MENGHIDUPKAN MALAM HARI RAYA, MENGHIDUPKAN HATI YANG MATI

oleh -3,070 views

Dalam Islam tidak ada waktu yang sia-sia, semua waktu adalah ibadah dan ladang tempat bercocok tanam pahala. Dalam kondisi bersedih apalagi ketika berbahagia seperti malam hari raya-Idul Fitri dan Idhul Adha kita dianjurkan untuk menghidupkan malam ini dengan dzikrullah, memperbanyak shalawat, tilawah al-Qur’an, doa’-do’a dan amal-amal ibadah lainnya agar hati kita tidak mati dan terus menyala mengingat keagungan Allah ﷻ sebagaima sabda Rasulullah ﷺ:

مَنْ قَامَ لَيْلَتَىِ الْعِيدَيْنِ لِلهِ مُحْتَسِبًا لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ. (رواه الشافعي وابن ماجه)

Artinya, “Siapa saja yang qiyamul lail pada dua malam Ied (Idul Fitri dan Idul Adha) karena Allah dengan penuh keikhlasan, maka hatinya tidak akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati,” (HR As-Syafi’i dan Ibn Majah).

Syaikh Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawiy ad-Dimasyqiy asy-Syafi’i (w. 676 H) atau yang lebih masyhur dengan sebutan Imam Nawawiy, dalam kitab al-Adzkarnya menuturkan:

اعلم أنه يُستحبّ إحياء ليلتي العيدين بذكر اللّه تعالى والصلاة وغيرهما من الطاعات للحديث الوارد في ذلك: “مَنْ أَحْيا لَيْلَتي العِيدِ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ القُلُوبُ” ورُوي “مَنْ قَامَ لَيْلَتي العِيدَيْنِ لِلَّهِ مُحْتَسِباً لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ حينَ تَمُوتُ القُلُوبُ” هكذا جاء في رواية الشافعي وابن ماجه ، وهو حديث ضعيف رويناه من رواية أبي أمامة مرفوعاً وموقوفاً، وكلاهما ضعيف، لكن أحاديث الفضائل يُتسامح فيها كما قدّمناه في أوّل الكتاب.

“Ketahuilah bahwa disunahkan (dianjurkan) menghidupkan malam kedua hari raya dengan dzikir kepada Allah ﷻ, shalawat dan yang lainnya seperti perbuatan-perbuatan keta’atan, berdasarkan hadits yang warid yang menjelaskan hal tersebut: “Barangsiapa menghidupkan malam hari raya, hatinya tidak akan pernah mati pada hari kematian hati” dan diriwayatkan “Barangsiapa yang menegakkan malam-malam hari-raya (Idul Fitri dan Idul Adha) karena Allah ﷻ dengan penuh keikhlasan, maka hatinya tidak akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati”. Demikianlah penjelasan hadits yang ada dalam riwayat Imam asy-Syafi’i dan Imam Ibnu Majah. Status hadis ini adalah Dhaif (lemah), kami meriwayatkannya dari riwayat Abi Umamah secara marfu’ juga mauquf. Sedangkan perkataan keduanya adalah lemah, tetapi hadits-hadits fadhailul a’mal (keutamaan ibadah) masih ditolerir sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya diawal kitab ini.”

Sementara dalam kitab al-Majmu’ Imam Nawawiy mengutip perkataan Al-Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) di dalam kitab al-Umm mengatakan:

إن الدعاء يستحاب في خمس ليال : في ليلة الجمعة ، وليلة الأضحى ، وليلة الفطر ، وأول ليلة من رجب ، وليلة النصف من شعبان . قال الشافعي : وأخبرنا إبراهيم بن محمد قال : رأيت مشيخة من خيار أهل المدينة يظهرون على مسجد النبي صلى الله عليه وسلم ليلة العيدين فيدعون ويذكرون الله تعالى ، حتى تذهب ساعة من الليل ، قال الشافعي : وبلغنا أن ابن عمر كان يحيي ليلة النحر ، قال الشافعي : وأنا أستحب كل ما حكيت الشافعي والأصحاب الأحياء المذكور ، مع أن الحديث ضعيف.

