رب علم أضاعه عدم الما * ل وجهل غطى عليه النعيم
“Kerap kali ilmu menjadi sia-sia karena pemiliknya tak berharta, dan sering kali kebodohan seseorang tertutupi karena dia sebagai orang kaya.”
Tidak sedikit orang yang menyia-nyiakan ilmu karena sibuknya dengan urusan finansial, dan lebih parah lagi ilmunya dijual demi meraup kesejahteraan dunia.
Padahal ilmu jelas lebih utama daripada harta, tapi apalah daya keadaan menuntut sebagian kita membuang ilmu demi urusan harta.
Keadaan itu sering kali lebih disebabkan tuntutan keluarga yang selalu mendesak, dalam hal ini kalau laki-laki adalah istri dan anak-anaknya yang mendesak. Jarang sekali orang yang benar-benar melulu kepada harta sampai melupakan ilmu hanya untuk kepentingan pribadinya.
Oleh sebab itu, sebagian orang ahli ilmu rela memilih tidak menikah, karena melihat efek negatif dari sebuah pernikahan. Efek negatif itu berupa sibuknya seseorang dengan urusan penghidupan sehingga tidak bisa fokus terhadap ilmu.
Dengan alasan itu ada seorang ulama yang menganjurkan kepada tokoh agama, meliputi kyai, ustadz dan lain-lain agar berusaha menjadi orang kaya, agar tidak menyia-nyiakan ilmunya, dan tidak mengharapkan harta dari ilmunya.
Sayidina Ali Karramallahu Wajhah, ketika ditanya lebih utama mana antara ilmu dan harta? Beliau menjawab lebih utama ilmu, dengan beberapa alasan. Simak kisah dalam paragraf di bawah.
قال النبى ﷺ أنا مدينة العلم وعلي بابها
Nabi ﷺ bersabda, “Aku adalah kotanya ilmu, dan Ali adalah pintunya.”
Setelah kaum Khawarij mendengar hadist ini, mereka hendak mendengki kepada Sayidina Ali. Mereka mengumpulkan sepuluh orang dari para pembesarnya,
إنا نسأل منه مسئلة واحدة ونرى كيف يجب لنا فلو أجب كل واحد منا جوابا أخر نعلم أنه عالم كما قال النبي عليه السلام
“Kita semua bertanya kepada Ali dengan satu pertanyaan yang sama. Dan kita lihat, bagaimana dia menjawab pertanyaan kita. Jika dari masing-masing kita mendapatkan jawaban yang berbeda, kita mengakui kalau dia seorang alim sebagaimana telah disabdakan Nabi.”
Lalu sebagian mereka mendatangi beliau dan bertanya, “Wahai Ali, ilmu yang lebih utama atau harta?” Sayidina Ali menjawab, “Tentu Ilmu lebih utama daripada harta.” “Apa dalilnya?” Tanya lagi orang itu,
العلم ميراث الأنبياء والمال ميراث قارون وشداد وفرعون وغيرهم
“Ilmu adalah warisan para nabi, sedangkan harta adalah warisan Qarun, Syaddad, Fir’aun dan lain-lain yang segolong dari mereka.” Jawab Sayidina Ali tegas, membuat orang itu pergi dan menerima.
Kemudian yang lain datang dan bertanya dengan pertanyaan yang sama. Beliau menjawab,
العلم يحرسك والمال تحرسه
“Ilmu lebih utama daripada harta, dengan tendensi bahwa ilmulah yang menjagamu, sedangkan harta kamu yang harus menjaganya.”
Datang lagi orang ketiga dengan pertanyaan yang sama, beliau tetap menjawab lebih utama ilmu daripada harta,
لصاحب المال عدو كثير ولصاحب العلم صديق كثير
“Karena bagi pemilik harta terdapat musuh yang banyak, dan bagi pemilik ilmu terdapat taman yang banyak.”
Giliran orang keempat bertanya, lagi-lagi dijawab bahwa ilmulah yang lebih utama,
إذا صرفت من المال فإنه ينقص وإذا صرفت من العلم يزيد
“Harta ketika digunakan akan berkurang, dan ilmu semakin bertambah ketika dimanfaatkan.” Demikian dalil Sayidina Ali.
Orang kelima kali ini menyodorkan pertanyaan yang sama pula, tetap saja jawabannya adalah ilmu lebih utama dari harta, karena orang berharta akan dijuluki dengan si pelit, sedangkan orang berilmu akan dijuluki dengan si dermawan.
Datang lagi orang yang keenam, dia bertanya sama seperti yang lain, kemudian dijawab oleh Sayidina Ali dengan jawaban yang sama pula tapi dengan dalil yang lain, “Harta keberadaannya takut dicuri, sementara ilmu tidak pernah takut dicuri orang.” Kata Sayidina Ali memberi dalil.
Dan waktunya orang ketujuh yang bertanya, karena pertanyaan juga sama maka jawaban pun juga sama tapi dalilnya berbeda, bahwa pemilik harta akan dihisab kelak hari kiamat, sedangkan orang yang mempunyai ilmu akan memberi syafa’at.
Orang kedelapan juga bertanya yang sama dan mendapati jawaban yang sama, hanya beda dalilnya, yakni, “Harta akan rusak dengan lamanya diam dan masa yang panjang, sedangkan ilmu tidak pernah akan rusak.”
Lalu orang kesembilan juga membawa pertanyaan sama, dan dijawab dengan jawaban sama, tapi dalilnya berbeda, karena harta dapat mengeraskan hati dan ilmu sebaliknya dapat menerangkan hati.
Demikian juga untuk jawaban orang kesepuluh yakni orang terakhir dari kaum Khawarij, jawabannya sama karena pertanyaannya juga sama, tapi dalilnya adalah, kalau orang berharta akan mengaku sifat ketuhanan sebab hartanya, tapi orang berilmu akan mengaku sifat kehambaan.
Lalu Sayidina Ali mengatakan,
فلو سألونى عن هذا لأجبت جوابا أخر مادمت حيا
“Jikapun mereka bertanya dengan pertanyaan itu lagi, tentu akan aku jawab dengan dalil yang berbeda selagi aku masih hidup di dunia.” Mereka akhirnya datang semua dan menyatakan menerima.
Sayidina Ali Radliyallahu ‘Anhu juga pernah berkata,
من كانت همته ما يدخل بطنه كانت قيمته ما يخرج منها
“Barang siapa tujuan hidupnya hanyalah apa yang masuk ke dalam perutnya, maka harga dirinya seperti apa yang keluar dari perutnya.”
Sumber:
? Mawaa’idul Ushfuriyah| asy-Syaikh Muhammad bin Abi Bakr al-Masyhur bi ‘Ushfuri| al-Hidayah Surabaya| hal. 04.
? Fathul Majid Fi Syarhi Durrul Fariid Fi ‘Aqaaidi Ahlit Tauhid| Syaikh Nawawi al-Jawi| hal 04.
? Qurratul ‘Uyun Syarhi Nadhmi Ibni Yamun| Syaikh Imam asy-Syarif al-Alim Abi Muhammad Maulana Iltihami Kanun al-Idris al-Hadani| hal 19.
Yuk. Kunjungi grup telegram Shofiyullah El_Adnany, untuk membaca semua karya-karyanya. Klik link berikut; https://t.me/joinchat/Sy9LV7cQz2Y0MDY1