Syaichona.net- Masih terekam jelas dalam ingatanku saat aku hendak menjadi seorang santri, di saat merasa berat harus berpisah dengan kampung halaman dan keluarga.
Aku masuk ke pesantren tanpa alas kaki dan turun dari kendaraan sebelum sampai ke halaman pesantren. Hal itu demi mengagungkan bumi pesantren yang katanya merupakan bekas kaki para wali, sebagaimana pesan guruku di kampung.
Setelah dititipkan kepada kiai dan urusan administrasi selesai, aku sungkem pada orang tua dan kerabat yang ikut mengantarkanku ke pesantren. Tak terasa air mata membuncah, tangispun pecah, kecuali orang tua yang tidak mau menangis. Mungkin mereka tahan agar aku bisa kerasan.
Malam pertama di pesantren perasaan mulai tidak nyaman, karena semuanya terasa asing. Tempat baru, orang baru, suasana baru membuat aku mulai berpikir, ternyata ini yang namanya pesantren, sangat jauh dengan keadaan di kampung halaman.
Bayangan orang tua, keluarga dan seisi rumah selalu terlihat, dalam hati menjerit, aku ingin pulang, aku tidak betah dan tidak kerasan. Di situlah aku memulai sebuah perjuangan.
Ah, ternyata tak mudah jadi seorang santri, makanya aku sangat bangga menjadi seorang santri, walau mungkin perilaku dan kerakterku belum pantas dikatakan sebagai santri.
Oleh : Shofiyullah El-Adnany
Publisher : Fakhrul