Judul di atas berangkat dari ucapan seseorang yang mengatakan: “Untuk apa berdoa, jika ketentuan takdir tidak bisa diganggu gugat?” Ucapan ini keluar dari kesombongan sebagian manusia yang mengandalkan usahanya dan keputusasaan mereka akan rahmat Allah ﷻ. Mereka seakan lupa pembuktian Allah ﷻ dengan menimpakan adzab pada umat terdahulu akibat kesombongan yang mereka lakukan seperti Kurun dan para penganutnya yang diabadikan dalam al-Qur’an:
وَأَصْبَحَ الَّذِينَ تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِالْأَمْسِ يَقُولُونَ وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ ۖ لَوْلَا أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا ۖ وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ.
“Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun itu, berkata: “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)”. (QS. Al Qashash Ayat:82).
Allah juga berjanji akan mengabulkan setiap doa yang dipanjatkan:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Ghafir [Al-Mu’min] [40]: 60).
Serta melarang mereka berputus asa akan rahmat Allah:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Az Zumar: 53).
Berkaitan dari masalah ini, Al-Imam Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi (w. 676 H) dalam kitabnya Al-Adzkar li an-Nawawiy mengutip pendapat al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusiy (w. 505 H) dalam kitab monumentalnya Ihya’ Ulumiddin, mengatakan:
فإن قيل : فما فائدة الدعاء مع أن القضاء لا مرد له ؟ فاعلم أن من جملة القضاء: رد البلاء بالدعاء ، فالدعاء سبب لرد البلاء ووجود الرحمة ، كما أن الترس سبب لدفع السلاح ، والماء سبب لخروج النبات من الأرض ، فكما أن الترس يدفع السهم فيتدافعان ، فكذلك الدعاء والبلاء ، وليس من شرط الاعتراف بالقضاء أن لا يحمل السلاح ، وقد قال الله تعالى : (وليأخذوا حذرهم وأسلحتهم) فقدر الله تعالى الأمر ، وقدر سببه.
“Jika ditanya: “Apa faidahnya do’a padahal ketentuan Allah ﷻ itu tidak bisa di bisa ditolak. Maka ketahuilah olehmu, bahwa sejumlah dari pada ketentuan Allah ﷻ itu adalah menolak bala’ dengan do’a. Do’a itu adalah sebab untuk menolak bala’ dan datangnya rahmat seperti perisai yang menjadi sebab untuk menolak senjata dan air menjadi sebab untuk keluarnya tumbuh-tumbuhan dari bumi. Sebagaimana perisai mampu menolak anak panah lalu bertolak-tolakkan maka begitu juga dengan do’a dan bala’. (Ingat) tidak membawa senjata (di medan perang) bukanlah menjadi syarat untuk mengakui ketentuan Allah ﷻ . Sungguh Allah ﷻ telah berfirman :
وَلْيَأْخُذُوْا حِذْرَهُمْ وَاَسْلِحَتَهُمْ ۗ
“…dan hendaklah mereka itu bersiap siaga dan menyandang senjata…”(An-Nisa:102). Karena itu Allah takdirkan perintah dan Allah takdirkan sebabnya.
Waallahu A’lamu
Penulis: Abdul Adzim
Referensi:
✍️ Al-Imam Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi| Al-Adzkar li an-Nawawiy| Maktabah Nizar Musthafa al-Bazz, Makkah al-Mukarramah, Riyadh hal 482-483.
✍️ Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusiy| Ihya’ Ulumiddin| Daru al-Kutub al-Ilmiyah juz 1 hal 428.