Pada suatu hari Syaikh Sahl bin Abdullah at-Tustariy menemui seorang ahli ibadah dikota Bashrah di rumahnya. Di rumah orang tersebut Syaikh Sahl at-Tustariy melihat seekor burung Bulbul yang terkurung dalam sangkarnya.
“Milik siapa burung Bulbul ini Tuan?”. Tanya Syaikh Sahl at-Tustariy pada pemilik rumah.
Orang itu berkata: “Milik putraku yang masih kecil ini”. Sambil memegang kepala putranya yang berada sampingnya.
Lantas Syaikh Sahl at-Tustariy menghampiri anak kecil itu sembari mengluarkan uang 1 Dinar dari sakunya lalu berkata: “Hai putraku yang tampan! Bila kamu disuruh memilih, lebih suka uang 1 Dinar apa burung Bulbul ini?
Anak kecil itu berkata: “Dinar”.
Dengan ramah Syaikh Sahl at-Tustariy memberikan 1 Dinar itu pada anak kecil itu lalu mengambil dan melepaskan burung Bulbul dari sangkarnya.
Kemudian burung Bulbu itu terbang dan bertengger dipagar rumah ahli ibadah tersebut. Setelah Syaikh Sahl at-Tustariy berpamitan pulang dan keluar dari rumah ahli ibadah, burung Bulbul itu terbang mengikuti Syaikh Sahl at-Tustariy di atas kelapanya hingga Syaikh Sahl at-Tustariy masuk ke dalam rumahnya.
Sesampainya di rumah Syaikh Sahl at-Tustariy, burung Bulbul itu memilih tinggal di pohon Bidara yang tumbuh di halaman rumah Syaikh Sahl at-Tustariy hingga beliau wafat.
Maka tatkala Syaikh Sahl at-Tustariy wafat dan jenazahnya dibawa ke tempat pemakaman, burung Bulbul itu terbang di atas jenazah Syaikh Sahl at-Tustariy terut mengantarkan jenazah Syaikh Sahl at-Tustariy ke pembaringan terakhir bersama para pelayat yang menangis sedih ditinggal Syaikh Sahl at-Tustariy.
Setelah Jenazah Syaikh Sahl at-Tustariy sampai pemakaman burung Bulbul itu menepi hinggap di semak belukar. Kemudian setelah acara pemakaman usai dan para pelayat pulang ke rumah masing-masing, burung itu tak henti-hentinya berkicau di atas pusara Syaikh Sahl at-Tustariy hingga ia mati dan dikubur disamping pusara Syaikh Sahl at-Tustariy. Waallahu A’lamu
Penulis: Abdul Adzim
Referensi:
? Tafsir at-Tustariy| Syaikh Sahl bin Abdullah at-Tustariy| Al-Maktabah al-Islamiyah hal 210