Banyak dari temen – temen yg nanyak; “Emang kalo mau ke Tarim itu harus banyak ilmu dulu ya, kak? Harus alim dulu ya, mas?” Oke saya jawab:
Gambaran saya pribadi, Tarim itu ibarat dapur, dan ilmu pengetahuan yang kita miliki adalah bahan racikan yang siap dimasak dapur Tarim itu. Dan jelas, semakin banyak dan bagus bahan racikan yang kita bawa, maka semakin lezat dan sedap masakan yang akan dimasak dapur Tarim.
Tapi bagi saya, Tarim ini adalah dapur yang sangat luar biasa dan menakjubkan. Walau kita hanya membawa sebiji gandum, Tarim akan menyulap kita menjadi masakan yang sangat spektakuler. Bagaimana tidak? Jangankan para penduduk dan para Ulamaknya, Sholihin dan Awliyaknya. Tarim, Cukup jalan dan lorong – lorong kotanya saja sudah bisa memberimu ilmu dan pelajaran.
“شوارع تريم شيخ من لا شيخ له”
“Lorong – lorong kota tarim guru bagi dia yang tak memiliki guru.”
Mempraktekkan sebuah teori memang tak semudah memahaminya. Tapi, jika kita memahami sebuah teori dengan cara menyaksikan teori itu dipraktekkan dan diperagakan di hadapan kita, maka kita akan lebih paham dan gampang untuk bisa meniru mempraktekannya. Dan di kota Tarim, Islam, Iman, Ihsan, semua Sunnah dan akhlaq Nabi SAW. dipraktekkan di mana – mana. Bahkan di lorong – lorong kotanya sekalipun. Itu masih di lorongnya, bagaimana dengan masjid – masjid dan tempat ta’limnya?
Ada kisah seorang Syekh dari negeri Mesir datang berziarah ke kota Tarim. Sesampainya di Tarim, sang Syekh menyaksikan seseorang sedang melaksanakan sholat di salah satu masjid. Takjub sang Syekh menyaksikannya. Bagaimana bisa orang yang dia saksikan tampak seperti orang awam biasa, sedangkan dia bisa melaksanakan sholat dengan cara yang sangat sempurna.
Setelah usai dari sholatnya, sang Syekh menghampirinya dan bertanya: “Masyallah, bagaimana mungkin anda yang kelihatan seperti orang biasa bisa melaksanakan sholat dengan sempurna, sesuai dengan sunnah – sunnah Nabi SAW. yang pernah saya pelajari. Padahal saya pribadi belum bisa mempraktekannya.”
“Saya memang awam,” jawab orang yang baru selesai dari sholatnya itu. “Cuman, Di sini, Tarim, saya banyak menyaksikan sholat Ulama’, Habaib, dan cara sholat sesepuh, orang tua saya yang seperti ini. Ya sudah, saya tiru saja.”
Tarim memanglah kota penuh dengan cahaya. Cahaya Nabi dan sunnah – sunnahnya, cahaya Nabi dan para Dzuriahnya, cahaya Nabi dan para penerusnya, cahaya Nabi dan para perindunya. Siapapun yang memasukinya akan terbasuh siraman cahayanya. Cahayanya tidak ternodai dan tidak akan pernah pudar.
Maka pantaslah apa yang dikatakan Al – Ghorby yang datang berziarah dari Maroco ke kota Tarim, “sungguh, melihat Ahlu Tarim yang sedang belalu – lalang di atas lorong – lorongnya seakan aku sedang menyaksikan para Malaikat.” Dan ketika Habib Ali Al-Habsyi mengetahui perihal ungkapan orang Maroco itu, beliau berkomentar, “Tidak, tapi beliau – beliau ini (Ahlu Tarim) lebih utama dari pada Malaikat.”
