Syaichona.net- Di antara khazanah dan kearifan ulama kita semenjak dahulu kala, setiap menulis kitab atau karya ilmiyah pasti tidak lupa dalam pengantarnya didahului kalimat Bismillah dan Hamdalah. Mereka pun tidak pernah bosan mengurai atau menjelaskan faidah serta menganjurkan pada kita untuk mengawali suatu yang baik dengan dua kalimat tersebut lengkap dengan dasar haditsnya.
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِـ (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ) فَهُوَ أَبْتَرُ، أَوْ أَقْطَعُ أَوْ أَجْذَمُ.
“Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan ‘bismillahirrahmanir rahiim’, maka terputus, atau terpotong atau terkena penyakit lepra (amalan tersebut terputus berkahnya).”
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بـِ (اْلحَمْدُ لله) فَهُوَ أَقْطَعُ.
“Setiap perkara penting yang tidak diawali dengan hamdalah, maka perkara tersebut terpotong.” (HR. Ibnu Majah) dan lainnya.
So, dari berapa syarah kitab yang penulis singgahi, mereka menjelaskan secara detail arti, kedudukan perlafadz menurut tinjuan ilmu Nahwu, Balaghah dan status hadits menurut pakarnya. Semisal pengertian salah satu hadits di atas:
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِـ (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ) فَهُوَ أَبْتَرُ، أَوْ أَقْطَعُ أَوْ أَجْذَمُ.
Dalam Hasyiyah I’anatu ath-Thalibin, Syaikh Abu Bakar Syatho (w. 1300 h) menjelaskan:
والمعنى – على كل – أنه ناقص، وقليل البركة، وقلة البركة في كل شئ بحسبه. فقلتها في نحو التأليف قلة انتفاع الناس به وقلة الثواب عليه، وفي نحو الأكل قلة انتفاع الجسم به، وفي نحو القراءة قلة انتفاع القارئ بها، لوسوسة الشيطان له حينئذ.
Secara keseluruhan arti yang terkandung dari hadits tersebut adalah setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan ‘bismillahirrahmanir rahiim’ maka kurang dan sedikit barokahnya dan kurangnya barokah dalam setiap perkara itu relatif. Kurangnya barokah dalam menulis kitab artinya sedikit kemanfaatan yang bisa dirasakan semua orang dan sedikit pahala yang diperoleh. Sedangkan dalam hal makan artinya sedikit kemanfaatan yang didapat tubuh. Sedangkan dalam hal membaca artinya sedikit kemanfaatan yang peroleh si pembaca dari hasil bacaannya karena kala itu ada setan yang menganggu.
Selanjutnya Syaikh Abu Bakar Syatho mengatakan:
وقوله في الحديث فهو أبتر إلخ … هو عند الجمهور من باب التشبيه البليغ. وعلى هذا فالأبتر وما بعده باقية على معانيها الحقيقية، وعند السعد يجوز أن يكون من باب الاستعارة بأن يشبه النقص المعنوي بالنقص الحسي الذي هو قطع الذنب، أو قطع إحدى اليدين، أو الجذم – بفتحتين – ويستعار البتر، أو الجذم، أو القطع، للنقص المعنوي. ويشتق منه أبتر أو أقطع أو أجذم، بمعنى ناقص نقصا معنويا.
Kata “أبتر” dan kata setelahnya dalam hadits tersebut menurut mayoritas ulama tergolong Tasybih al-Baligh (Tasybih yang di buang adat dan wajah syabahnya) dengan alasan ini kata “أبتر” dan kata setelahnya tetap pada artinya secara hakikat. Sedangkan menurut Syaikh as-Sa’di boleh saja mengarahkan kata “أبتر” dan kata setelahnya pada bagian pembahasan Isti’rah (majaz dimana hubungan antara makna asli dengan makna kiasan bersifat hubungan keserupaan) dengan rincian sebagai berikut; Menyerupakan kekurangan secara maknawi dengan kekurangan secara nyata yaitu ekornya terputus, salah satu tangannya terpotong atau terkena penyakit lepra dan dibuat isti’rah (meminjam) kata: “البتر” (terputus ekornya) “الجذم” (terkena penyakit lepra) “القطع” (salah satu tangannya terpotong) untuk digunakan pada kekurangan secara maknawi. Dari tiga kata tersebut, kata: “أبتر” “أقطع” “أجذم” diambil dengan menggunakan makna “ناقصا” (suatu yang kurang) artinya kurang secara maknawi.
Tidak hanya sampai disitu, ulama kita dengan ketelatenan dan dedikasinya yang tinggi menjelaskan pada kita akan batasan apa saja yang dimaksud “كل أمر ذي بال” (setiap perkara penting) dengan rinci. Salah salah satunya Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuriy (w. 1277 h) dalam dua kitab beliau—Tuhfatu al-Murid Syarhi Jawhari at-Tauhid dan Hasyiyah asy-Syaikh Ibrahim al-Bajuriy.