“Bahwa ada 5 malam yang apabila berdo’a dimalam tersebut akan dikabulkan yaitu malam Jum’at, malam kedua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), malam pertama bulan Rajab dan malam Nishfu Sya’ban. Beliau menganjurkan untuk menghidupkan malam-malam tersebut. Imam asy-Syafi’i juga menuturkan bahwa para masyayikh (guru-guru besar) di Madinah menghidupkan malam hari raya dengan dzikir bersama di masjid Nabawi hingga waktu malam berlalu, Ibnu ‘Umar ra juga menghidupkan malam hari raya, oleh karena itu beliau dan ulama-ulama syafi’iyyah lainnya menganjurkan menghidupkan hari raya. walaupun hadits yang menuturkan tentang yang demikian dikatakan Dhaif.”

Sekedar tambahan, seperti apa yang telah disinggung Imam Nawawiy tentang ditolerirnya hadits dhaif dalam muqaddih kitab al-Adzkar, beliau mengatakan:

قال العلماءُ من المحدّثين والفقهاء وغيرهم: يجوز ويُستحبّ العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف ما لم يكن موضوعاً, وأما الأحكام كالحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغير ذلك فلا يُعمل فيها إلا بالحديث الصحيح أو الحسن إلا أن يكون في احتياطٍ في شيء من ذلك.

“Ulama dari kalangan ahli hadits, ahli fikih dan lainnya mengatakan: “Boleh dan disunahkan mengamalkan hadits Dhaif dalam masalah keutamaan ibadah (fadhailul a’mal), membari motivasi dan peringatan selagi hadits itu tidak Maudhu’. Sedangkan dalam masalah hukum halal dan haram, jual beli, nikah, talak dan lainnya, maka harus berlandaskan hadits Shahih atau Hasan, tidak perbolehkan mengamalkan hadits dhaif karena bertujuan kehatian-hatian dalam masalah tersebut.”

Sementara dalam kitab Raudhan at-Thalibin wa Umdatu al-Muftiyin sacara tegas Imam Nawawiy mengatakan:

والحديث الوارد فيه ضعيف لكن أحاديث الفضائل يتسامح فيها عند أهل العلم من المحدثين وغيرهم.

“Hadits yang menjelaskan hal ini tergolong hadits Dhoif, tetapi mengamalkannya dalam masalah keutamaan ibadah (fadholilul a’mal) ditolerir menurut ahli ilmu dari kalangan ulama hadits dan lainnya.

Kembali ketopik, selanjutnya Imam Nawawiy dalam dua kitab barusan (al-Adzkar dan Raudhan at-Thalibin wa Umdatu al-Muftiyin) menjelaskan tetang tentang kadar ketentuan memperoleh keutamaan menghidupkan malam hari raya, beliau berkata:

واختلف العلماءُ في القدر الذي يَحصل به الإِحياءُ، فالأظهرُ أنه لا يحصل إلا بمعظم الليل، وقيل: يَحصل بساعة.
وقال في روضة الطالبين وعمدة المفتين:
قلت وتحصل فضيلة الإحياء بمعظم الليل وقيل تحصل بساعة وقد نقل الشافعي رحمه الله في الأم عن جماعة من خيار أهل المدينة ما يؤيده ونقل القاضي حسين عن ابن عباس أن إحياء ليلة العيد أن يصلي العشاء في جماعة ويعزم أن يصلي الصبح في جماعة والمختار ما قدمته.

“Ulama telah berselisih pendapat, namun yang jelas tidak akan memperoleh keutamaan menghidupkan hari raya kecuali dengan memuliakan malamnya (seperti berdiam di Mina—Musdalifah dengan beri’tikaf pada tengah malam) dan bahkan dikatakan “bahwa menghidupkan hari raya bisa hasil meski hanya dengan melakukan ibadah sekejap waktu di malam itu”. Pendapat ini telah dinukil Imam asy-Syafi’i dari kelompok ulama yang tergolong ulama-ulama terpilih kota Madinah. Sementara menurut al-Qadhi Huasin mengutip dari ibnu Abbas ra mengatakan: “cara menghidupkan hari raya bisa diperoleh dengan sholat Isya’ secara berjemaah disambung dengan shalat shubuh berjama’ah berserta doanya. Namun pendapat yang terpilih adalah pendapat yang telah aku kemukaan tadi.

