#Muharram_Bahagia |2|
Tanggal 10 Muharram adalah momentum paling spesial berbagi kebahagiaan dengan anak yatim. Allah dan Rasul-Nya menganjurkan pada kita selaku umat Islam agar senantiasa menyayangi dan peduli pada anak yatim,meringankan beban mereka dengan memberikan santunnan yang layak lebih-lebih saat di hari Asyura ini.
Dalam kitab Tanbih al-Ghafilin karya Ibrahim as-Samanqandi (w. 373 H) disebutkan:
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم: مَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى ثَوَابَ عَشْرَةِ آلافِ مَلَكٍ ، وَمَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أُعْطِيَ ثَوَابَ عَشْرَةِ آلَافِ حَاجٍّ وَمُعْتَمِرٍ وَعَشْرَةِ آلافِ شَهِيدٍ ، وَمَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ دَرَجَةً.
Dari Ibnu Abbas Radiyaallahhu ‘Anhuma: “Siapa yang berpuasa para hari Asyura (tanggal 10) Muharran, niscaya Allah akan memberikan seribu pahala malaikat, pahala sepuluh ribu orang berhaji dan umrah, dan pahala seribu orang mati syahid. Dan siapa yang mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura, niscaya Allah mengangkat derajatnya pada setiap rambut yang diusapnya.”
Selain dalam kitab di atas, ada beberapa kitab yang mencantumkan hadits ini. di antaranya Manaahiij al-Imdaad, Arba’u al-Majaalis karya al-Khatib al-Baghdadi, Fawaid al-Hadith karya Abu Dzar al-Harawi, Musnad al-Rabi’ ibn al-Habib, serta Fadhaail al-Awqaat karya al-Baihaqi.
Kemudian ulama menjelaskan, meski sanad hadits ini dla’if (lemah), tapi isinya (matan hadits) boleh diamalkan, karena berkaitan dengan kebajikan-kebajikan (fadla’ilul a’mal).
Dalam kitab Fathu al-Bari, Syaikh Ibnu Hajar al-Asqolaniy (w. 752 H) menambahkan: “Terdapat pula keterangan hadits mengenai keutamaan mengusap kepala anak yatim yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan At-Thabraany dari riwayat Abu Umamah dengan teks hadits yang berbunyi:
من مسح رأس يتيم لا يمسحه الا لله كان له بكل شعرة تمر يده عليها حسنة
“Barangsiapa mengusap kepala anak yatim yang semata-mata karena Allah disetiap rambut yang ia usap, Allah berikan kebaikan” (sanadnya dho’if). Selain itu juga masih terdapat hadits dari riwayat Abu Hurairah dari riwayat Imam Ahmad yang sanad hasan disebutakan:
«ﺃﻥ ﺭﺟﻼ ﺷﻜﺎ ﺇﻟﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ – ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻗﺴﻮﺓ ﻗﻠﺒﻪ ﻓﻘﺎﻝ: ” اﻣﺴﺢ ﺭﺃﺱ اﻟﻴﺘﻴﻢ ﻭﺃﻃﻌﻢ اﻟﻤﺴﻜﻴﻦ».
Dari Abu Hurairah bahwa seseorang mengadu kepada Rasulullah perihal hatinya yang keras. Nabi bersabda: “Usaplah kepala anak yatim dan berilah makan orang miskin.”
Lalu apa hikmah dibalik anjuran mengusap kepala dari anak yatim? Dalam hal ini, Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) dalam kitab al-Fatawa al-Haditsiyah memberi jawaban:
والمراد من المسح في الحديث الثاني حقيقته كما بينه آخر الحديث وهو (من مسح رأس يتيم لم يمسحه إلا لله كان له بكل شعرة تمر عليها يده عشر حسنات ومن أحسن إلى يتيمة أو يتيم عنده كنت أنا وهو في الجنة كهاتين وقرن بين أصبعيه) . وخص الرأس بذلك لأن في المسح عليه تعظيما لصاحبه وشفقة عليه ومحبة له وجبرا لخاطره، وهذه كلها مع اليتيم تقتضي هذا الثوب الجزيل….
“Maksud dari “mengusap” dalam hadits yang kedua adalah makna hakiki, sebagaimana diterangkan oleh hadits lain, yaitu “Barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim semata-mata karena Allah, niscaya Allah memberikan 10 kebaikan pada setiap helai rambut yang diusapnya. Dan barangsiapa berbuat baik kepada anak yatim, perempuan atau laki-laki, niscaya aku (Nabi Muhammad) akan bersamanya seperti ini (dua jari tangan); lalu Nabi berisyarah dengan dua jarinya”. Penyebutan kata ra’sun (kepala), karena mengusap kepala berarti menghargai, mengasihi, cinta kasih, dan mengayomi kebutuhannya. Jika semua itu dilakukan pada anak yatim, maka akan mendapatkan pahala yang sangat besar….”
Sedangkan Syaikh Ali bin Sulthon Muhammad al-Qariy (w. 1014 H) dalam kitab Mirqatul Mafatih menyebutkan, Syeikh Abu Thayyib berkata:
قال الطيبي: مسح رأس اليتيم كناية عن الشفقة والتلطف إليه، ولما لم تكن الكناية منافية لإرادة الحقيقة لإمكان الجمع بينهما
“Abu Thayyib berkata: “Mengusap kepala anak yatim adalah sebuah kinayah tentang kasih sayang dan sikap lemah lembut (kepada anak yatim). Makna kinayah ini tidak bertentangan dengan makna hakiki, karena keduanya bisa dipadukan”. Waallahu A’lamu
Penulis: Abdul Adzim
?Referensi:
? Syaikh Nashir bin Muhammad bin Ibrahim as-Samanqandi| Tanbih al-Ghafilin bi Ahadtsi Sayyidi al-Anbiya wa al-Mursalin| Daru al-Kutub al-Ilmiyah hal 191
? Syaikh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani| Fathu al-Bari| Shahibi as-Sammiy al-Malikiy al-Amir as-Shultan bin Abdul Aziz Ali as-Si’udiy juz 11 hal 155
? Syaikh Ibnu Hajar al-Haitamiy| al-Fatawa al-Haditsiyyah| Daru al-Kutub al-Ilmiyah hal 107
? Syaikh Ali bin Sulthon Muhammad al-Qariy| Mirqatul Mafatih Syarhu Misykatu al-Mashabih| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 9 hal 185