“Bagi yang pernah sampai ke Tanah Suci, tepatnya di Masjid an-Nabawai, Madinah al-Munawwarah pasti mengenal Qubah al-Hadzara’ atau Qubah Hijau. Bila seorang melihat ke atap Qubah tersebut dari jarak jauh, sepintas akan tampak gundukan kecil menempel di atas atap. Konon menurut rumor yang beredar di sana itu adalah mayat seorang pria yang mencoba naik ke atas Qubah dengan tujuan yang kurang baik. lalu Allah ﷻ mengadzabnya hingga mati mengenaskan disambar petir padahal di pada saat itu di Madinah sedang dalam musim kemarau. Anehnya lagi, mayat pria itu tidak bisa diturunkan ke bawah alias melekat pada atap Qubah meski diangkat oleh banyak orang. Walhasil, akhirnya mayat pria tersebut dibiarkan mengering di atas atap Qubah, tidak dikubur hingga sekarang. Alasannya menurut satu informasi sebagai peringatan bagi yang lain agar jangan pernah coba-coba melakukan hal sama seperti yang dilakukan pria nahas itu.” Begitulah kisah singkat teman saya—alumnus Madinah saat menceritakan pengalamannya ketika menjadi pelajar di Madinah al-Munawwarah—tempo hari.
Meski pun ceritanya asyik didengarkan karena belum pernah mendengar atau membaca kisah tersebut, saya sendiri kurang begitu percaya dengan kisah tersebut. Menurut saya sedikit janggal dan irasional.
Tadi siang tanpa sengaja, menemukan sejarah lengkap tentang pembangunan Masjid an-Nabawi berikut sejarah dibuatnya Qubah al-Hadzara’ atau Qubah Hijau. Namun kali ini, lebih spesial dan relevan menurut saya bila kita membedah mesteri rumor di atas melalui pisau litelatur ulama:
1- Sebuah Atsar dari Imam ad-Darimiy [¹] dalam kitab Sunannya Bab Ma Akramallah Ta’la Nabiyyahu Be’da Mautuhi yang kemudian dimuat dalam salah satu kitab Misykatu al-Misbah karya al-Imam al-Alamah Muhammad Abdullah al-Khatib at-Tabriziy (w. 741 h) yang syarahi oleh al-Alamah asy-Syaikh Ali bin Sulthan Muhammad al-Qariy (w. 1014 h) yang diberi nama kitab Muraqatu al-Mafatih.
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَالِكٍ النُّكْرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْجَوْزَاءِ أَوْسُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قُحِطَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ قَحْطًا شَدِيدًا فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ انْظُرُوا قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاجْعَلُوا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى لَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ قَالَ فَفَعَلُوا فَمُطِرْنَا مَطَرًا حَتَّى نَبَتَ الْعُشْبُ وَسَمِنَتْ الْإِبِلُ حَتَّى تَفَتَّقَتْ مِنْ الشَّحْمِ فَسُمِّيَ عَامَ الْفَتْقِ. رواه الدارمي.
Abu Nu’man telah menceritakan kepada kami, Sa’id bin Zaid telah menceritakan kepada kami, Umar bin Malik an-Nukri telah menceritakan kepada kami, Abu al-Jauza` Aus bin Abdullah telah menceritakan kepada kami, ia berkata: “Suatu hari penduduk Madinah dilanda kekeringan yang sangat hebat, dan saat itu mereka mengadu kepada Sayyidah Aisyah—Radliyallahu’anha—, kemudian ia berkata: “Pergilah ke kubur Nabi ﷺ, buatlah lubang ke arah langit dan jangan sampai ada atap diantaranya dengan langit. Kemudian Abu al-Jauza` melanjutkan kisahnya: ” kemudian masyarakat Madinah melakukan apa yang diperintahkan Sayyidah Aisyah—Radliyallahu’anha—, setelah itu, turunlah hujan dan rerumputan pun tumbuh dan ternak-ternak menjadi sehat. Karenanya tahun tersebut disebut dengan tahun kemenangan”. (HR. Ad-Daramiy).