Sedangkan yang dimaksud dari “matinya hati” pada hadits di atas sebagaimana yang disampaikan Syaikh Jamal (w. 1204 H) dalam kitabanya Hasyiyah al-Jamal ala Syarah Minhaju ath-Thullab, beliau mengatakan:

والمراد بموت القلوب شغفها بحب الدنيا أخدا من خبر { لَا تَدْخُلُوا عَلَى هَؤُلَاءِ الْمَوْتَى قِيلَ مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْأَغْنِيَاءُ } وقيل الكفر أخذا من قوله تعالى { أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ } أي كافرا فهديناه وقيل الفزع يوم القيامة أخذا من خبر { يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ أَوْ غَيْرُهَا وَاسَوْأَتَاه أَتَنْظُرُ الرِّجَالُ إلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَالنِّسَاءُ إلَى عَوْرَاتِ الرِّجَالِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ لَهُمْ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ شُغُلًا لَا يَعْرِفُ الرَّجُلُ أَنَّهُ رَجُلٌ وَلَا الْمَرْأَةُ أَنَّهَا امْرَأَةٌ }.

“Yang dikehendaki dengan “matinya hati” adalah terlena dengan kecintaan dunia atau cinta dunia (hingga memalingkan dari akhirat) berdasar hadits: “Janganlah kalian masuk pada golongan orang yang mati, lalu dikatakan: Siapa mereka itu wahai Rasulullah ﷺ? Beliau bersabda: “Mereka adalah orang-orang yang kaya”. Menurut satu pendapat mereka adalah orang kafir berdasarkan ayat al-Qur’an: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan (QS. Al-An’am:122), menurut satu pendapat yang lain mereka adalah penyesalan dihari kiamat berdasarkan hadits Nabi ﷺ: “Manusia dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan tidak dikhitan.” Ummu Salamah atau wanita lain bertanya: “Dan kedua kemaluan mereka, apakah para laki-laki memandang auratnya para wanita dan para wanita memandang auratnya para laki-laki?” Nabi ﷺ menjawab: “Sesungguhnya mereka di hari itu sedang sibuk (dengan dirinya masing), orang laki-laki tidak tahu bahwa dirinya laki-laki dan wanita tidak tahu bahwa dirinya wanita).

Terakhir, Syekh Ahmad As-Shawi dalam kitab Lughatu as-Salik Li Aqrabi al-Masalik menambahkan:

ومعنى عدم موت قلبه عدم تحيره عند النزع وعند سؤال الملكين وفي القيامة بل يكون مطمئنا ثابتا في تلك المواضع.

“Makna tidak matinya hati bagi orang yang menghidupkan malam hari raya” adalah tidak bingung hatinya ketika naza’ (sakaratul maut), ketika ditanya oleh dua malaikat (di alam barzakh), dan di hari kiamat. Bahkan hatinya tenang penuh keteguhan pada waktu-waktu tersebut.”

Wallahu A’lamu

Penulis: Abdul Adzim

Referensi:

📖 Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawiy ad-Dimasyqiy asy-Syafi’i| al-Adzkar an-Nawawiyah| Darul al-Fikr, Bairut-Libanun hal 173-174.

📖 Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawiy ad-Dimasyqiy asy-Syafi’i| al-Majmu’ Syahru al-Muhasabah| Darul al-Kutub, Bairut-Libanun juz 6 hal 81.

📖 Al-Hafidz al-Muhaddits al-Hujjah Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawiy ad-Dimasyqiy asy-Syafi’i| al-Adzkar an-Nawawiyah| Maktabah asy-Syamilah al-Haditsiyah juz 2 hal 75, hal 138

📖 Syaikh Sulaiman bin Umar bin Manshur al-Ujailiy al-Mishriy| Hasyiyah al-Jamal ala Syarah Minhaju ath-Thullab| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 3 hal 64.

📖 Syaikh Ash-Shawiy| Hasyiyah ash-Shawiy ala asy-Syarhi ash-Shoghir Balaghati as-Salik Li Aqrabi al-Masalik | Maktabah asy-Syamilah al-Haditsiyah juz 1 hal 527.

Semoga Manfaat

banner 700x350

No More Posts Available.

No more pages to load.