Maka tidak ada kata rugi dan sia – sia bagi siapapun yang bisa berziarah ke kota Tarim ini. Lebih – lebih bisa bermukim, lebih lebih bisa ikut ta’lim. Sebanyak apapun harta dan tenaga yang kita perjuangkan tidak akan ada bandingnya dengan apa yang akan kita bawa dari kota Tarim. Sesuai apa yang dijanjikan Imam Al-Haddad.
tapi ingat, semua itu dengan satu syarat. Ini bukan opini saya. Ini memang wasiat Ahlu Tarim pada semua penduduk dan peziarahnya. Syarat itu adalah: Adab, baik dhohir dan batin. Memasrahkan kendali dan kepercayaan sepenuhnya pada dapur Tarim dan berbaik sangka kepada semua ahlinya. Hingga akhirnya kita keluar sebagai masakan yang sempurna.
Dan sebelum itu semua, Tarim bukan sembarang tempat yang bisa kita kunjungi sebisa kita. Tarim ada yang memiliki, Tarim ada yang menjaga. tidak bisa kita masuk kota Tanpa izin dan panggilan dari para ahlinya, Ahlu Tarim.
Berapa banyak orang yang berjuang mati – matian demi sampai ke kota Tarim, cuman tak kunjung sampai juga. Sedangkan yang “sampah” seperti saya yang tak tau namanya berjuang malah bisa.
Imam Al-Haddad pernah berkata :
” من أردناه لجدبناه ولو كان بالصين”
“Siapa yang kita inginkan pasti kita tarik (panggil), meski dia ada di ujung negeri Cina.”
Dan Subhanallah, di waktu dauroh shoyfiah bulan Syawal kemarin saya sempat berkenalan dengan seorang bapak – bapak yang mengaku berasal dari kota Magelang – Jateng. Saya banyak berbincang dengan beliau seputar kota Tarim, bagai mana beliau bisa tau Tarim, dan bagaimana akhirnya beliau sampai ke kota Tarim.
Setelah beliau menceritakan semua pengalaman keberangkatannya ke kota Tarim yang ternyata sudah ketiga kalinya ini, saya mengutip pada beliau kalam Imam Al – Haddad tadi, bahwa bapak ini bisa sampai ke Tarim karna panggilan. Seketika raut wajah beliau berubah, terkejut dan terdiam. Saya pun jadi salah tingkah. Dalam hati: adakah kutipanku menyinggung perasaan bapak ini?
Setelah lama terdiam akhirnya bapak itu berujar dengan suaranya yang mendadak lebih berat, tersendat – sendat dan raut wajahnya yang menampakkan ketakjupan, “mas Sholah tau? saya ini sebenarnya seorang muallaf 12 tahun yang lalu. Dan orang tua saya asli orang Cina. Cuman saya dilahirkan di Indonesia.”
“Subhanallah…” sambut saya dengan nada suara yang ditebalkan ala has Jawa medok.
Suatu kebetulan yang sangat menakjubkan. Karna ini bukan sekedar kebetulan belaka. Bagaimana seorang keturunan Cina asli yang ditakdirkan masuk agama Islam dan kemudian terpanggil ke kota Tarim.
Dulu saya juga mengira bisa berangkat ke kota Tarim itu adalah sebuah kebetulan saja bagi saya. Tapi ternyata tidak. Semua orang yang sampai ke kota Tarim memang nyata karna sebuah izin dan panggilan dari para Awliya’nya, Ahlu Tarim.
Dan teman – teman yang belum sampai jangan bersedih, dan kalian tidak perlu bersedih selagi Tarim masih ada dihati kalian. Dekati Tarim dengan banyak berdoa untuk para Awliaya’ dan semua penghuninya. Dekati Tarim dengan mengenal biografi punggawanya. Dekati Tarim dengan mengikuti tindak lampah para salafnya.
Yang pantas bersedih cuman saya yang sudah sampai ke kota Tarim cuman tak ada bedanya dengan yang belum sampai. Dan yang terakhir semoga kita sama – sama dapat barokahnya saja.
Ya Tarim wa Ahlaha…
Author : Sholahuddin Afaf, Tarim Yaman.
Editor : Fakhrullah