Al-Alamah asy-Syaikh Ali bin Sulthan Muhammad al-Qariy (w. 1014 h) dalam kitabnya Muraqatu al-Mafatih menjelaskan:
هذا وقد قيل في سبب كشف قبر النبي – صلى الله عليه وسلم – : إن السماء لما رأت قبر النبي – صلى الله عليه وسلم – سأل الوادي من بكائها . قال تعالى : فما بكت عليهم السماء والأرض حكاية عن حال الكفار ، فيكون أمرها على خلاف ذلك بالنسبة إلى الأبرار ، وقيل : إنه – صلى الله عليه وسلم – كان يستشفع به عند الجدب فتمطر السماء ، فأمرت عائشة – رضي الله عنها – بكشف قبره مبالغة في الاستشفاع به ، فلا يبقى بينه وبين السماء حجاب . أقول : وكأنه كناية عن عرض الغرض المطلوب بتوجهه إلى السماء ، وهي قبلة الدعاء ومحل رزق الضعفاء ، كما قال تعالى : وفي السماء رزقكم.
“Atsar ini, sungguh telah dikatakan: Sebab musabab di bukanya (atap) makam Nabi ﷺ adalah bahwa langit ketika melihat makam Nabi ﷺ lembah-lembah mengalirkan air karena menangisanya. Allah ﷻ berfirman:
فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ ٱلسَّمَآءُ وَٱلْأَرْضُ وَمَا كَانُوا۟ مُنظَرِينَ
Artinya: “Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi penangguhan waktu.” (QS. Ad-Dukhan: 29).
Ayat ini menceritakan tentang keadaan orang-orang Kafir, maka tentu keadaan langit dan bumi berbeda ketika dikaitakan dengan orang-orang yang berbuat baik.
Dikatakan juga bahwa penyebab atap itu dibuka, berharap Nabi ﷺ memberikan pertolongan ketika kegersangan melanda (Madinah) hingga turunlah hujan dari langit. Maka dari itu Sayyidah Aisyah—Radliyallahu’anha— memerintahkan membuka (atap) pusara Nabi berharap agar lebih cepat mendapat pertolongan Nabi ﷺ hingga tidak ada lagi penghalang antara Nabi dan langit. Menurutku: “Atsar ini merupakan Kinayah (kiasan) dari kata menampakan target yang diminta dengan cara menghadapkan makam Nabi ke langit yaitu Qiblatnya doa dan rezekinya orang-orang yang lemah sebaimana yang firmankan Allah ﷻ:
وَفِى السَّمَآءِ رِزۡقُكُمۡ وَمَا تُوۡعَدُوۡنَ
Artinya “Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS. Adz-Dzariyat: 22).
2- Syaikh al-Alamah Nuruddin Ali Ahmad as-Samhudiy (w. 911 h) dalam kitabnya Wafa al-Wafa bi Akhbari Dari al-Mushtofa setelah menyebutkan Atsar al-Imam Abi Mumma d-Daramiy dengan sanad Abi al-Jawza’ mengutip riwayat Ibnu al-Jawziy dalam al-Wafa’, beliau mengatakan:
قال الزين المراغي: و اعلم أن فتح الكوة عند الجدب سنة أهل المدينة حتى الآن، يفتحون كوة في سفل قبة الحجرة: أي القبة الزرقاء المقدسة من جهة القبلة، و إن كان السقف حائلا بين القبر الشريف و بين السماء.
قلت: وسنتهم اليوم فتح الباب المواجه للوجه الشريف من المقصورة المحيطة بالحجرة، و الاجتماع هناك، و اللّه أعلم.
