Syaichona.net- Bangkalan 1977, tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Jawa Timur yang menjadi basis kaum santri. Madura dan daerah tapal kuda, cukup tercekam oleh konstelasi kekuasaan yang dipaksakan oleh orde baru.
Tahun 1997 itu sering disebut-sebut dalam memori kisah para ulama dalam melawan tangan besi pemerintah. Saat itu, partai pemerintah melakukan segala cara untuk memenangkan pemilu. Intrik, intimidasi dan juga kekerasan pada lawan politik khususnya dari kalangan ulama dan santri.
Demangan, ditahun itu, boleh jadi heboh dari daerah-daerah lain. KHS. Abdullah Schal tokoh ulama yang dikenal pemberani pada kala itu dituduh melakukan gerakan subversif melawan pemerintah. Rezim orde baru saat itu sedang gencar-gencarnya memberangus kekuatan-kekuatan sipil termasuk para ulama yang dianggap berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahan.
Dilarang ada kritik terhadap pemerintah. Semua kegiatan masyarakat sekecil apapun, termasuk kegiatan keagamaan dipantau. Rakyat terkungkung dalam ketakutan, syiar agama terjadi terganggu tidak berkembang.
Disuatu acara pengajian KHS. Abdullah Schal mengkritik pemerintah atas kebijakan-kebijakan mereka yang tidak populis. Malam itu juga ditengah perjalanan pulang dari pengajian KHS. Abdullah Schal ditangkap oleh aparat gabungan polisi dan koramil. KHS. Abdullah Schal ditahan dipenjara Bangkalan sekitar 75 hari.
Ulama berlawanan dengan penguasa adalah hal biasa. Dalam sejarah para ulama yang tegas dengan prinsipnya, penjara bukanlah hal asing sejak dahulu kala, sejak masa khilafah dinasti Umayyah, tiga belas abad yang silam. Said bin Jubair, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal adalah contoh kecilnya.
Namun penahanan KHS. Abdullah Schal ini meninggalkan problem lain. Tidak hanya karena langkah beliau tertahan oleh jeruji besi, juga tidak hanya karena masyarakat dan para santri kehilangan panutannya untuk sementara waktu. Tapi juga karena kehidupan keluarga beliau menjadi terlunta-lunta.
Bagaimana tidak, keluarga KHS. Abdullah Schal memang hidup serba kekurangan sejak awal mula, dan pada saat itu harus kehilangan kepala keluarganya selama beberapa bulan. Orang yang menjadi denyut nadi dari kehidupan keluarga sehari-hari.
Pukulan yang amat berat, tapi tidak membuat keluarga beliau menjadi patah semangat, keluarga KHS. Abdullah Schal sudah terbiasa dengan kehidupan sengsara. Jauh sebelum itu, semenjak pertama kali membangun rumah tangga dengan Nyai. Hj. Sumtin, KHS. Abdullah Schal sudah memulainya dengan kisah-kisah pahit.
Tiga pekan setelah menikah sang ibu, Nyai. Hj. Romlah menyuruh KHS. Abdullah Schal untuk pisah dapur padahal saat itu KHS. Abdullah Schal belum memiliki penghasilan tetap untuk menghidupi keluarganya.
Maka dari itu, Nyai. Hj. Sumtin seringkali harus memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan cara berhutang ke toko-toko yang ada disekitar Pesantren Demangan. Jika hutang yang pertama belum bisa dibayar, Nyai Hj. Sumtin malu untuk berhutang kembali.
Saat kondisi ekonominya sudah mendesak seperti itu, kadang KHS. Abdullah Schal dan Nyai. Hj. Sumtin dengan sangat terpaksa mendatangi dapur anak-anak santri. Beliau meminta makanan kepada mereka.
Dan tentu saja hal itu kisah haru yang sulit sekali dilupakan oleh para santri saat itu. Bahkan tidak jarang ada santri yang sampai menitikkan air mata melihat kesengsaraan ekonomi yang beliau alami ini.
Untungnya KHS. Abdullah Schal didampingi oleh istri yang memiliki ketegaran luar biasa. Saat KHS. Abdullah Schal dipenjara Nyai. Hj. Sumtin mengerahkan segala upaya untuk bisa menghidupi putra-putrinya yang saat itu masih kecil-kecil.
Pernah suatu ketika Nyai. Hj. Sumtin kehabisan uang. Untungnya masih ada sedikit makanan untuk sekedar mengganjal perut. Tapi, putra putrinya yang masih kecil tentu perlu minuman susu sebagai pengganti ASI. Mereka sudah disapih maka beliau mengganti susu yang biasa diberikan sebelumnya dengan tepung terigu yang dicampur gula.
Begitulah kira-kira jalan hidup yang harus dilalui KHS. Abdullah Schal. Berbagai cobaan hidup seakan tak surut mendera hidup beliau. Ujian yang sangat berat dari sang ibu, ujian dari KH. Kholilurrahman adik bungsunya, hingga ujian hidup serba kekurangan.
Hidup serba miskin sudah beliau rasakan sejak masa-masa kecilnya juga pada saat mondok di Sidogiri disana KHS. Abdullah Schal termasuk salah satu santri yang hidup sangat sederhana lantaran minimnya kiriman bekal dari rumah.
Orang-orang besar memang lebih sering lahir diatas batu cadas, dari pada tumpukan kasur yang empuk. Hidup sengsara juga sering kali merupakan ujian hidup dalam membangun suatu yang besar.
KHS. Abdullah Schal tidak pernah mengeluh sedikitpun beliau sadar bahwa semua itu adalah ujian yang diberikan oleh Allah SWT untuk mengukur seberapa tangguh komitmen beliau dalam berjuang membesarkan Pondok Pesantren Demangan peninggalan Syaichona Moh. Cholil kakek buyutnya.
- Diambil dari Biografi KHS. Abdullah Schal yang di tulis oleh M. Toyyib Fawwas Muslim
- Konseptor : RKH. Fakhrillah Aschal
- Publisher : Fakhrul