Bagi yang gemar membaca kitab-kitab Fiqih, tentu tidak asing lagi dengan hadits ini:
مَنْ يُرِدِ اللّهُ بهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّين
“Barangsiapa yang Allah ﷻ kehendaki kebaikannya, maka Dia (Allah ﷻ) akan memberikanya pemahaman pada agama”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas kerap dikutip oleh sang penulis saat memberikan muqaddimah (pengantar) kitab karyanya. Namun mungkin tidak banyak yang tahu, siapa sebenarnya orang yang dimaksud dalam hadits tersebut?
Berikut mari kita simak penuturan ulama siapa sesungguhnya kata “من” atau “orang” yang Allah ﷻ kehendaki kebaikannya sehingga ia akan diberikan pemahaman padanya tentang agama (Islam)?
Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuriy (w. 1277 h) dalam kitabnya Hasyiyah asy-Syaikh Ibrahim al-Bajuriy menjelaskan:
والمراد: من يرد الله به خيرا كاملا بشهادة تنوين التعظيم. فخرج من لم يرد الله به خيرا أصلا وهو الكافر، ومن أراد به خيرا لكنه غير كامل وهو المؤمن الذي لم يفقه في الدين. فاندفع ما يقال: إن الحديث يقتضي أن من لم يفقه في الدين قد حرم الخير ولو كان مؤمنا، وليس كذلك، بل أعطى أصل الخير.
وفي هذا الحديث كما قاله الولي العراقي وغيره بشارة للمشتغل بالفقه من حيث أن فيه إعلاما بخيريته بشرط أن يكون طلبه خالصا لوجه الله تعالى، بخلاف ما إذا كان مشويا برياء أو نحوه.
Artinya: Adapun yang dimaksud kalimat: “Barangsiapa yang Allah ﷻ kehendaki kebaikannya..” adalah orang yang Allah ﷻ kehendaki kebaikan secara sempurna. Hal ini dibuktikan denga Tanwin at-Ta’dzim (tanwin yang berfungsi untuk pembesaran nilai sebuah perkara) pada lafadz Khairan. Maka dari itu, orang yang sama sekali tidak dikehendaki kebaikannya oleh Allah ﷻ seperti orang kafir begitu juga orang yang dikehendaki kebaikannya tapi tidak sempurna sebagaimana orang yang tidak diberikan pemahaman pada agama tidak termasuk orang yang dimaksud dalam hadits tersebut.
Menurut Ibnu al-Wali al-Iraqi dan lainnya, hadits ini merupakan support (dukungan) atau kabar baik bagi orang yang menggeluti (mempelajari) ilmu Fikih karena di dalamnya tersirat pemberitahuan akan kebaikan belajar ilmu Fiqih dengan syarat orang yang belajar ikhlas karena Allah ﷻ, bukan karena riya (pamer) atau kerena unsur lainnya.
Sementara menurut Syaikh Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy (w. 852 h) dalam kitab Fathu al-Bari bi Syarhi Shahih al-Bukahriy :
ومفهوم الحديث أن من لم يتفقه في الدين – أي يتعلم قواعد الإسلام وما يتصل بها من الفروع – فقد حرم الخير.
وقد أخرج أبو يعلى حديث معاوية من وجه آخر ضعيف وزاد في آخره: ” ومن لم يتفقه في الدين لم يبال الله به ” والمعنى صحيح، لأن من لم يعرف أمور دينه لا يكون فقيها ولا طالب فقه، فيصح أن يوصف بأنه ما أريد به الخير، وفي ذلك بيان ظاهر لفضل العلماء على سائر الناس، ولفضل التفقه في الدين على سائر العلوم.
Artinya: Mafhum (pemahaman) hadits ini, bahwa orang yang tidak mau memahami agama—belajar kaidah-kaidah agama Islam dan sesuatu yang berhubungan dengannya berupa ilmu cabang-cabang syariat—maka haram (bagi orang itu) kebaikan berdasar hadist dhaif yang riwayatkan Abu Ya’la dari hadits Mu’awiyah ra dengan redaksi yang diakhirnya berbeda:
ومن لم يتفقه في الدين لم يبال الله به
“Barang siapa yang tidak mau memahami dalam ilmu agama, maka Allah ﷻ tidak akan perduli padanya”. Artinya, karena orang yang tidak tahu urusan agamanya tidak disebut orang yang faqih (faham ilmu agama) dan tidak disebut santri yang mengerti agama, maka dengan begitu layak disebut orang yang tidak menghendaki kebaikan dan dalam hal itu bisa petik kesimpulan secara dhahir bahwa ulama lebih utama dibanding manusia lainnya dan orang yang belajar ilmu agama lebih utama dari belajar ilmu lainnya. Waallahu A’lamu.
Penulis: Abdul Adzim
Penulis : Fakhrul
Referensi:
✍️ Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuriy| Hasyiyah asy-Syaikh Ibrahim al-Bajuriy| Nurul al-Huda Juz 1 hal 6-7.
✍️ Syaikh al-Imam Ibnu Hajar al-‘Asqolaniy| Fathu al-Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhariy| Daru al-Ma’rufah juz 1 hal 165.