وقال ﷺ صلاة الجماعة تفضل صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة
Nabi ﷺ bersabda, “Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dengan selisih 27 derajat.”
Terdengar suara adzan Dzuhur berkumandang di tangah-tengah keramaian pasar. Orang-orang di pasar masih tetap sibuk dengan dagangannya tanpa peduli dengan suara adzan hingga selesai.
Seperti biasa selepas adzan, mu’ddzin (Tukang adzan) membaca dzikir-dzikir berupa munajat, doa, shalawat atau syair-syair keutamaan sambil lalu menunggu jama’ah rampung di masjid sebelah pasar itu. Kali ini muadzin membaca syair bahasa Madura.
“Muslimin muslimat toreh berjama’ah sholat, ghenjhereh epon petto lekor dherejhet * kaanggui sangoh paghik areh kiamat, sopajeh slamet dhunnyah kantos akherat.”
(Muslimin muslimat mari berjama’ah sholat, pahalanya dua puluh derajat. Sebagai bekal nanti hari kiamat, agar selamat dunia sampai akhirat.)
Salah seorang pembeli di pasar nyeletuk, “Doh, pak. Kabit lambek ghenjhereh berjama’ah jiah pangghun petto lekor, jhek iyak bherres la naik tellok kaleh.” Katanya, seakan sedikit kesal dengan kondisi naiknya harga sembako.
(Duh, Pak. Dari dulu pahala berjama’ah itu masih tetap 27 derajat. Padahal beras di sini sudah naik tiga kali.) Disambut ketawa oleh orang-orang di se kelilingnya.
Begitu tidak berharganya pahala berjama’ah bagi mereka, mungkin juga bagi kita. Padahal orang-orang dahulu menganggap musibah jika tidak menututi jama’ah shalat di masjid walaupun karena ada udzur disebabkan sibuk dengan pekerjaan baik lainnya, sehingga rela mengganti dengan amal lainnya yang lebih berat.
Dahulu seorang ulama salaf pergi ke kebun kurmanya untuk bekerja mengurusi kebun, setelah selesai bekerja dia pulang dan mendapati orang-orang sudah melakukan berjama’ah shalat Ashar. Dia pun menyesal dan berkata,
إنا لله قد فاتتنى صلاة الجماعة أشهدكم على أن حائطى على المساكين صدقة
“Sesungguhnya kita milik Allah. Aku ketinggalan shalat jama’ah gara-gara kebun kurmaku itu. Maka saksikanlah wahai jama’ah, bahwa kebun kurma ini aku sedekahkan semuanya kepada fakir miskin.”
Sayidina Abdullah bin Umar “semoga Allah meridlai keduanya” tidak menututi jama’ah shalat Isya’, lalu beliau menggantinya dengan shalat lagi di malam itu sampai subuh.
Diceritakan dari Ubaidillah bin Umar al-Qawariri. Beliau berkata,
لم تكن تفوتنى صلاة في الجماعة فنزل بى ضيف فشغلت بسببه على صلاة العشاء في المسجد فخرجت أطلب المسجد لأصلى فيه مع الناس فإذا المساجد كلها قد صلى أهلها وغلقت فرجعت إلى بيتى وأناحزين على فوات صلاة الجماعة
فقلت : ورد في الحديث (إن صلاة الجماعة تزيد على صلاة الفذ سبعا وعشرين) فصليت العشاء سبعا وعشرين مرة ثم نمت فرأيتنى فى المنام على فرس مع قوم على خيل وهم أمامى وأنا أركض فرسى خلفهم فلا ألحقهم، فالتفت إلي واحد منهم وقال : تتعب فرسك فلست تلحقنا، فقلت : ولم ياأخى؟ قال : لأنا صلينا العشاء في الجماعة وأنت صليت وحدك، فاستيقظت وأنا مهموم حزين.
Aku tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah, suatu ketika aku kedatangan tamu, sehingga aku sibuk melayani tamu itu dan tidak menututi jama’ah shalat Isya’ di masjid.
Lalu aku keluar dari masjid itu mencari masjid lain untuk shalat berjama’ah, namun di masjid-masjid yang lain juga sudah dilaksanakan shalat jama’ah semua, dan pintu masjid ditutup.
Kemudian aku pulang ke rumahku, dengan merasa sedih karena tidak menututi shalat berjama’ah. Aku bergumam dalam hati, “Dalam salah satu hadits dijelaskan, bahwa shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dengan selisih 27 derajat.” Akhirnya aku shalat Isya’ sebanyak 27 kali, kemudian aku tidur dan bermimpi.
Aku bermimpi menunggangi seekor kuda betina bersama orang-orang yang menunggangi kuda jantan, dan mereka berada di depanku sedangkan aku berlari bersama kudaku di belakang mereka dengan cepatnya, tapi tidak bisa menututi mereka.
Kemudian salah satu dari mereka menoleh padaku dan berkata, “Sampai lelah kudamu tidak akan bisa menututi kami.” “Kenapa begitu, sandaraku?” Tanyaku. “Karena kami shalat Isya’ berjama’ah sedangkan kamu shalat sendirian.” Jawabnya. Lalu aku terbangun dan merasa sedih sekali.
Sebagian ulama salaf berkata,
مافاتت أحدا صلاة الجماعة إلا بذنب أصابه
“Tidaklah seseorang yang ketinggalan shalat berjama’ah, kecuali dia telah tertimpa dosa.”
Sebab itu, bahkan sebagian dari mereka ketika tidak menututi satu raka’at saja dari shalat berjama’ah mereka berbelasungkawa atas dirinya selama tujuh hari.
Dan apabila tidak menututi Takbir pertama bersama imam, mereka berbelasungkawa atas dirinya selama tiga hari.
Sudahkah kita menyesal dan merasa sedih ketika tidak menututi shalat berjama’ah?
Waallahu A’lamu
Penulis: Shofiyullah El-Adnany
Sumber : Syarhul Minahis Saniyah alal Washiyatil Mabtuliyah. Tanqihul Qaulil Hatsits fi Syarhi Lubabil Hadits.