وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ – أَعْمَالُهُ مَرْدُوْدَةٌ لاَ تُقْبَلُ
“Setiap orang yang mengamalkan sesuatu tanpa ilmu // maka amalnya ditolak, tidak diterima.”
Asy Syeikh Ahmad Ibnu Ruslan Asy Syafi’iy (Tahun 770H – 844H ) menggubah syair itu dalam kitab Matan Zubad Fi Ilmil Fiqhi Alaa Madzhab Asy Syafi’i.
Kenapa harus berilmu lebih dahulu?
Sebab tanpa ilmu, acap kali orang bisa salah faham dalam beramal. Wajib dikira sunnah, yang sunnah dikira wajib. Yang lebih parah lagi, kalau haram dikira mubah (boleh).
Lihat cerita di bawah, bagaimana seorang ahli ibadah salah faham karena kekurangan ilmu.
وقد حكى الشيخ العارف بالله محمد بن على عربي في باب الوصايا من الفتوحات عن رجل من أهل المغرب أنه كان كثير الإجتهاد في العبادة وأنه اشترى أتانا ولم يعملها في شيئ، فسأله إنسان عن سبب إمساكها، قال : ما أمسكتها إلا لأحصن بها فرجى ! وكان لايعلم تحريم إتيان البهائم، فلما عرفه بتحريمه أشفق وبكى بكاء شديدا.
Syaikh al-Arif Billah Muhammad bin Ali Arabi bercerita dalam Babil Washaya Minal Futuhati tentang seorang laki-laki dari negara Maghrib. Bahwa laki-laki itu sangat bersungguh-bersungguh dalam beribadah. Suatu hari dia membeli Keledai betina, tapi tidak untuk dipekerjakan.
Lalu orang-orang bertanya, kenapa Keledainya itu tidak dipakai. Laki-laki itu menjawab, “Aku mendiamkan Keledai betina ini hanya untuk menjaga kemaluanku (menjimak Keledai betina, agar tidak berzina).” Dia tidak tahu atas keharaman menjimak hewan. Setelah tahu dengan keharaman menjimak hewan, dia lalu memelas dan menangis sejadi-jadinya.
Lihat juga cerita selanjutnya bagaimana perbandingan orang ahli ibadah dan ahli ilmu.
روى أن الحسن البصرى وفرقدا اجتمعا على وليمة فالحسن عالم وفرقد عابد وفى الوليمة صحاف ذهب وفضة فيها الخصيف وهو جملة من التمر أماالحسن فجلس على طعام وأما فرقد فاعتزل فجعل الحسن يأخذ الخصيف يفرغه من الصحفة ويضعه على الخبز ويأكل ثم التفت وقال يافريقد هلا صنعت هكذا فرأى الحسن أن التفريغ ليس استعمالا بل إزالة للمنكر فجمع بفقهه بين سنة الوليمة بالأكل وجبر قلب الداعى وإزالة المنكر وتعليم الأحكام الفقهية ولهذا صغر إسمه فقال يافريقد تعرضا بالإنكار.
Diriwayatkan, suatu ketika Imam Hasan al-Bashri dan Kiai Farqad berkumpul dalam undangan walimah. Imam Hasan adalah orang alim dan Kiai Farqad adalah ahli ibadah.
Dalam acara walimah tersebut, ada piring terbuat dari mas dan perak yang di dalamnya terisi buah-buahan kurma. Imam Hasan duduk di dekat hidangan itu, sedangkan Kiai Farqad memilih menjauhi, karena menganggap haram kalau memakai wadah mas dan perak.
Kemudian Imam Hasan menuangkan buah kurma itu dari piring mas ke atas roti, lalu memakannya. Kemudian Imam Hasan menoleh kepada Kiai Farqad dan berkata, “Wahai Fuaraiqad kenapa Anda tidak melakukan ini?”
Imam Hasan berpendapat, bahwa ‘menuangkan’ tidak dianggap sebagai ‘memakai’ justeru itu menghilangkan kemungkaran.
Dengan pemahaman Fiqhinya, Imam Hasan memadukan kesunnahan walimah, yakni dengan memakan hidangan walimah, dipadukan dengan menyenangkan hati orang yang mengundang, serta menghilangkan kemungkaran dan mengajarkan hukum fiqhi.
Lantaran itu Imam Hasan memanggil Kiai Farqad tadi dengan panggilan “Fuaraiqad” yakni ditashghir (Farqad kecil) karena untuk mengingkari perbuatannya yang menjauh dari makanan walimah.
Wallahu A’lam bis Shawab
Penulis: Shofiyullah El-Adnany
Sumber :
? Risalatu Mu’awanah Wal Mudhaharah Wal Muazarah.
? Matnuz Zubad.
? Qaami’ut Tughyan Fi Syu’bil Iman