Dalam Tuhfatu al-Murid Syarhi Jawhari at-Tauhid beliau mengatakan:
والمراد بالأمر ما يعم القول كالقراءة والفعل كالتأليف ومعنى ذى بال أى صاحب حال بحيث يهتم به شرعا أى بأن لا يكون من سفاسف الأمور وليس محرما ولا مكروها ويشترط أيضا أن لا يكون ذكرا محضا ولا جعل الشارع له مبدأ غير البسملة والحمدلة فخرجت سفاسف الأمور كلبس النعل والبصاق والمخاط فلا تسن البسملة ولا الحمدلة عليها وخرج المحرم لذاته كالزنا والمكروه لذاته كالنظر لفرج زوجته بلا حاجة فتحرم على الأول وتكره على الثانى بخلاف المحرم لعارض كالوضوء بماء مغصوب والمكروه لعارض كأكل البصل فلا تحرم على الأول ولا تكره على الثانى وخرج الذكر المحض كلا إله إلا الله فلا تسن التسمية عليه بخلاف غير المحض كالقرآن لاشتماله على غير الذكر كالأخبار والمواعظ وخرج ما جعل الشارع له مبدأ غير البسملة والحمدلة كالصلاة فلا يبدأ بالبسملة ولا بالحمدلة بل بالتكبير مثلا.
“Yang dikehendaki dengan kata: الأمر (perkara) adalah mencakup suatu yang umum berupa ucapan seperti membaca atau berupa pekerjaan seperti menulis. Sedangkan yang dimaksud kata: ذى بال (sesuatu yang memiliki hal yang baik) adalah setiap perkara yang menjadi perhatian syariat. Dengan artian bukan perkara yang remah, bukan berupa perkara yang diharamkan dan bukan perkara yang dimakruhkan serta bukan berupa dzikir murni juga tidak ditetapkan oleh syari’at memiliki pembuka selain Basmalah dan Hamdalah.
Dengan demikian, maka suatu yang remah seperti memakai sandal, meludah dan membuang dahak tidak termasuk suatu yang tidak disunahkan memulainya dengan Basmalah dan Hamdalah. Begitu juga terhadap suatu yang diharamkan secara dzatiyah (subtasi) seperti hendak melakukan perzinahan atau yang dimakruhkan seperti secara dzatiyah (subtasi) seperti hendak melihat kemaluan istri tanpa ada keperluan, keduanya dihukumi haram dan makruh. Berbeda dengan suatu yang diharamkan secara ‘Aridhi (faktor eksternal) seperti hendak berwudhu menggunakan air yang peroleh melalui ghasab dan suatu yang diharamkan secara ‘Aridhi (faktor eksternal) seperti hendak makan bawang merah, maka tidak hukumi haram dan makruh memulainya Basmalah dan Hamdalah.
Selain itu, juga termasuk sesuatu yang tidak sunahkan memulainya dengan Basmalah dan Hamdalah adalah dzikir yang murni seperti hendak membaca kalimat لا إله إلا الله, berbeda dengan dzikir yang tidak murni seperti hendak membaca al-Qur’an karena di dalamnya tidak berisi kabar berita, motivasi yang bukan tergolong dzikir murni. Sedangkan untuk sesuatu yang sudah ditetapkan oleh syari’at memiliki pembuka selain Basmalah dan Hamdalah seperti sholat, maka juga tidak disunahkan memulai dengan keduanya bahkan dimulai dengan takbir.
Sementara dalam Hasyiyah al-Bajuriy, Syaikh Ibrahim al-Bajuriy menambahkan:
ولا تطلب على محقرات الأمور ككنس زبل صونا لإسمه تعالى عن اقترانه بالمحقرات وتخفيفا على العباد. فإن قيل: يرد على ذلك طلبها عند دخول الخلاء وهو مستقذر؟ أجيب: بأنها طلبت عنده للحفظ من الشياطين، وهو ليس من المحقرات بل أمر ذو بال.
Tidak dianjurkan memulai dengan Basmalah dan Hamdalah pada perkara yang remeh seperti hendak menyapu pupuk kandang (kotoran hewan) alasanya karena untuk menjaga kemuliaan asma Allah ﷻ dan untuk meringankan beban pada hamba-hamba-Nya.
Jika dikatakan: Bukankah ada anjuran agar memulai dengan Basmalah dan Hamdalah ketika masuk Jamban, padahal hal itu suatu yang menjijikan. Aku menjawab: Bahwah hal itu memang dianjuran karena untuk melindungi diri dari setan dan hal ini bukan tergolong suatu yang remeh bahkan tergolong suatu yang memiliki hal yang baik. Waallahu A’lamu
Penulis: Abdul Adzim
Referensi:
✍️ Syaikh Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho ad-Dimyathiy al-Bakariy| Hasyiyah I’anatu ath-Thalibin| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz. 1 hal. 5-6.
✍️ Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuriy| Tuhfatu al-Murid Syarhi Jawhari at-Tauhid| Daru al-Kutub al-Ilmiyah hal 9.
✍️ Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuriy| Hasyiyah asy-Syaikh Ibrahim al-Bajuriy| Daru al-Kutub al-Ilmiyah hal 7-8.