yang dapat melahirkan kebencian, kedzaliman, permusuhan kepada sesama umat manusia dengan mengatasnamakan suku, ras, agama, dan lain sebagainya yang pada akhirnya akan merusak tatanan kehidupan manusia. Dalil kedua juga demikian bahwa Nabi SWT dengan sangat tegas mengecam umatnya, tidak termasuk golonganku jika mereka mengajak kefanatikan. Kira-kira demikian alasan Syaikh Abu Zuhroh terkait sikap fanatisme.
Lantas, apakah sikap fanatisme akan selalu di nilai tindakan yang negatif dalam Islam dan menjadi sumber perepecahan umat islam sebagaimana statement Syaikh Abu Zuhroh? Mengingat juga banyak dari berbagai kalangan pada umumnya ketika membicarakan tentang fanatisme selalu disikapi suatu hal yang negatif atau hal yang dapat melahirkan dampak-dampak neganif.
So, mari kita kaji lagi secara mendalam, apakah benar demikian? Sebenarnya kalau kita mau angan-angan kembali alasan di atas yang tidak membolehkan sikap fanatisme jika sikap fanatisme itu sendiri ditempatkan tidak pada tempatnya dengan artian mutlak tidak diperbolehkan.
Bukti konkritnya adalah sesuai dengan apa yang disampaikan Al-Imam Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450 H) dalam kitabnya al-Hawi al-Mawardi fi Fiqhi as-Syafi’i, beliau tidak secara mutlak melarang sikap fanatisme, pertama sebelum mengklarifikasi, beliau terlebih dahulu memberikan definisi atau pengertian dari sikap fanatisme itu sendiri, fanatisme adalah sangat cendrung terhadap suatu kaum atau suatu golongan. Selanjutnya baru beliau mengklarifikasi fanatisme itu sendiri menjadi dua macam: Pertama, fanatik terhadap suatu golongan tanpa memandang apakah pihak yang didukungnya benar atau malah sebaliknya keliru. Sehingga sikap fanatik yang demikian dihukumi haram oleh al-Imam al-Mawardi. Dan tidak diterima persaksiannya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT,
المنافقون والمنافقات بعضهم من بعض يأمرون بالمنكر وينهون عن المعروف. (التوبة: 67).
Artinya: “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian lainnya mereka memerintahkan kemunkaran dan melarang kebaikan.”
Kedua, fanatik yang hanya ditujukan terhadap hal yang hak dan menolak kebatilan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman,
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الاثم والعدوان. (المائدة: 2).
Artinya: “Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa. Dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Lalu di akhir pembahasannya tentang ‘ashabiyah (fanatisme), beliau al-Imam al-Mawardi memberikan closing statemen berikut,
ثم تعتبر هذه العصبية. فإن كانت لمحبة القوم فهي مباحة، وإن كانت لنصرة الحق فهي مستحبة.
Artinya: “’fanatisme (‘ashabiya) yang kedua ini hukumnya boleh kalau hanya sebatas mencintai suatu golongan. Namun jika kefanatikanya dalam rangka memperjuangkan kebenaran maka hukumnya disunnahkan.”
Berangkat dari statement yang beliau sampaikan dapat disimpulkan, bahwa sikap fanatisme akan dinilai positif jika ditujukan pada kebenaran bahkan sebuah keharusan jika fanatisme terhadap kebenaran mutlak seperti agama Islam, Allah SWT dan Rasul-Nya karena fanatisme pada agama adalah sebuah keniscayaan dan justru akan dinilai meragukan jika tidak tertanam rasa fanatisme terhadap agamanya sendiri. Namun sebaliknya, jika fanatisme ditujukan pada kebatilan dan kedzaliman maka disitulah yang menjadi penyebab larangnya sikap fanatisme.
Wallauhu A’lam Bishawab.
Penulis : Rido Santoso al-Bangkawi
Editor : Abdul Adzim
Publisher : Fakhrul
Referensi:
• Tarikhul-Madzahib al-Islamiyyah, Syaikh Muhammad Ahmad Musthafa Abu Zuhroh, hal. 12. Cetakan, Daru al-Fikr al-Arobi.
• At-Tafsiru al-Kabir, al-Imam Fakhruddin al-Rozi, juz, 28, hal. 117-118, Cetakan Darul Kutub Ilmiah.
• Tafsiru al-Qurthubi, al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Quthubi, juz. 16, hal. 225, cetakan Darul Kutub Ilmiah.
• Faidul al-Qodir, Muhammad Abdurrauf Manawi, juz. 5, hal. 468, cetakan Darul Fikr.
Al-Hawi al-Mawardi fi Fiqhi as-Syafi’i, Al-Imam Abu al-Hasan al-Mawardi, juz. 17, hal. 201, Maktabah Syamilah.