Selanjutnya Syaikh Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi al-Bantani dalam kitab yang sama menjelaskan: “Terdapat satu riwayat dari Imam al-Baihaqi dari Ibnu Abbas ra, tentang lafadz: رَبَّنَا yang ditulis setelah kalimat: تَبَارَكْتَ dalam bacaan qunut. Imam ar-Rafi’i berkata: “Ulama telah menambahkan kalimat: وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ sebelum kalimat: تَبَارَكْتَ. Khusus untuk lafadz: وَلاَ يَعِزُّ dengan dibaca Fathah Ya’-nya dan dibaca Kasrah ‘ain-nya memiliki makna: “Tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi.” Juga boleh dibaca: وَلاَ يُعَزُّ dengan membaca Dhommah Ya’-nya dan membaca Fathah ‘ain-nya memiliki makna: Tidak akan dimuliakan orang yang Engkau musuhi.” Penjelasan ini dikutip dari kitab Hasyiyah Syaikh Abdul Karim yang menjelaskan 6 macam tambahan dalam redaksi doa qunut.
Hendaknya bagi seorang Imam sholat menganti bacaan lafadz: اهْدِنِىْ dengan اهْدِنَا dan begitu seterusnya. Adapun untuk lafadz رَبَّنَا dikhususkan (ditetapkan) dengan bentuk Jamak sekalipun sholat sendirian karena mengikuti redaksi yang datang dari Nabi ﷺ kemudian hendaknya diakhir doa qunut ditambah sholawat dan salam yang dihaturkan kepada Nabi ﷺ, keluarga dan sahabatnya. Sementara menambah sholawat dan salam diawal doa qunut tidak disunahkan karena tidak ada keterang mengenai hal tersebut. Yaitu ucapan sholawat dan salam:
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Baik dengan mengunakan shighat (bentuk) Fi’il Madzi atau dengan mengunakan shighat (bentuk) Fi’il Amar, namun mengunakan shighat (bentuk) Fi’il Madzi adalah yang lebih utama karena berfaidah Muballaghah (penyangatan). Dengan begitu, seakan-seakan sholawat dan salam nyata sampai pada Nabi ﷺ, maka disampaikannya dengan bentuk kabar. Semua penjelasan ini adalah tentang qunut Nabi ﷺ.
Sama dengan qunut Nabi ﷺ adalah qunut Sayyidina Umar bin al-Khattab ra atau qunut putranya (Abdullah bin Umar ra) yaitu:
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ وَنَسْتَهْدِيكَ وَنُؤْمِنُ بِكَ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْكَ وَنُثْنِي عَلَيْكَ الْخَيْرَ، كُلَّهُ نَشْكُرَكَ وَلَا نَكْفُرُكَ وَنَخْلَعُ وَنَتْرُكُ مَنْ يَفْجُرُكَ، اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّي، وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، َنَرْجُو رَحْمَتَكَ، وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابَكَ الْجِدَّ بِالْكُفَّارِ مُلْحِقٌ.
Artinya: “Ya, Allah! Kami minta pertolongan-Mu, kami minta ampunan kepada-Mu, kami minta petunjuk kepada-Mu. Kami beriman dengan-Mu, kami pasrah kepada-Mu, kami memuji kebaikan-Mu, segala kebaikan (yang Engkau anugerahkan) kami haturkan syukur pada-Mu, kami tidak mengingkari-Mu, kami telah melepaskan dan meninggalkan orang yang berbuat jahat kepada-Mu. Ya Allah! Kepada-Mu kami menyembah. Untuk-Mu kami melakukan shalat dan sujud. Kepada-Mu kami berusaha dan melayani. Kami mengharapkan rahmat-Mu, kami takut pada siksa-Mu. Sesungguhnya siksaan-Mu yang benar akan menimpa pada orang-orang kafir.”
Qunut ini dinisbatkan pada Sayyidina Umar bin al-Khattab ra atau pada putranya karena Sayyidina Umar ra yang meriwayatkan qunut tersebut dari Nabi ﷺ atau Nabi ﷺ pernah bersabda di sisi Sayyidina Umar.
Menerut Syaikh Nawawi al-Jawi: “Sunah menggabung dua qunut tersebut bagi orang yang sholat sendirian atau imam bagi kaum (makmum) yang tertentu dan rela dengan bacaan panjang imam bukan para buruh kasar (kuli), para budak dan orang yang sudah bersuami-istri. Namun yang paling utama adalah mendahulukan qunut dari Nabi ﷺ lalu dilanjutkan dengan qunut Sayyidina Umar bin al-Khattab ra dan jika ingin meringkas pada satu qunut, maka alangkah baiknya mengunakan qunut yang dari Nabi ﷺ.
Waallah A’lamu
Penulis: Abdul Adzim
Referensi:
✍️ Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi al-Bantani| Kasyifa as-Saja di Syarhi Safinatu an-Naja| Daru al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1973 hal. 154.