Syaikh az-Zain al-Maraghi (w. 816 h) menyatakan: “Ketahuilah, bahwa membuka lubang Qubah ketika kemarau adalah sunnah (tradisi) penduduk Kota Madinah hingga sekarang (yakni hingga ke zaman penulis). Mereka membuka lubang pada Qubah yang menaungi hujrah (kamar makam Nabi ﷺ ) yaitu Qubah Biru (sebelum dibangun Qubah Hijau) yang disucikan—dari arah Qiblat. Meski pun di antara makam Nabi ﷺ dengan langit hanya dihalang oleh atap.
Aku berkata: “Sedangkan tradisi mereka sekarang (zaman penulis) membuka pintu yang menghadap pada wajah Nabi ﷺ dari sekat pembatas yang menutup kamar makam Nabi ﷺ dan mereka berkumpul di sana.
3- Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (w. 1304 h) setelah menjelaskan bolehnya hukum bertawassul pada Nabi ﷺ dan mengutip pernyataan as-Samhudiy di atas dalam kitabnya ad-Durar as-Saniyah fi ar-Raddi ala al-Wahabiyah menambahkan:
وليس القصد الا التوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم والاستشفاع به إلى ربه لرفعة قدره عند الله وقال أيضا في خلاصة الوفاء أن التوسل والتشفع به صلى الله عليه وسلم وبجاهه وبركته من سنن المرسلين وسيرة السلف الصالحين اه. وذكر كثير من علماء المذاهب الأربعة في كتب المناسك عند ذكرهم زيارة النبي صلى الله عليه وسلم أنه يسن للزائر أن يستقبل القبر الشريف ويتوسل به إلى الله تعالى في غفران ذنوبه وقضاء حاجاته ويستشفع به صلى الله عليه وسلم.
“Berkumpulnya mereka di sana, tiada lain tujuannya hanya untuk bertawassul pada Nabi ﷺ dan memohon syafaat (pertolongan) pada Allah ﷻ dengan pelantaraan Nabi ﷺ karana keluhuran derajatnya di sisi Allah ﷻ. Syaikh s-Samhudiy juga berkata dalamnya Khalasatu al-Wafa’: Bahwa Tawassul dan memohon syafaat (pertolongan) dengan pelantaraan, keagungan dan berkah Nabi ﷺ merupakan sunah (kebiasaan) para Rasul dan perilaku Salafus Shaleh. Para ulama dari kalangan madzhab yang empat telah banyak menuturkan dalam kitab-kitab Manasik Haji saat mereka menjelaskan tentang ziarah ke makam Nabi ﷺ, bahwa disunahkan bagi para penziarah agar menghadap ke arah makam Nabi ﷺ yang mulia, bertawassul dan memohon syafaat (pertolongan) dengan pelantaraan Nabi ﷺ kepada Allah ﷻ agar segenap dosanya diampuni dan segala hajatnya dikabulkan.
4- Selanjutnya As-Sayyid Ja’far bin as-Sayyid Ismail al-Madaniy al-Barzanjiy (w. 1177 h) dalam kitabnya Nuzhatu an-Nadzirin fi Masjidi Sayyidu al-Awalin wa Al-Akhirin mengatakan:
وقال السيد السمهودي ثم أن الشجاعي شاهين الجمالي لما بنى أعالي القبة الخضراء اتخذ في ذلك كوة عليها شباك حديد ثم فتح كوة في محاذاتها بالقبة السفلى المتخدة بدل سقف الحجرة الشريفة وجعل على هذه الكوة شبّاكا أيضا وجعل على هذا الشباك بابا يفتح عن الاستسقاء للجدب أي فليس بالقبة ( الداخلية السفلى ) فتحة غير الكوة المذكورة.
