Senada dengan Al-Imam Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi (w. 676 H) terkait masalah doa, Syaikh Ibnu Qayyim al-Juziyah (w. 691 H) dalam kitabnya al-Jawab al-Kafi li Saala ‘Ani ad-Dawa’i asy-Syafiy dan kitab ad-Da’u wa ad-Dawa’ dengan panjang lebar menjelaskan:
“والأدعية والتعوذات بمنزلة السلاح، والسلاح بضاربه، لا بحده فقط، فمتى كان السلاح سلاحا تاما لا آفة به، والساعد ساعد قوي، والمانع مفقود؛ حصلت به النكاية في العدو، ومتى تخلف واحد من هذه الثلاثة تخلف التأثير، فإن كان الدعاء في نفسه غير صالح، أو الداعي لم يجمع بين قلبه ولسانه في الدعاء، أو كان ثم مانع من الإجابة، لم يحصل الأثر.”
Doa dan Ta’awwudz (meminta perlindungan pada Allah ﷻ) ibarat pedang, pedang itu tergantung penebasnya bukan hanya ketajamannya. Oleh karenanya, pedang dianggap hebat bila tidak cacat dan penebasnya adalah orang yang kuat serta tidak ada penghalang ketika pedang ditebaskan hingga membuat musuh tersungkur. Jika salah satu dari tiga hal ini tidak ada, maka pedang tersebut tidak disebut hebat.
Do’a pun demikian, bila orang yang berdo’a tidaklah baik, yang berdo’a tidak menyatukan antara hati dan lisan saat berdo’a, atau ada penghalang sehingga do’a tidak terkabul. Jika ada salah satu dari tiga hal ini, maka do’a tersebut tidak akan membuahkan hasil”.
Berangkat dari keterangan di atas, terdapat pertanyaan yang populer di masyarakat: “Untuk apa saya berdoa? Jika Allah ﷻ telah mentakdirkan sesuatu, meskipun saya tidak berdoa tentu sesuatu itu akan terjadi. Sebaliknya jika Allah ﷻ tidak mentakdirkan sesuatu, meskipun saya berdoa siang dan malam tentu sesuatu itu tidak akan terjadi.”
Syaikh Ibnu Qayyim al-Juziyah melanjutkan keterangannya: “Sebagian golongan menganggap pertanyaan barusan benar, kemudian mereka meninggalkan berdoa dan sebab kebodohan serta kesesatan, mereka berkata pada semua orang: “Berdoa itu tidak ada faidahnya”.
“Ucapan mereka ini, bertentangan dengan akal sehat karena bila kita paksakan menerima pendapat mereka tentu adanya sebab musabab terjadinya sesuatu akan sia-sia dan tidak ada gunanya.” Tandas Syaikh Ibnu Qayyim al-Juziyah.
Maka aku katakan pada salah satu dari mereka: “Apabila kenyang dan terpenuhi rasa dahaga sudah ditakdirkan padamu. Lalu jika kau lapar dan dahaga, apakah kau akan kenyang dan hilang rasa dahagamu, bila tidak makan tidak pula minum? Begitu juga jika kau ditakdirkan punya anak, tanpa kau menikah dan menyentuh istrimu. Apakah kau akan punya anak?”.
Kalau mereka tidak bisa menjawab, pantaskah mereka disebut orang yang berakal atau manusia? Bahkan binatang pun masih butuh sebab musabab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berarti binatang itu lebih berakal dan faham dari pada mereka. Mereka tak ubahnya binatang bahkan mereka lebih parah.
Sebagian ulama telah bicara panjang lebar terkait masalah ini, secara ringkas bisa disimpulkan menjadi tiga pendapat. Namun pendapat yang mendekati kebenaran menurut Syaikh Ibnu Qayyim al-Juziyah adalah pendapat yang mengatakan:
أن هذا المقدور قدر بأسباب، ومن أسبابه الدعاء ، فلم يقدر مجردا عن سببه، ولكن قدر بسببه، فمتى أتى العبد بالسبب، وقع المقدور، ومتى لم يأت بالسبب انتفى المقدور، وهذا كما قدر الشبع والري بالأكل والشرب وقدر الولد بالوطء، وقدر حصول الزرع بالبذر، وقدر خروج نفس الحيوان بذبحه، وكذلك قدر دخول الجنة بالأعمال، ودخول النار بالأعمال، وهذا القسم هو الحق، وهذا الذي حرمه السائل ولم يوفق له.
“Suatu yang ditakdirkan ditentukan oleh beberapa sebab dan di antara sebabnya adalah doa. Maka tidak ada takdir terjadi tanpa ada sebabnya, semuanya ditentukan oleh sebab. Ketika seorang hamba telah menjalankan sebab musabab takdir, maka takdir akan terjadi. Sebaliknya ketika seorang hamba tidak menjalankan sebab musabab takdir maka takdir tidak akan terjadi hal itu sebagaimana takdir seseorang merasakan kenyang dan terpenuhi rasa haus bisa terlaksana dengan sebab ia makan dan minum. Begitu juga seorang ditakdirkan mempunyai anak bisa terlaksana bila didahului sebab bersenggama, seorang bisa panin padi bila di dahului sebab menanam benih, dan hilangnya nyawa binatang didahului sebab menyembelihnya. Begitu juga seorang bisa masuk surga dan masuk neraka disebabkan amalnya. Inilah pendapat yang benar yang luput dari padangan orang-orang yang masih bertanya dan menentangnya.”
وحينئذ فالدعاء من أقوى الأسباب، فإذا قدر وقوع المدعو به بالدعاء لم يصح أن يقال: لا فائدة في الدعاء، كما لا يقال: لا فائدة في الأكل والشرب وجميع الحركات والأعمال، وليس شيء من الأسباب أنفع من الدعاء، ولا أبلغ في حصول المطلوب.
Ketika seperti itu, maka jelaslah bahwa doa lebih kuatnya sebab penentuan takdir. Kala sesuatu yang diharapkan dalam panjatan doa bisa terjadi sebab doa, maka tidak bisa dibenarkan ucapan seseorang yang mengatakan: “Berdoa tidak ada faidahnya” sebagimana tidak benarkan ucapan seorang yang mengatakan: “Makan, minum, semua gerak dan perbuatan tidak ada gunanya (karena catatan takdir Tuhan tidak bisa dirubah)”. Dan (saya katakan): “Tidak ada sebab yang lebih manfaat dan tidak ada sesuatu yang lebih ampuh dari pada doa.”
Waallahu A’lamu
Penulis: Abdul Adzim
Referensi:
✍️ Syaikh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakar Ibnu Qayyim al-Juziyah| Al-Jawab al-Kafi li Saala ‘Ani ad-Dawa’i asy-Syafiy| Daru al-Arqom hal 29-30.
✍️ Syaikh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakar Ibnu Qayyim al-Juziyah| Ad-Da’u wa ad-Dawa’| Daru Ilmi al-Fawaid hal 26-29.