As-Sayyid as-Samhudiy mengatakan: “Kemudian bahwa ketika as-Suja’iy Sahin al-Jumaliy membangun bagian atas Qubah Hijau, ia membuat lubang yang dipasang jendela dari besi lalu membuka lubang (Qubah Hijau) yang lurus dengan Qubah (Biru) di bawahnya. Yaitu Qubah yang dibangun sebagai ganti atap kamar makam Nabi ﷺ yang mulia. Dan as-Suja’iy juga membuatkan jendela untuk lubang (Qubah bagian dalam ) yang bisa dibuka saat meminta pertolongan hujan ketika terjadi kemarau panjang. Artinya, untuk Qubah (bagian dalam di bawah Qubah Hijau) tidak ada lubang yang terbuka selain lubang yang disebut barusan. Waallahu A’lamu
So, apa yang selama ini diasumsikan oleh banyak orang. Bahwa tampak ada mayat di atas Qubah Hijau adalah mitos belaka karana yang sebenarnya adalah jendela tertutup yang tampak seperti sosok mayat manusia, sengaja di pasang agar ketika Madinah dilanda kemarau panjang. Jendela itu bisa dibuka kembali untuk tawassul pada makam Nabi ﷺ.
Waallah A’lamu
Penulis : Abdul Adzim
Publisher : Fakhrul
Referensi:
✍️ Al-Alamah asy-Syaikh Ali bin Sulthan Muhammad al-Qariy| Muraqatu al-Mafatih| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz. 11 hal. 95-96.
✍️ Abdullah bin Abdurrahman bin al-Fadhl bin Bahram bin Abdush Shamad. Ad-Darimiy|Sunan ad-Darimiy| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz. 1 hal. 34.
✍️ Syaikh al-Alamah Nuruddin Ali Ahmad as-Samhudiy| Wafa al-Wafa bi Akhbari Dari al-Mushtofa| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz. 1 hal. 123.
✍️ Syaikh al-Alamah Nuruddin Ali Ahmad as-Samhudiy| Khalashah al-Wafa bi Akhbari Dari al-Mushtofa| Al-Maktabah asy-Syamilah al-Hadzitsiyah hal. 142.
✍️ Syaikh Ahmad Zaini Dahlan| Ad-Durar as-Saniyah fi ar-Raddi ala al-Wahabiyah| Musthafa al-Babiy al-Halabiy wa Awladihi Mesir hal. 22
✍️ As-Sayyid Ja’far bin as-Sayyid Ismail al-Madaniy al-Barzanjiy| Nuzhatu an-Nadzirin fi Masjidi Sayyidu al-Awalin wa Al-Akhirin| Mathba’ah al-Jamaliyah Mesir hal. 78.
✍️ Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabahaniy| Syawahidu al-Haq fi al-Istighatsah bi Sayyidi al-Khalqi ﷺ| Darul al-Kutub al-Ilmiyah hal 120.
—————————-
[¹] Ad-Darimiy (181 H-255 H) nama lengkapnya Abdullah bin Abdurrahman bin al-Fadhl bin Bahram bin Abdush Shamad. Ad-Darimiy adalah nisbah kepada Darim bin Malik dari kalangan at-Tamimi.
Guru-guru beliau antara lain adalah Yazid bi Harun, Ya’la bin Ubaid, Ja’far bin Aun, Basyar bin Umar al Zahrani, Abu Ali Ubaidullah bin Abdul Majid al-Hanafiy, Abu Bakar abdul Kadir, Muhammad bin Bakar al-Barsani, Wahab bin Amir, Ahmad Ishaq al-Hadrami dan Abu Ashim.
Sebagai Ulama Besar, Imam al-Darimi memiliki banyak murid yang berguru kepadanya. Diantara mereka adalah Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Tirmidzi, Abu Humaid, Roja’ bin Marja, Muhammad bin Basyar, Muhammad bin Yahya, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Shalih bin Muhammad Jazrah, dan Ja’far bin Ahmad bin Faris.
Karyanya yang terkenal adalah al-Hadist al-Musnad al-Marfu’ wa al-Mauquf wa al-Maqtu’ yang lebih populer dengan sebutan Sunan al-Darimiy. Didalamnya terdapat 3.367 hadis yang tersebar dalam 24 Bab.